Sabtu, 08 Juli 2017

chapter 5



Ruangan gelap berpenerangan lampu api remang-remang. Meja berisikan banyak kursi dan pintu berukirkan bunga. Tiga orang duduk pada kursi.
"Mari kita bahas permasalahannya"M
"Sepeti yang kuberitahu sebelumnya, makhluk itu muncul. Lalu juga aku sempat beberapa kali melihat sosok bayangan asing."E
"Kau yakin itu bukan makhluk itu."M
"Aku yakin. Karena yang kulihat itu bukanlah makhluk itu. Makhluk itu selalu merubah warna matanya sesuai orang yang ia lihat. Sedangkan sosok itu warna matanya kuning keemasan. Tidak banyak orang yang memiliki warna itu.,”
“Kau benar,”
“anehnya dia hanya muncul saat malam sertatidak seperti makhluk itu, dia hanya menatap ke arah asrama beberapa saat kemudian hilang dalam hutan." E
"Lumine Noctem,"C
"Huh?Lumine apa?" E
"Lumine Noctem, sosok misterius di masyarakat sekitar kerajaan beberapa tahun ini,"
"Hoo! sosok yang sering terlihat di hutan atau dibawah pepohonan itu ya?! Aku mengerti!" E memukulkan kepalan tangan kanan ke tangan kiri yang terbuka
"Apa kau tidak salah lihat dengan halusinasi?" M
"Malam itu aku juga melihatnya, kalau tidak percaya tanyakan saja pada arles kami berdua" C #grin
"Lalu, kenapa kau yakin kalau itu bukan makhluk itu?"
"Karena, jika arles atau pun hewan melihat makhluk itu, mereka akan siaga"
"Itu benar, aku sudah melihatnya, Kisa. Dia mendesis marah ke arah jendela tempat makhluk itu ada. Tapi saat sosok yang disebut Lumine itu  muncul,
Kisa yang sedang bersamaku, dia terlihat tenang."
"Kisa? apa itu peiharaan barumu, El?"
"Haha! Bukan, bukan, itu peliharaan anakmu,"
"Kirina mempunyai peliharaan?! Aaaa! Kenapa dia tidak memberitahuku" (Mikael histeris)
"Ah! ngomong-ngomong Elina, apa peliharaannya adalah kucing hitam dengan bercak putih di dekat lehernya?"
"Seperti yang kau bicarakan,"
"Kalau begitu, tidak ada lagi yang perlu kita cemaskan. Jika ada apa-apa, hubungi aku. Maka aku akan segera datang. Aku serahkan sisanya pada kalian”
,diam sejenak, "Jaga diri kalian."
"Tapi, bagaimana jika terjadi sesuatu?"
            berdiri M, "Tenang saja, kalian cukup waspada. Di sekolah menurutku akan aman."
"Apa maksudmu?"
jari di mulut serius, "Sssst... kita serahkan hal ini pada Alfred dan mereka bertiga, untuk saat ini, kalian cukup siaga. Selama makhluk itu tidak masuk ke asrama, semuanya akan aman." M serius
berubah M, "Kalau begitu sudah dulu! Aku ingin segera mengejutkan mereka! untung barangnya akan sampai sebentar lagi"
"Huft, kalau kau sudah bilang begitu, mau bagaimana lagi,"
Berpisah lewat tiga pintu berbeda, "Yah, selama kau tidak menimbulkan keributan. Untuk menunggu mereka, kau boleh menggunakan ruanganku, lagi pula aku masih harusmengurus pembelian bahan makanan ke pasar nanti."
"Baik,"
Kriiieeetttt.....Clack
_______________________________________________________________________________________________________
Kirina masuk sekolah, disana sudah masuk semua murid dan duduk di bangkunya.
Veronica datang, melirik Kirina.
"Kau akan membayarnya" V
Veronica menuju ke bangku belakang Kirina.
"Kau pinahlah kebelakang!"
"Memangnya kau siapa, Ha?!"
"Veronica Vincent, anak kedua dari yang mulia Raja (). Kau mau menentang?"
orang yang duduk di belakang Kirina pindah ke bangku kosong dibelakang.
Seperti Dellion, dia hanya menatap sinis Kirina, hingga ia mendengar sesuatu yang menarik dari pembicaraan di belakang.
"Hooo... Jadi kau hanya bisa melakukan penyembuhan ya? Lalu apa kau bisa melakukan operasi besar? Menurutku hal itu lebih berguna. Ya kan? Kirina????
..... Kenapa diam? Apa aku salah bicara?
Ngomong-ngomong, apa hubunganmu dengan Tuan Mikael? Kenapa kau terlihat sangat dekat? Apa kau tahu? Aku melihatmu saat itu, kau dan Tuan Mikael------"
"Yap, cukup campai situ pembicaraannya. Sepertinya, murid baru kita sudah berangkat.Dari yang bapak lihat sepertinya kalian sudah mengenalnya.
Kalau begitu, mari kita ke hutan. mumpung cuacanya cerah."
Veronica bingung dan protes kenapa harus keluar, padahal kelasnya baik-baik saja.
nanti adu mulut sama pak Claud.
"Bukankah lebih baik belajar di luar udaranya lebih segar? Kalau tidak ingin, kau boleh kembali ke kelasmu yg sebelumnya, Nona Vincent...."
Veronica keluar.
"Bapak, harap kau tidak mengulanginya lagi. Ini semua demi kebaikanmu,karena bapak tahu sebab kau pindah... Teman...."
"Ap---"
"hilang?Hmmm... Biarlah...."

Tap....tap....tap....
"Verna....."


"Huh?" tengok belakang, angin berhembus
"Tidak ada siapa-siapa.... Mungkin hanya imajinasi...."
__________________________________________________________________________________________________________
            Gadis itu, berjalan sendiri engan wajah marahnya. aku tidak tahu kenapa, tapi satu hal yang menjadi penyebab adalah diriku....
Pagi berganti siang, gadis itu berdiri dalam kumpulan murid. berbincang, menatap sinis, dan tertawa terhadapku. Seperti waktu itu, tapi bedanya gadis itu tertawa.
Hanya satu yang kuharapkan, semoga gadis itu tidak seperti mereka.
            Kutanggapi hinaan itu sebisanya, tanpa membuat konflik. meski begitu, ia terus saja mengatakan sesuatu yang kejam. Hingga aku pun mencapai batas dan membiarkannya
mengoceh semaunya. Untungnya bel tanda pembelajaran selesai berbunyi. Tanpa basa basi lagi, aku langsung menuju perpustakaan. Mencari rak bertema kesehatan dan medis.
"Walau tajam, perkataanmu itu ada benarnya juga, Veronica.....Vincent...."
            Hari Sabtu, sekolah memulangkan muridnya lebih awal untuk dirinya bersiap untuk istirahat atau pulang ke kediamannya bersama keluarga.
Tapi hari ini, aku sedang tidak mood untuk kembali ke asrama. Jadi, aku mengambil lima buku tebal yang kuambil dari rak yang kucari dan kutumpuk jadi satu di meja
dekat jendela.
            Tertulis dalam papan di tembok,
            Perpustakaan buka setiap hari, dari pukul 5 pagi hingga tengah malam.
            Dilarang membawa buku keluar sebelum mengisi data peminjaman di meja pengurus, jika melanggar akan mendapat sangsi langsung.
            Peminjaman hanya berlaku selama 7 hari, dapat tambah hari dengan persetujuan penjaga perpustakaan.
            Harap mengembalikan buku yang diambil pada tempatnya atau dapat diletakan pada meja hijau di dekat meja pengurus.
            Untuk perhatian dan ketertibannya, kami ucapkan terimakasih.
            Berkat peraturan itu, aku dapat membaca buku ini sepuasnya. Ditambah tidak adanya penjaga perpustakaan, sehingga tidak ada yang mengganggu bacaanku
meski matahari sudah terbenam dii ufuk barat. Dan binatang malam pun mulai bernyanyi disertai bunyi jam dinding yang berdetak mengikuti detik.
Sungguh tenang, perlahan mood ku pun kembali. Tepat pada pukul 11.45 malam aku selesai membaca dua buku. Karena, perpus sebentar lagi mau ditutup,
aku mengembalikan dua buku ke raknya dan menulis data peminjaman di meja pengurus. Setelah itu, aku berkemas dan keluar pintu. Di sana, Kisa duduk menanti dengan pita biru
yang kuikatkan waktu itu sebagai penanda sementara.
            "Kau menungguku?"
            "Meooow!!"
            "Sebentar, sepertinya aku ingat aku menyimpan sebungkus snak kucing di tas."
            "Ini dia!"
            KAAAAKKKKK!!!!! KAAAAAKKKK!!!!
            "Gagak?"
            Gagak itu terbang sat aku menoleh ke arahnya. Bersamaan dengan itu, suara jam berdentang keras dan pintu perpustakaan otomatis tertutup dan terkunci.
            "Sepertinya aku terlalu lama di perpustakaan, kalau tadi aku tidak cepat mungkin aku sudah terkunci disana. Iya kan, Kisa?"
            Kisa melompat ke pangkuanku, aku pun berdiri dengan mengendongnya sambil memberikan snak yang tadi ke Kisa.
            "Ayo kita pulang, Ami mungkin khawatir. Gimana ya nanti wajah marahnya."
            Kruyuuukkkkk~~~~~
            "Ahhh.... Laparnya...... Sebaiknya aku bergegas," kataku sambil melirik ke belakang.
            Seseorang ada di sana, perempuan?....Tidak... Laki-laki. Dari tadi, aku merasa aku sedang diikuti. Maka dari itu, sebaiknya aku bergegas dan tidak membuat pergerakan
mencurigakan. Saat ini, aku tidak membawa benda yang bisa digunakan sebagai senjata. Mungkin aku harus menggunakan cara itu. Terlalu beresiko, tapi patut dicoba.
            Aku memeluk Kisa erat, mengambil botol minum di tasku.
            "Ahhh..... airnya habis...." ujarku berhenti melangkah tanpa membuat kecurigaan.
            PYARRRRRRR!!!!!!
            Aku melemparkan botol itu ke lampu penerangan di jalan itu dan berlari menuju hutan. Hutan ini adalah jalan tercepat menju asrama. Jika aku berlari lurus sesuai diagonal,
aku bisa memotong jalan dari satu kilometer menjadi kira-kira setengahnya. Memang gelap, tapi lebih baik dari pada di tempat itu tanpa adanya benda yang bisa dijadikan senjata dan berjalan lebih jauh.
Di hutan, banyak batuan, aku bisa menggunakannya sebagai senjata di saat genting.
            Aku sedikit menoleh ke belakang, ternyata lelaki itu masih mengikutiku. Matanya bersinar di celah-celah pepohonan. Sebaiknya aku mempercepat langkahku.
            Aku melihat batu runcing sebesar kepalan tangan di depan. Karena jarak asrama yang makin dekat, aku segera mengambil batu itu dan membakarnya dengan api biruku.
            "Sedikit lagi... Kisa peganganlah erat-erat. Aku akan menyerang,"
            Swoooosshhh!
            "Sial...." ucapnya dalam kegelapan sambil berdiri diam di tempatnya seteah aku melempar.
            "Sepertinya aku berhasil... Huft..Huft....Huft......"
            Lelaki itu tidak mengejar lagi, sepuluh menit kemudian aku pun sampai di tepi hutan. Takut, pria itu masih mengejar, aku tidak melambatkan lariku meski pintu gerbang
hanya tinggal dua pulu meter di depanku. Di sana terdapat wanita tinggi yang rambutnya tergerai panjang bersama seseorang yang lebih pendek darinya, di samping kiri orang yang lebih pendek,
terdapat pria berjas putih. Sepertinya aku sudah aman....
            Mereka berlari ke arahku, sayangnya aku tersandung dan jatuh tersungkur di rumput. Untungnya, aku jatu dalam posisi miring, sehingga Kisa tidak terkena benturan.
"Rina? Kau tak apa?"
"Rin? kenapa kau baru pulang jam segini?"
"Kak RIIIINNNNN!!!!!"
            Aku menoleh ke belakang, ternyata di sana ada seseorang bersorot mata coklat. Perasaanku mengatakan supaya segera menjauh. Saat aku terus menatapnya, ia menyeringai.
            "Mm-mungkin sebaiknya kita masuk dulu…. Aku lapar."
            "baiklah, sebaiknya kau mandi dan mengobati lukamu. badanmu penuh luka gores,"
            "Tidak apa, aku bisa menyembuhkannya nanti. Yang penting ayo makan, aku lapar...lapar... Perutku sudah berbunyi dari tadi," ucapku sambil berjalan pincang karena keseleo dan sesekali menengok kebelakang.
            "Sini Papa gendong,"
            "Aaa!!! Papa! Ini memalukan, kalau dilihat yang lain bagaimana?"
            tertaa kecil,"Tak apa, mereka sudah pulang."
            Dari pelukanku, Kisa terus-terusan mendesis ke belakang. Dari tatapan Papa, Ami, dan Bi Elin, mereka sangat waspada. Langkah mereka pun juga semakin cepat. Aneh, tapi aku tidak mau berpikir lagi. Perkataanku tadi memang sebuah pengalihan, tapi masalah lapar, berutku sudah semakin bergemuruh. Setelah sampai di Asrama, Bi Elina mengunci pintu gerbang dan pintu asrama depan. Denagn cepat Bibi Elina menutup gorden pada pintu kaca itu. Kemudian, Papa membawaku ke ruangannya Bi Elina. Bukankah seharusnya aku dibawa ke kamarku?
            "Emm, Papa?"
            "Sementara kau mandi dan mengobati dirimu disini. Papa akan memanaskan makanan yang Papa buat tadi. Masakan ke sukaanmu. Sebaiknya kau mandi dan menyembuhkan luka itu. Goresannya ada di mana-mana."
            Setelah itu, Papa menurunkanku di depan kamar mandi. Kisa pun yang tadinya berada di pelukanku melompat turun dan naik ke meja makan. Sedangkan Papa ia berjalan ke dapur, Bi Elina sedang menulis sesuatu
di secarik kertas. Kuharap itu bukan sangsi hukuman. Ami yang ari tadi duduk di meja makan menggerakan tangannya menyuruhku masuk ke kamar mandi.
            "Iya, iya..." kataku pelan sambil tersenyum.
            Aku segera mandi dan mengobati luka-luka di tubuhku dengan apiku. Namun, rasa sakit akibat keseleo di kaki Kananku tidak hilang.
            "Kak! Sudah selesai?!"
            "Sudah!"
            Seseorang mengetuk pintu kamar mandi,"Ini baju ganti juga handuknya."
            Aku segera membuka pintu dan mengambilnya. Setelah berpakaian, aku berjalan menuju meja makan. Di sana, mereka bertiga sudah duduk di meja makan yang diisi dengan () serta segelas susu hangat.
Ayah menyuruhku duduk dan makan. Ami yang tadinya duduk, menyanggakan kepalanya di meja dengan tangan menyilang i bawah kepala. Sepertinya dia mulai tertidur. Papa dan Bibi ELina terus-terusan memberitahuku bahayanyapulang malam. Tapi, aku mengabaikan semua perkataan mereka. Karena saat ini pikiranku sedang terfokus pada sosok yang kulihat tadi.
            Pada awalnya sosok yang kulihat itu matanya bersinar saat ia melewati pepohonan, sedangkan sosok terakhir yang kulihat itu matanya coklat agak menyala. Aku bingung, ada apa sebenarnya.
Tapi, beberapa hari ini banyak keanehan yang terjadi di asrama. Sebelumnya, Bibi tidak pernah menutup gorden pada pintu depan. Bahkan sejak kejadian waktu Ami menarikku ke bawah, Bibi menyuruh seluruh penghuni asrama menutup pintu
dan jendela kaca rapat-rapat sekaligus ditutup gorden. Apa semua ini ada kaitannya?
            "Ah.. biarlah, yang penting aku selamat," batinku sambil melahap ().
            Selesai makan, aku akhiri makan itu dengan segelas susu hangat. Dan sebuah pertanyaan pun terlontar dari bibir Papaku, "Rina, kenapa kau baru pulang saat tengah malam?"
            "Maaf, tapi aku keasikan membaca buku di perpustakaan."
            "Lalu kenapa kau berlari sampai terluka melewati hutan itu? bukankah itu bahaya?"
            Aku ingin mengatakan apa yang terjadi sebenarnya, tapi jika kulakukan, mereka akan khaawatir. Tapi, jika tidak kukatakan seseorang mungkin akan jadi korban.
            Jadi kuputuskan, "Seeorang mengikuti."
            "Ha?! Siapa? Kau lihat wajahnya?"
            "Saat itu gelap,"
            "Bukankah melewati hutan itu lebih berbahaya? Apa saat itu tidak ada penjaga di Perpustakaan yag bisa kau minta tolong."
            "Sebab mengapa aku melewati hutan adalah karena tidak ada orang yang bisa kumintai tolong, sedangkan hari ini aku tidak membawa senjata apa pun. Karena Hutan banyak bebatuan, aku pun melewati tempat itu."
            "Hari ini memang penjaganya tidak ada. Kudengar, suaminya masuk rumah sakit. Tapi, harusnya ada yang menggantikannya. Mungkin besok aku harus menanyai orangg yang bertugas."
            "Hmmm... Rin, lain kali jangan sendirian jika pulang malam. Dan hati-hatilah dengan sosok dengan mata menyala."
            "Memang kenapa?"
            "Untuk saat ini kau tidak perlu tahu. Cukup lakukan apa yang Papa bilang. Mengerti?"
            Aku mengangguk pelan. Setelah itu, Papa berdiri dan keluar ruangan. Sambil menunggu, aku bermain dengan Kisa meggunakan pita rambutku. Dia sangat menikmatinya. Tidak lama setelah itu, Papa kembali kemudian membawa Ami dan aku ke kamar.
setelahmeletakan Ami dengan hati-hati di kasurnya, Papa duduk di kursi belajarku. Melihatnya yang tersenyum hangat kepadaku, membuatku yang tadinya gelisah menjadi tenang. Perlahan, aku pun terlelap.


Paginya papa sudah menyiapkan sarapan. setelah itu dia membawa kami ke pusat perbelanjaan di dekat sekolah. setelah puas bermain, kami pun pulang.
namun, di perjalanan, aku sempat berpapasan dengan Dellion. Saat aku menoleh, dia berdiri diam sambil menatapku tajam dengan leher yang dibalut perban.






Papa menyuruh Kirina selalu membawa pedang Chimera. lalu, Ami diberi sebuah kartu yag bisa membuat Ami makan puding di sana tanpa bayar.
Ami terlihat kegirangan. Setelah itu, Papa pun kembali pada sore hari ditemani dua body gruard nya.

Rabu, 28 Juni 2017

Chapter 4


“Masih kurang jelas? Bapak bilang, KELUAR SEKARANG!”

Pak Claud membawa kami menuju Lapangan.Tidak hanya kami, namun kelas senior pertama juga ada di sana. Kelas kami dan mereka dibatasi sebuah garis batu di tanah. Di tengah wilayah kami, terdapat lingkaran logam rumit yang sudah biasa kulihat. Di sekitar lingkaran itu dipenuhi logam lain seperti akar di permukaan yang bahkan sampai menjalar ke bawah kaki kami..

Di lapangan, kami berdiri dibawah pohon yang cukup rindang. Melihat Pak Cloud, berjalan  memutar. Tangannya dilipat ke belakang. Wajahnya yang tadi menunduk pun mulai diangkat. Wajah geram terlihat jelas. Kami menunduk, seakan menyesal. Sedangkan kelas senior, melihat kami dari kejauhan.

“Mereka mendapat Pak Claud ya? Kasihan…”

“Tapi, bukankah pembelajarannya enak?”

“Ssst!!!”

Walau kakak kelas itu hanya bicara pelan, suara mereka masih terdengar jelas. Aku mencoba memberanikan diri dengan mendongak. Aku melihat Pak Claud yang berdiri tegap di depan kami. Kemudian, ia mengeluarkan papan yang di atasnya terdapat kertas yang dijepit.

“Hari ini, kita akan ujian,” ujarnya.

Sekelas teman sekelasku mulai heboh. Mereka mengajukan protes berat terhadap Pak Claud tanpa rasa takut sedikit pun. Bahkan murid yang tadinya diam pun ikut buka mulut. Protes mereka terdengar cukup pedas untuk diucapkan kepada seorang guru.

Pak Claud hanya diam mendengarkan protes mereka. Ketika ada ruang untuk bicara, Pak Claud pun berkata dengan suara tegas, “Yang tidak tuntas,  nanti tidak boleh pulang"

Mereka mendadak bisu, dari wajah mereka terlihat kalau mereka mulai memucat takut. Pak Claud mengabaikan mereka, menuju ke atas lingkaran logam itu.

“Bapak akan mencontohkannya sekali. Perhatikan baik-baik.”

Di atas lingkaran, Pak Claud memejamkan matanya. Perlahan muncul simbol-simbol coklat kehitaman. Lalu, ia menggerakkan tanah, seolah tanah itu sungai yang menggelombang . Tangannya dimajukan kedepan, dari tanah muncul pedang berwarna perak. Pak Claud mengambilnya dan memanggil arlesnya.

“Hornfels!”

Pencontohan Pak Claud membuat kami berdecak kagum.

“Wah hebat!”

“Tahap pertama konsentrasi untuk memunculkan simbol. Kedua, keluarkan elemen. Ketiga, kendalikan elemen sesuka hati kalian. Keempat, buatlah elemen itu menjadi senjata. Kemudian tahap terakhir, keluarkan arles kalian.”

Pak Claud terdiam sejenak sebelum melanjutkan penjelasannya, “Sebenarnya, tahap yg paling sulit adalah tahap keempat. Karena ditahap ini, dibutuhkan konsentrasi yang tinggi dan pengetahuan terhadap kemampuannya sendiri. Jika kalian memperhatikan penjelasan bapak, kalian bisa dengan mudah mengeluarkannya. Namun, jika kalian hanya sedikit mendengar dan tidak mempelajari materi itu lagi, bapak yakin, kalian gagal.”

Pak Claud berjalan mendekati kami dan berkata, “Karena tidak semua orang memiliki arles, untuk tahap kelima ini, bapak tidak mewajibkannya.”

Seseorang mengangkat tangannya dengan ragu,“Pak?”

“Ya?”

“Bagaimana cara kita mengetahui kalau kita memiliki atau tidaknya arles?”

“Pertanyaan bagus. Kalian bisa melihatnya pada tahap pertama. Lihatlah dari simbol yang muncul di dalam ligkaran () ini. Lalu, apakah masih ada yang mau bertanya?”

Pak Claud menunggu jawaban daari muridnya. Namun tidak ada yang bersuara, “Tidak ada yang mau bertanya lagi? Kalau begitu, kita mulai ujiannya. Seperti kata bapak sebelumnya. Yang gagal tidak boleh pulang,” ucap Pak Claud dengan wajah yang mulai terlihat ramah dan dihiasi senyuman.

Pak Claud memanggil satu-persatu muridnya secara acak. Yang pertama Jordan Vincent, namun dia hanya bisa mencapai tahap pertama. Hal ini membuat Pak Claud sangat kecewa, terlebih lima belas dari dua puluh empat muridnya, tidak ada tidak bisa mencapai tahap empat. Bahkan kebanyakan hanya bisa melakukannya hingga tahap kedua.

Murid yang gagal hanya terdiam menyesali kemampuannya, begitu juga murid yang belum dipanggil pun diam karena gugup. Namun, semuanya berubah ketika seseorang pria berjubah lab putih berteriak dari lantai dua sambil melambaikan tangan kirinya.

“Kirina!!!!!!!!!! Ami!!!!!!!!!!! Bersemangatlah! Kalian berdua pasti bisa! A-----” ucapannya terhenti ketika tatapan seluruh murid di lapangan tertuju kearahnya dengan terkejut sekaligus heran dengan ucapannya.

“Berjuanglah!!!!!!”lanjutnya.

Ami membalikan badannya, tak menanggapi teriakan pria itu sambil menutupi sebelah mukanya dengan tangan. Dari sikapnya itu ia seolah tidak mengenal pria tersebut. Tapi tetap saja, tatapan curiga yang lain sudah tertuju padanya.

Mereka pun juga menatap kearahku sambil mengeluarkan kata-kata yang tidak mengenakan, seperti “Lancang sekali! Dia anggap dirinya siapa?? Bagaimana bisa Tuan Mikael terlihat akrab dengan mereka? Terlebih anak kecil itu, sikapnya seolah tidak menghargai perhatian yang diberikan Tuan Mikael. Bisa-bianya dia melakukan itu.”

Aku pun mendekati Ami dan memelukanya hingga ia bisa menutupi wajahnya. Kemudian, aku pun membalas teriakan pria di lantai dua tersebut, "Tuan Mikael. Maaf sekali dan harap dimaklumi adik saya karena ia hanya malu."

Pria yang namanya dikenal sebagai Mikael Hazard itu pun menurunkan tangannya dan menggaruk pelan kepalanya dengan wajah menyesal. Mata biru terangnya terlihat sendu, rambut hitam yang agak panjang pun bergoyang-goyang melewati matanya.

“Tidak apa. Bersemangatlah!” ucapnya lagi dengan senyuman canggung.

Tanpa diduga, guru kami, Pak Claud pun angkat bicara dengan nada yang tegas seolah membentak, "Bapak yg disana, harap diam!!"

"APA?! DASAR KAU BPPPPHHHHHh…!!” ucapan pria itu dihentikan kedua pria berseragam hitam di belakangnya yang sudah dari tadi ikut bersamanya. Mereka tidak lain adalah para bodyguard yang menahan pria itu dengan menyumbat mulut dan menarik pria itu mundur. Sedangkan, pria yang ditahan itu mengangkat satu kaki dan tanganya ke atas seolah protes.

Batinku berkata, “Terimakasih Pak Fii, Pak Lee. Seperti biasa, kalian sangat membantu.”

Aku kemudian menunduk melihat Ami yang ternyata dari tadi menatap sinis ke lantai dua.

“Kurasa hal ini bisa kumaklumi,” gumamku dengan tersenyum kaku.

Setelah keributan itu berakhir, Pak Claud pun melanjutkan ujian, "Mari kita lanjutkan.... Dellion!"

Dellion pun maju ke depan. Dari tadi aku tidak terlalu memperhatikannya, sehingga aku tidak tahu apakah ia menatapku seperti biasa atau tidak. Namun, yang pasti, saat ini, dia sedang menatapku. Yah, ini sanggat mengganggu. Tapi, aku hanya bisa terus memasang senyum kaku ke arahnya.

Dellion berdiri di atas lingkaran. Tidak sampai sedetik, ia sudah bisa memunculkan cahaya simbol yang terbang di atas lingkaran. Air, itulah simbol yang muncul di hadapannya dengan menggelombang kebiruan. Sedangkan disampingnya, terlihat simbol cahaya biru burung.

Ia juga dapat menyelesaikan tahap dua dan tiga. Anehnya, saat ia menuju tahap keempat ia, tidak banyak perubahan pada bentuk kendali elemennya. Air melenkung pagjang pipih mulai terbentuk dari air yang sebeumnya melayang-layang di udara. Namun, kami sangat terkejut ketika ia melancarkan serangan elemennya itu dengan cepat ke  arah pohon tempat kami berada.

SRASSSHHHHH!!!!

BRUK!!

Sebuah cabang bohon berdiameter tiga puluh senti terjatuh dengan potongan rapi di pangkalnya. Untungnya tidak ada yang berada di bawah cbang itu ketika jatuh, jadi tidak ada yang terluka. Namun, yang lebih mengejutkan lagi adalah, batu besar dibelakang cabang itu. Mungkin tidak ada yang berubah dengan batu besar berukuran bola basket di tanah selain garis lurus dari atas hingga tanahnya yang agak basah.

Murid yng lain menyingkir dari tempat kedua benda itu berada, sedangkan Pak Claud justru mendekat dan menarik salah satu pecahan batu yang juga terbelah lurus. Kemudian, Pak Claud menggerakan penanya di atas kertas yang ia bawa di papan.

“Kau bisa memanggilnya?”

“Ya……. Icarus!” panggil Dellion dengan tangan kiri yang diangkat sejajar bahunya di samping.

Dari pergelangan tangannya samar muncul sosok bayangan yang bercahaya biru. Perlahan cahaya itu mulai terbentuk menjadi seekor burung gagak kecil. Ya, hanya burung gagak biasa. Tidak ada yang aneh dengan anak gagak tersebut hingga orang mulai mengoceh tiada hentinya.

“Kukira arlesnya adalah sesuatu yang mengerikan.Ternyata, hanyalah bayi burung,” ejek seseorang lelaki yang bernama () dari kelasku. Aku mengetahui namanya dari saat ia dipanggil pertama kali oleh Pak Claud.

"Kakak!" terdengar suara samar anak laki-laki dengan intonasi cepat.

Murid-murid mulai bingung, "Apakah arles itu berbicara?"

"Itu tidak mungkin," ucap seorang perempuan berambutt biru yang diikat dua.

"Bukankah itu lebihh terdengar seperti suara gagak? Gagak kan suaranya seperti itu? Kak! Kak! Hahahhaha!!!” ejek () dengan tatapan sinis ke arah Dellion.

Tiba-tiba gagak itu terbang dan membesar, hingga memenuhi lebar  lapangan wilayah kami berada. Pekakaknya pun sangat keras, memecahkan kaca jendela di sekitar. Pecahan kaca pun sampai ada yang terlempar ke tengah lapangan. Gagak itu terlihat marah, sikapnya terlihat  hendak menyerang orang yg menghina dirinya dengan paruh raksasa yang ia miliki.

"Kraaaaaak!!!!!!!! Kraaaaaakkk!!"

"Hentikan itu! Abaikan mereka!"

Dellion langsung  pergi menjauh, diikuti juga dengan anak gagak yang sudah mengecil seperti semula. Dan bertengger di bahu dellion seolah bahunya itu adalah ranting kesukaan gagak tersebut.

“Yah… Berikutnya, Kirina,” panggil Pak Claud.

“Baik!” ucapku dengan ceria menuju linngkaran ().

Dengan mudah aku bisa memunculkan simbol api dan bintik kecil berwarna biru. Aku sangat bersyukur karena sejak kecil sudah dilatih ayah mengendalikan elemenku, sehingga akuu dapat melewati tahap kedua dan ketiga. Selanjutnya, pada tahap keempat, aku menepok jidat pelan. Berjalan ke tempat Pak Claud, meminta ijin ke kelas untuk mengambil sebuah barang di tas yang tertinggal.

Untunglah Pak Claud mengijinkan. Aku pun segera berlari menuju kelas dan menarik sebuah pegangan coklat yang agak mencuat di tasku. Setelah itu, aku pun kembali. Dengan sebuah pedang.

***

            Teman-teman sekelasku sepertinya sudah kebingungan dengan sikapku yang tiba-tiba meminta izin kembali kekelas. Namun, mereka lebih terkejut melihatku kembali ke lapangan dengan sebuah pedang dengan panjang lima puluh senti. Sampai-sampai ada yang menganga kaget.

            “Maaf, tapi aku harus melakukannya dengan pedang ini. Karena, elemen api di keluarga Hazard itu sangat jarang. Dan pemilik elemen api di keluarga Hazard itu sangat lemah, sehingga tidak mungkin untuk membuat api yang kuat. Mohon dimaklumi,” jelasku kepada yang teman sekelasku dengan agak menunduk serta memejamkan mata.

“Tidak apa Nak Kirina. Bapak sudah diberitahu oleh orangtuamu. Jadi, lanjutkanlah,”  kata Pak Claud sambil menepuk pundakku pelan.

Setelah itu aku pun membuka mata dan berjalan menuju sebelah kiri lingkaran (). Aku mengaliri pedang itu dengan api biru. Kemudian, mengayunkannya ke batang pohon yang sebelumnya dijatuhkan Dellion. Batang pohon itupun terbelah dua dengan api biru kecil membakar di sekeliling belahan kayu.

“Maaf, Pak. Bukankah, membawa senjata tajam di sekolah itu dilarang?”

“Pedang yang dibawa Nak Kirina itu tumpul. Bahkan untuk memotong secarik kertas saja tidak bisa.”

“Lalu, bukankah kata Kirina, keluarga Hazard yang memiliki elemen api itu lemah? Tapi, kenapa bisa membelah kayu itu?”

“Yah, itu karena pedang itu dibuat khusus untuknya.”

“Siapa orang yang memberinya, Pak?”

“Seseorang yang kukenal baik, Mikael.”

Pak Claud terdiam sejenak sebelum melanjutkan perkataannya, “Nak Kirina, kau bisa memanggilnya?”

“Seperrtinya begitu,” ucapku sambil berkonsentrasi.

“Lucidum!”panggilku dengan tangan kiri, atau lebih tepatnya telunjuk dan jari tengah ke atas.

Dalam sekejap, cahaya biru muncul dan membentuk titik di ujung jari tengah Kirina. 

Saat aku sedang tersenyum-senyum melihat Jordan, tiba-tiba terdengar suaraa samar menyuruhku untuk memanggil nama yang tidak jelas, tapi karen suasana lapangan yang cukup ramai akibat pembicaraan murid-murid pun membuatkuu berpikir, kalau aku mngkin salah dengar.

“Kerja bagus,” puji Pak Claud kepadaku dengan senyumnya yang ramah memecahkan lamunanku.

“Terimakasih Pak Claud!” ucapku dengan senyum dan memejamkan mata senang.

“Cuma serangga ternyata. Huh!” ejek Jordan.

Aku pun mundur bersama arlesku. Karena, sekarang nama Ami dipanggil oleh Pak Claud.

Ia melewati tahap pertama dengan memunculkan simbol batu dan simbol tunas kecil berdaun dua. Pada tahap kedua dan tiga ia lewati dengan membuat boneka batu yang bisa berjalan. Dan pada tahap keempat, ia berdiri tegak dengan wajah datar yang tidak senang. Ia Ami melebarkan kedua tangannya ke samping. Tanah pun mencuatkan pedang dan pemukul. Keduanya terbentuk dari batu. Perasaanku pun mulai tidak enak.

Ami mengambil keduanya dan melemparkan kedua senjata itu kea rahJordan Untungnya senjata itu hanya melewati kedua sisi Jordan. Walau, ada sedikit rambut yang terpotong oleh pedang sebelum tertancap dan menghancurkan batu pembatas lapangan. Ami mengangkat kakinya dan menghentakannya. Aku tahu sebesar apa kekeuatan Ami. Dan serangan yang satu ini sudh terlalu berlebihan.

Aku melompat depan Jordan yang masih berdiri mematung karena kaget. Batu-batuan besar meuncing mencuat dari tanah, namun berhenti di depanku, setelah Ami terkejut melihatku ada di hadapan Jordan.

“Ami, mungkin kau sebal dengan Jordan. Tapi, bukankah ini terlalu berlebihan? Dia bisa terbunuh,” ujarku kepada Ami.

Ami mulai ragu dan menggaruk pipinya dengan telunjuk kiri. Namun ia memenghentikan kakinya lagi ke tanah. Cuatan batuan pun menyusup ketanah yang kembali seperti sedia kala.

Aku pun kembali ke tempatku sebelumnya. Sedangkan Pak Claud mengabaikan kelakuan Ami, kemudian menanyakan pada Ami pertanyaan yang sama denganku. Ami mengangguk pelan.

Ia mengulurkan tangan kanannya sejajar kedepan dan memanggil,“Dryad!”

Dari tanah, keluar pohon kecil. Ami tersenyum simpul.

“B-bisa-bisanya kau menyerangku padahal arlesmu cuma tanaman, hah?! Aku yakin dalam sekali injak, pohon itu akan mati!” ucap Jordan dengan nada tinggi di akhir.

“Hetikan! Kau membuat Nimph itu marah!...... Terlambat,” desah Pak Claud di kejauhan dengan tangan kanan di wajah.

“Sepertinya, Dryad akan berubah wujud. Perhatikan baik-baik, Tuan Vincent. ”

“Jadi, kau menghinaku?”ucap suara tak dikenal.

Pohon kecil yang sebelumnya pun berubah, membesar membentuk seorang wanita. Kemudian, keluarlah wanita cantik bergaun hijau daun dengan hiasan bunga dan tanduk ranting di kepalanya. Ia mengulurkan tangannya ke depan, “Sekali injak, mati? Justru kaulah YANG AKAN MATI!!!!!!”

Akar dan cabang-cabang ranting runcing menjalar ke arah (). Ami hanya diam dengan tangan bersedekap melihat kea rah ().

“Ami, HENTIKAN!” teriakku pada Ami yan sudah kelewat batas.

“Dryad, berhenti!”

Serangan Dryad pun berhenti. Pipi () tergores hingga berdarah. Sedangkan di depan dahi, dada kiri, perut, dan kedua bahu cabang ranting berhenti. Sedangkan kedua anggota geraknya sudah terlilit akar.

“Ami, lepaskan dia!”

“Huft, baiik,” ucapnya kesal sambil mengerakan matanya ke samping.

 “Dryad, lepaskan dia. ”

“Dia menghinaku!” tolak Dryad dengan rambut coklat kehijauan di ujung rambut melambai tertiup angin.

“Lepaskan saja. Kakak sudah menyuruhku untuk melepaskan laki-laki kurang ajar itu. Jadi, lepaskn saja dia,” jelas Ami dengan malas.

Dyad masih diam menatap Ami. Ia menggerak-gerakkan  jemarinya di pinggul seakan sedang berpikir.

“Baiklah kalau begitu,” ucap Dryad sambil menunduk hormat kepada Ami.

Seluruh cabang dan akar itu pun bergerak kembali hilang. Dryad pun berjalan karah Ami yang berdiri di dekatku. Dryad tersenyum senang dan memeluk serta mengelus pipi dari antara Aku dan Ami. Yah, dari dulu, Dryad sudah sangat dekatt denganku.

Dulu, Dryad sering membuat anak-anak tetangga menangis ketakutan karena ancaman ranting dan pohonnya itu kalau ada yang merusak tanaman atau ada yang mengina dirinya dan Ami. Walau dulu ia tidak separah ini.

Aku melihat sekeliling, semuanya memasang wajah takut dan terkejut, tidak terkecuali kakak kelas yang ada di lapangan sebelah.Namun, Kak Shura di sana mulai tersenyum dan memberikan jempol kea rah kami.

“kak Shura….” gumaku dengan dengan agak meninggi pelan.

SRRRRAAAAA!!!!!!!

Butiran-buitran baja hitam mengkilat keluar dari pakaian (). Saat butiran itu kembali masuk ke dalam tanah, () tersadar dari ketakutannya yang bebelumnya. Pak Claud pun mendekati (), “Kurasa, untuk seranngan di pipimu, bapak tidak menduganya.”

“Dengarkan bapak baik-baik. Kalian tidak seharusnya untuk menghina orang lain atau arles. Terlebih untuk arles yang baru saja dipanggil. Mereka tentu saja akan tersinggung saat, mereka muncul dan tiba-tiba saja ada yang menghinanya.bukankah kalau kita berada di posisi arles itu, kita juga akan marah? Kita yang baru saja bertemu dengan arles itu, tentunya tidak tau sehebat apa arles itu. Jadi, untuk keamanan kalian, sebaiknya kalian tidak melakukan hal itu. Bukankah hal ini sudah bapak terangkan dua minggu yang lalu? Untungnya, arles milik mereka bertiga dapat mereka kendalikan dengan baik. Kalau begitu, bapak akan lanjutkan ujiannya lagi.”

“Sebentar, Pak. Saya mau bertanya.”

“Oh, apa yang mau kau tanyakan?”

“Kenapa bisa ada arles yang berwujud manusia? Aku biasanya hanya menemui arles hewan atau monster. Tapi tidak ada yang berbentuk menyerupai manusia.”

“Mereka disebut Nimph. Mereka adalah arles tipe kedua. Tidak banyak Nimph di dunia ini. Dan mereka memiliki kelebihan dapat berbicara dan bisa kita rasakann emosinya. Sedangkan arles biasa hanya bisa kita rasakan emosinya.”

“Apakah semua Nimph itu kuat?”

“Tidak semuanya. Ada juga yang lemah. Tapi kita tidak bsa membedakannya seperti arles lainnya.”

            “Oh ya, Nak Ami. Bapak tahu kau bisa mengendalikan arles dan elemenmu, tapi kamu seharusnya mencegahnya untuh menyerang seperti tadi."

"Tapi dia yang mulai duluan."

"Walau begitu. kamu seharusnya lebih bertanggung jawab."

Ami mengabaikan perkataan Pak Claud dan memasang wajah kusut. Mata hijau emeraldnya menyipit sebal. Sesekali ia juga mendengus pelan sambil mengejapkan mata.

"Maaf Pak Claud, Ami memang seperti itu. Ami, cepat minta maaf," ucapku sabil berlar kecil mendekati Ami

Ami mengalihkan pandangan, tangannya bersedekap. Dengan tidak ikhlas ia berkata, "Maaf."

“Baiklah. Mari kita lanjutkan ujiannya.”

Murid yang tersisa semuanya gagal kecuali satu. Seorang perempuan manis berambut pendek biru yang dikucir dua. Ia menyelesaikan tahap empat dengan cara yang sama denganku. Walau bedanya ia menggunakan ranting pohon yang ada di lapangan.

Setelah itu, Pak Claud menyuruh semua muridnya ke ruangaannya selain AMi, Dellion, Rian, Melody.

“Pak. Bukankah lelaki yang bernama Rian itu tadi tidak melakukan ujian tahap keempat dan lima?” ucap seorang bertubuh gemuk dengan nada malas.

“Sederhnanya, bapak sudah mengetes Nak Rian sebelum ini. Jadi, jangan dipikirkan. Sekarang, pergilah ke ruangan bapak. Lalu kalian yang lolos, silakan berlatih dengan Nak Shura di sana. Dia sudah menunggu. ”

Sesaat setelah Pak Claud pergi, anak perempuan berambut biru memanggilku dengan heboh, “Kirna!Kirina! Ajari aku. Bagaimana kau bisa melakukan semua tadi. Maksudku, memanggil arles!"

“Caranya mudah. Kau hanya harus berkonsentrasi dan mencari wujud roh arles dalam dirimu. Kemudian, bacalah nama yang tertulis disana, atau sebutkan nama yang merek sebutkan.”

“Begitu ya?” tanyanya untuk meyakinkan.

“Ya,” sahut Kak Shura dengan senyuman.

“Kak Shura!” panggil Ami yang berlari mendekat bersama Dryad.

“Kau hebat Ami, tapi sebaiknya kau hati-hati. Karena kau bisa membunuh seseorang,” ucap Kak Shura dengan senyum kaku nanti disini mereka diajari lalu ada yg nanya apa arlesnya Ashura.

“Ngomon g-ngomong, Kak. Apa arles Kak Shura? Aku ingin tahu,” kata Ami.

“Hmmm, gimana ya…..” ucapnnya dengan perhitungan.

“Tunjukan saja, Kak. Aku juga ingin melihatnya,” pintaku ke Kak SHura sebagai penjelas permintaan Ami.

“Kalau sudah ada dua orang yang minta gini, sepertinya aku harus menunjukannya. Kalau beitu, kalian semua mundurlah lagi hingga ke pinggir lapangan,” pinta Kak Shura  percaya diri sambil mengayunkan telapak tangannya ke atas dan bawah berulang dan melangkah mundur.

“Tapi kenapa?” tanya kami berlima.

“Mundur saja dulu. Kalian akan tahu nanti.”

“Baiklah,” ucap Ami sambil diikuti yang lainnya menuju ke pinggir lapangan.

Kak Shura mengangkat tangannya kirinya tinggi ke atas dan berteriak, “Jotunheim!”

Tiba-tiba, api merah besar membakar selebar lapangan dan terus meninggi. Kemudian api itu memadat membentuk makhluk raksasa.

“HAAAALLOOOO!” kepala kemerahan tiba-tiba turun ke bawah menyapa kami.

_______________________________________...__________________________________

Perempuan berambut pirang panjang  diikat samping atas kanan

            Aku sedang berjalan-jalan saat bosan mendengar penjelasan guru. Meski aku sudah sering membolos, merekaa tidak menghukum atau melaporkan hal ini kepada orangtuaku. Hal ini pun jelas membuatku semakin bosan dengan sekolah.

Perjalanan santaiku terhenti di lapangan samping tempat berkumpulnya dua kelas yang sepertinya salah satunya sedang ujian. Aku berjalan mendekat, mengintip dari sudut tembok.

SRAAK!!!

Ranting dan akar pohon menjalar hingga ke seorang pria berambut pirang yang kukenal, () Vincent. Dia adalah anak pamanku.

“Waw, itu keren sekali.”

Aku sangat terkesan dengan kekuatan anak kecil yang memiliki Nimph itu. Namun, aku lebih terkesan dengan seorang gadis berambut panjang yang diikat kebawah, ia dapat menyuruh anak itu menghentikn Nimph. Lalu juga, sepertinya mereka sangat akrab. Nimphnya juga.

“Seandainya, aku juga bisa seakrab itu dengan orang-orang. Terlebih, kelas mereka sepertinya menarik,” gumamku.

“Aku tahu! Aku akan mengajukan permintaan perpindahan kelas kepada Pak Kepala Sekolah!” ucapku dengan yakin sebelum berlari menuju ruang kepala sekolah.

***

            BRAK!!!

            Aku membuka pintu ruangan dengan sangat keras saking semangatnya. Di hadapanku seorang pria paruh baya dengan wajah berkerut membenarkan kacamatanya saking kagetnya.

“Pak! Pindahkan aku ke Kelas Mimosa! Mulai lusa, saya ingin belajar di sana. Titik!” ucapku to the point tanpa penjelasan yang jelas ke kepala sekolah.

“Tapi, Nona Vero------”

Aku langsung kabur sebelum mendengar perkataan Pak Kepala yang pasti tanya alasannya. Setelah itu aku pun kembali ke tempatku tadi. Di sana, murid-murid sudah mulai bubar. Hanya tersisa enam murid di lapangan dengan tiga arle. Dua diantaranya adalah anak yang kulihat sangat akrab itu.

Aku teriak peln histeris senang, “Aaa! Aku tidak sabar pengen pindah!”

 “Kirna!Kirina! Ajari aku. Bagaimana kau bisa melakukan semua tadi. Maksudku, memanggil arles!" ucap seseorang dengan hebohnya.

Orang yng akrab itu pun menjelaskan, “Caranya mudah. Kau hanya harus berkonsentrasi dan mencari wujud roh arles dalam dirimu. Kemudian, bacalah nama yang tertulis disana, atau sebutkan nama yang merek sebutkan.”

Aku sangat terkejut, aku tidak menyangka kalau alasan aku tidak pernah bisa memanggil arles adalah ini. Wajah kagetku pun mulai berubah menjadi gembira. Mungkin sebaiknya aku praktekan ini nanti di rumah.

“Jotenheim!”

Aku langsung mengarahkan pandangnku ke lapangan. Raksasa merah muncul disana! Sontak, aku pun jatuh terduduk di lantai dengan keringat dingin.

Tubuhku pun gemetar bahkan sampai ke suaraku, “S-Shura ada di sana……..”

_______________________________________...__________________________________

Dellion

            Setelah menjalani pelatihan yang melelahkan dengan perempuan yang bernama Shura itu membuatku cukup kuwalahan. Aku terus berjalan menuju kelas dan bergumam, “Terlebih arlesnya itu. Kenapa bisa sebesar itu? Huft…”