Ruangan
gelap berpenerangan lampu api remang-remang. Meja berisikan banyak kursi dan
pintu berukirkan bunga. Tiga orang duduk pada kursi.
"Mari
kita bahas permasalahannya"M
"Sepeti
yang kuberitahu sebelumnya, makhluk itu muncul. Lalu juga aku sempat beberapa
kali melihat sosok bayangan asing."E
"Kau
yakin itu bukan makhluk itu."M
"Aku
yakin. Karena yang kulihat itu bukanlah makhluk itu. Makhluk itu selalu merubah
warna matanya sesuai orang yang ia lihat. Sedangkan sosok itu warna matanya
kuning keemasan. Tidak banyak orang yang memiliki warna itu.,”
“Kau
benar,”
“anehnya
dia hanya muncul saat malam sertatidak seperti makhluk itu, dia hanya menatap
ke arah asrama beberapa saat kemudian hilang dalam hutan." E
"Lumine
Noctem,"C
"Huh?Lumine
apa?" E
"Lumine
Noctem, sosok misterius di masyarakat sekitar kerajaan beberapa tahun
ini,"
"Hoo!
sosok yang sering terlihat di hutan atau dibawah pepohonan itu ya?! Aku
mengerti!" E memukulkan kepalan tangan kanan ke tangan kiri yang terbuka
"Apa
kau tidak salah lihat dengan halusinasi?" M
"Malam
itu aku juga melihatnya, kalau tidak percaya tanyakan saja pada arles kami
berdua" C #grin
"Lalu,
kenapa kau yakin kalau itu bukan makhluk itu?"
"Karena,
jika arles atau pun hewan melihat makhluk itu, mereka akan siaga"
"Itu
benar, aku sudah melihatnya, Kisa. Dia mendesis marah ke arah jendela tempat
makhluk itu ada. Tapi saat sosok yang disebut Lumine itu muncul,
Kisa
yang sedang bersamaku, dia terlihat tenang."
"Kisa?
apa itu peiharaan barumu, El?"
"Haha!
Bukan, bukan, itu peliharaan anakmu,"
"Kirina
mempunyai peliharaan?! Aaaa! Kenapa dia tidak memberitahuku" (Mikael
histeris)
"Ah!
ngomong-ngomong Elina, apa peliharaannya adalah kucing hitam dengan bercak
putih di dekat lehernya?"
"Seperti
yang kau bicarakan,"
"Kalau
begitu, tidak ada lagi yang perlu kita cemaskan. Jika ada apa-apa, hubungi aku.
Maka aku akan segera datang. Aku serahkan sisanya pada kalian”
,diam
sejenak, "Jaga diri kalian."
"Tapi,
bagaimana jika terjadi sesuatu?"
berdiri
M, "Tenang saja, kalian cukup waspada. Di sekolah menurutku akan
aman."
"Apa
maksudmu?"
jari
di mulut serius, "Sssst... kita serahkan hal ini pada Alfred dan mereka bertiga,
untuk saat ini, kalian cukup siaga. Selama makhluk itu tidak masuk ke asrama,
semuanya akan aman." M serius
berubah
M, "Kalau begitu sudah dulu! Aku ingin segera mengejutkan mereka! untung
barangnya akan sampai sebentar lagi"
"Huft,
kalau kau sudah bilang begitu, mau bagaimana lagi,"
Berpisah
lewat tiga pintu berbeda, "Yah, selama kau tidak menimbulkan keributan.
Untuk menunggu mereka, kau boleh menggunakan ruanganku, lagi pula aku masih
harusmengurus pembelian bahan makanan ke pasar nanti."
"Baik,"
Kriiieeetttt.....Clack
_______________________________________________________________________________________________________
Kirina masuk sekolah,
disana sudah masuk semua murid dan duduk di bangkunya.
Veronica datang,
melirik Kirina.
"Kau akan
membayarnya" V
Veronica menuju ke
bangku belakang Kirina.
"Kau pinahlah
kebelakang!"
"Memangnya kau
siapa, Ha?!"
"Veronica Vincent,
anak kedua dari yang mulia Raja (). Kau mau menentang?"
orang yang duduk di
belakang Kirina pindah ke bangku kosong dibelakang.
Seperti Dellion, dia
hanya menatap sinis Kirina, hingga ia mendengar sesuatu yang menarik dari
pembicaraan di belakang.
"Hooo... Jadi kau
hanya bisa melakukan penyembuhan ya? Lalu apa kau bisa melakukan operasi besar?
Menurutku hal itu lebih berguna. Ya kan? Kirina????
..... Kenapa diam? Apa
aku salah bicara?
Ngomong-ngomong, apa
hubunganmu dengan Tuan Mikael? Kenapa kau terlihat sangat dekat? Apa kau tahu?
Aku melihatmu saat itu, kau dan Tuan Mikael------"
"Yap, cukup campai
situ pembicaraannya. Sepertinya, murid baru kita sudah berangkat.Dari yang
bapak lihat sepertinya kalian sudah mengenalnya.
Kalau begitu, mari kita
ke hutan. mumpung cuacanya cerah."
Veronica bingung dan
protes kenapa harus keluar, padahal kelasnya baik-baik saja.
nanti adu mulut sama
pak Claud.
"Bukankah lebih
baik belajar di luar udaranya lebih segar? Kalau tidak ingin, kau boleh kembali
ke kelasmu yg sebelumnya, Nona Vincent...."
Veronica keluar.
"Bapak, harap kau
tidak mengulanginya lagi. Ini semua demi kebaikanmu,karena bapak tahu sebab kau
pindah... Teman...."
"Ap---"
"hilang?Hmmm...
Biarlah...."
Tap....tap....tap....
"Verna....."
"Huh?" tengok
belakang, angin berhembus
"Tidak ada
siapa-siapa.... Mungkin hanya imajinasi...."
__________________________________________________________________________________________________________
Gadis itu, berjalan sendiri engan wajah marahnya. aku
tidak tahu kenapa, tapi satu hal yang menjadi penyebab adalah diriku....
Pagi berganti siang,
gadis itu berdiri dalam kumpulan murid. berbincang, menatap sinis, dan tertawa
terhadapku. Seperti waktu itu, tapi bedanya gadis itu tertawa.
Hanya satu yang
kuharapkan, semoga gadis itu tidak seperti mereka.
Kutanggapi hinaan itu sebisanya, tanpa membuat konflik.
meski begitu, ia terus saja mengatakan sesuatu yang kejam. Hingga aku pun
mencapai batas dan membiarkannya
mengoceh semaunya.
Untungnya bel tanda pembelajaran selesai berbunyi. Tanpa basa basi lagi, aku
langsung menuju perpustakaan. Mencari rak bertema kesehatan dan medis.
"Walau tajam,
perkataanmu itu ada benarnya juga, Veronica.....Vincent...."
Hari Sabtu, sekolah memulangkan muridnya lebih awal untuk
dirinya bersiap untuk istirahat atau pulang ke kediamannya bersama keluarga.
Tapi hari ini, aku
sedang tidak mood untuk kembali ke asrama. Jadi, aku mengambil lima buku tebal
yang kuambil dari rak yang kucari dan kutumpuk jadi satu di meja
dekat jendela.
Tertulis dalam papan di tembok,
Perpustakaan buka setiap hari, dari pukul 5 pagi hingga
tengah malam.
Dilarang membawa buku keluar sebelum mengisi data
peminjaman di meja pengurus, jika melanggar akan mendapat sangsi langsung.
Peminjaman hanya berlaku selama 7 hari, dapat tambah hari
dengan persetujuan penjaga perpustakaan.
Harap mengembalikan buku yang diambil pada tempatnya atau
dapat diletakan pada meja hijau di dekat meja pengurus.
Untuk perhatian dan ketertibannya, kami ucapkan
terimakasih.
Berkat peraturan itu, aku dapat membaca buku ini
sepuasnya. Ditambah tidak adanya penjaga perpustakaan, sehingga tidak ada yang
mengganggu bacaanku
meski matahari sudah
terbenam dii ufuk barat. Dan binatang malam pun mulai bernyanyi disertai bunyi
jam dinding yang berdetak mengikuti detik.
Sungguh tenang,
perlahan mood ku pun kembali. Tepat pada pukul 11.45 malam aku selesai membaca
dua buku. Karena, perpus sebentar lagi mau ditutup,
aku mengembalikan dua
buku ke raknya dan menulis data peminjaman di meja pengurus. Setelah itu, aku
berkemas dan keluar pintu. Di sana, Kisa duduk menanti dengan pita biru
yang kuikatkan waktu
itu sebagai penanda sementara.
"Kau menungguku?"
"Meooow!!"
"Sebentar, sepertinya aku ingat aku menyimpan
sebungkus snak kucing di tas."
"Ini dia!"
KAAAAKKKKK!!!!! KAAAAAKKKK!!!!
"Gagak?"
Gagak itu terbang sat aku menoleh ke arahnya. Bersamaan
dengan itu, suara jam berdentang keras dan pintu perpustakaan otomatis tertutup
dan terkunci.
"Sepertinya aku terlalu lama di perpustakaan, kalau
tadi aku tidak cepat mungkin aku sudah terkunci disana. Iya kan, Kisa?"
Kisa melompat ke pangkuanku, aku pun berdiri dengan
mengendongnya sambil memberikan snak yang tadi ke Kisa.
"Ayo kita pulang, Ami mungkin khawatir. Gimana ya
nanti wajah marahnya."
Kruyuuukkkkk~~~~~
"Ahhh.... Laparnya...... Sebaiknya aku
bergegas," kataku sambil melirik ke belakang.
Seseorang ada di sana, perempuan?....Tidak... Laki-laki.
Dari tadi, aku merasa aku sedang diikuti. Maka dari itu, sebaiknya aku bergegas
dan tidak membuat pergerakan
mencurigakan. Saat ini,
aku tidak membawa benda yang bisa digunakan sebagai senjata. Mungkin aku harus
menggunakan cara itu. Terlalu beresiko, tapi patut dicoba.
Aku memeluk Kisa erat, mengambil botol minum di tasku.
"Ahhh..... airnya habis...." ujarku berhenti
melangkah tanpa membuat kecurigaan.
PYARRRRRRR!!!!!!
Aku melemparkan botol itu ke lampu penerangan di jalan
itu dan berlari menuju hutan. Hutan ini adalah jalan tercepat menju asrama.
Jika aku berlari lurus sesuai diagonal,
aku bisa memotong jalan
dari satu kilometer menjadi kira-kira setengahnya. Memang gelap, tapi lebih
baik dari pada di tempat itu tanpa adanya benda yang bisa dijadikan senjata dan
berjalan lebih jauh.
Di hutan, banyak
batuan, aku bisa menggunakannya sebagai senjata di saat genting.
Aku sedikit menoleh ke belakang, ternyata lelaki itu
masih mengikutiku. Matanya bersinar di celah-celah pepohonan. Sebaiknya aku
mempercepat langkahku.
Aku melihat batu runcing sebesar kepalan tangan di depan.
Karena jarak asrama yang makin dekat, aku segera mengambil batu itu dan
membakarnya dengan api biruku.
"Sedikit lagi... Kisa peganganlah erat-erat. Aku
akan menyerang,"
Swoooosshhh!
"Sial...." ucapnya dalam kegelapan sambil
berdiri diam di tempatnya seteah aku melempar.
"Sepertinya aku berhasil...
Huft..Huft....Huft......"
Lelaki itu tidak mengejar lagi, sepuluh menit kemudian
aku pun sampai di tepi hutan. Takut, pria itu masih mengejar, aku tidak
melambatkan lariku meski pintu gerbang
hanya tinggal dua pulu
meter di depanku. Di sana terdapat wanita tinggi yang rambutnya tergerai
panjang bersama seseorang yang lebih pendek darinya, di samping kiri orang yang
lebih pendek,
terdapat pria berjas
putih. Sepertinya aku sudah aman....
Mereka berlari ke arahku, sayangnya aku tersandung dan jatuh
tersungkur di rumput. Untungnya, aku jatu dalam posisi miring, sehingga Kisa
tidak terkena benturan.
"Rina? Kau tak
apa?"
"Rin? kenapa kau
baru pulang jam segini?"
"Kak
RIIIINNNNN!!!!!"
Aku menoleh ke belakang, ternyata di sana ada seseorang
bersorot mata coklat. Perasaanku mengatakan supaya segera menjauh. Saat aku
terus menatapnya, ia menyeringai.
"Mm-mungkin sebaiknya kita masuk dulu…. Aku lapar."
"baiklah, sebaiknya kau mandi dan mengobati lukamu.
badanmu penuh luka gores,"
"Tidak apa, aku bisa menyembuhkannya nanti. Yang
penting ayo makan, aku lapar...lapar... Perutku sudah berbunyi dari tadi,"
ucapku sambil berjalan pincang karena keseleo dan sesekali menengok kebelakang.
"Sini Papa gendong,"
"Aaa!!! Papa! Ini memalukan, kalau dilihat yang lain
bagaimana?"
tertaa kecil,"Tak apa, mereka sudah pulang."
Dari pelukanku, Kisa terus-terusan mendesis ke belakang.
Dari tatapan Papa, Ami, dan Bi Elin, mereka sangat waspada. Langkah mereka pun
juga semakin cepat. Aneh, tapi aku tidak mau berpikir lagi. Perkataanku tadi
memang sebuah pengalihan, tapi masalah lapar, berutku sudah semakin bergemuruh.
Setelah sampai di Asrama, Bi Elina mengunci pintu gerbang dan pintu asrama
depan. Denagn cepat Bibi Elina menutup gorden pada pintu kaca itu. Kemudian,
Papa membawaku ke ruangannya Bi Elina. Bukankah seharusnya aku dibawa ke
kamarku?
"Emm, Papa?"
"Sementara kau mandi dan mengobati dirimu disini.
Papa akan memanaskan makanan yang Papa buat tadi. Masakan ke sukaanmu.
Sebaiknya kau mandi dan menyembuhkan luka itu. Goresannya ada di
mana-mana."
Setelah itu, Papa menurunkanku di depan kamar mandi. Kisa
pun yang tadinya berada di pelukanku melompat turun dan naik ke meja makan.
Sedangkan Papa ia berjalan ke dapur, Bi Elina sedang menulis sesuatu
di secarik kertas.
Kuharap itu bukan sangsi hukuman. Ami yang ari tadi duduk di meja makan
menggerakan tangannya menyuruhku masuk ke kamar mandi.
"Iya, iya..." kataku pelan sambil tersenyum.
Aku segera mandi dan mengobati luka-luka di tubuhku
dengan apiku. Namun, rasa sakit akibat keseleo di kaki Kananku tidak hilang.
"Kak! Sudah selesai?!"
"Sudah!"
Seseorang mengetuk pintu kamar mandi,"Ini baju ganti
juga handuknya."
Aku segera membuka pintu dan mengambilnya. Setelah
berpakaian, aku berjalan menuju meja makan. Di sana, mereka bertiga sudah duduk
di meja makan yang diisi dengan () serta segelas susu hangat.
Ayah menyuruhku duduk
dan makan. Ami yang tadinya duduk, menyanggakan kepalanya di meja dengan tangan
menyilang i bawah kepala. Sepertinya dia mulai tertidur. Papa dan Bibi ELina
terus-terusan memberitahuku bahayanyapulang malam. Tapi, aku mengabaikan semua
perkataan mereka. Karena saat ini pikiranku sedang terfokus pada sosok yang
kulihat tadi.
Pada awalnya sosok yang kulihat itu matanya bersinar saat
ia melewati pepohonan, sedangkan sosok terakhir yang kulihat itu matanya coklat
agak menyala. Aku bingung, ada apa sebenarnya.
Tapi, beberapa hari ini
banyak keanehan yang terjadi di asrama. Sebelumnya, Bibi tidak pernah menutup
gorden pada pintu depan. Bahkan sejak kejadian waktu Ami menarikku ke bawah,
Bibi menyuruh seluruh penghuni asrama menutup pintu
dan jendela kaca
rapat-rapat sekaligus ditutup gorden. Apa semua ini ada kaitannya?
"Ah.. biarlah, yang penting aku selamat,"
batinku sambil melahap ().
Selesai makan, aku akhiri makan itu dengan segelas susu
hangat. Dan sebuah pertanyaan pun terlontar dari bibir Papaku, "Rina,
kenapa kau baru pulang saat tengah malam?"
"Maaf, tapi aku keasikan membaca buku di
perpustakaan."
"Lalu kenapa kau berlari sampai terluka melewati
hutan itu? bukankah itu bahaya?"
Aku ingin mengatakan apa yang terjadi sebenarnya, tapi
jika kulakukan, mereka akan khaawatir. Tapi, jika tidak kukatakan seseorang
mungkin akan jadi korban.
Jadi kuputuskan, "Seeorang mengikuti."
"Ha?! Siapa? Kau lihat wajahnya?"
"Saat itu gelap,"
"Bukankah melewati hutan itu lebih berbahaya? Apa
saat itu tidak ada penjaga di Perpustakaan yag bisa kau minta tolong."
"Sebab mengapa aku melewati hutan adalah karena
tidak ada orang yang bisa kumintai tolong, sedangkan hari ini aku tidak membawa
senjata apa pun. Karena Hutan banyak bebatuan, aku pun melewati tempat
itu."
"Hari ini memang penjaganya tidak ada. Kudengar,
suaminya masuk rumah sakit. Tapi, harusnya ada yang menggantikannya. Mungkin
besok aku harus menanyai orangg yang bertugas."
"Hmmm... Rin, lain kali jangan sendirian jika pulang
malam. Dan hati-hatilah dengan sosok dengan mata menyala."
"Memang kenapa?"
"Untuk saat ini kau tidak perlu tahu. Cukup lakukan
apa yang Papa bilang. Mengerti?"
Aku mengangguk pelan. Setelah itu, Papa berdiri dan
keluar ruangan. Sambil menunggu, aku bermain dengan Kisa meggunakan pita
rambutku. Dia sangat menikmatinya. Tidak lama setelah itu, Papa kembali
kemudian membawa Ami dan aku ke kamar.
setelahmeletakan Ami
dengan hati-hati di kasurnya, Papa duduk di kursi belajarku. Melihatnya yang
tersenyum hangat kepadaku, membuatku yang tadinya gelisah menjadi tenang.
Perlahan, aku pun terlelap.
Paginya papa sudah
menyiapkan sarapan. setelah itu dia membawa kami ke pusat perbelanjaan di dekat
sekolah. setelah puas bermain, kami pun pulang.
namun, di perjalanan,
aku sempat berpapasan dengan Dellion. Saat aku menoleh, dia berdiri diam sambil
menatapku tajam dengan leher yang dibalut perban.
Papa menyuruh Kirina selalu
membawa pedang Chimera. lalu, Ami diberi sebuah kartu yag bisa membuat Ami
makan puding di sana tanpa bayar.
Ami terlihat
kegirangan. Setelah itu, Papa pun kembali pada sore hari ditemani dua body
gruard nya.