“Masih
kurang jelas? Bapak bilang, KELUAR SEKARANG!”
Pak Claud membawa kami
menuju Lapangan.Tidak hanya kami, namun kelas senior pertama juga ada di sana.
Kelas kami dan mereka dibatasi sebuah garis batu di tanah. Di tengah wilayah
kami, terdapat lingkaran logam rumit yang sudah biasa kulihat. Di sekitar
lingkaran itu dipenuhi logam lain seperti akar di permukaan yang bahkan sampai
menjalar ke bawah kaki kami..
Di
lapangan, kami berdiri dibawah pohon yang cukup rindang. Melihat Pak Cloud,
berjalan memutar. Tangannya dilipat ke
belakang. Wajahnya yang tadi menunduk pun mulai diangkat. Wajah geram terlihat
jelas. Kami menunduk, seakan menyesal. Sedangkan kelas senior, melihat kami
dari kejauhan.
“Mereka
mendapat Pak Claud ya? Kasihan…”
“Tapi,
bukankah pembelajarannya enak?”
“Ssst!!!”
Walau
kakak kelas itu hanya bicara pelan, suara mereka masih terdengar jelas. Aku
mencoba memberanikan diri dengan mendongak. Aku melihat Pak Claud yang berdiri
tegap di depan kami. Kemudian, ia mengeluarkan papan yang di atasnya terdapat
kertas yang dijepit.
“Hari
ini, kita akan ujian,” ujarnya.
Sekelas
teman sekelasku mulai heboh. Mereka mengajukan protes berat terhadap Pak Claud
tanpa rasa takut sedikit pun. Bahkan murid yang tadinya diam pun ikut buka
mulut. Protes mereka terdengar cukup pedas untuk diucapkan kepada seorang guru.
Pak
Claud hanya diam mendengarkan protes mereka. Ketika ada ruang untuk bicara, Pak
Claud pun berkata dengan suara tegas, “Yang tidak tuntas, nanti tidak boleh pulang"
Mereka
mendadak bisu, dari wajah mereka terlihat kalau mereka mulai memucat takut. Pak
Claud mengabaikan mereka, menuju ke atas lingkaran logam itu.
“Bapak
akan mencontohkannya sekali. Perhatikan baik-baik.”
Di
atas lingkaran, Pak Claud memejamkan matanya. Perlahan muncul simbol-simbol
coklat kehitaman. Lalu, ia menggerakkan tanah, seolah tanah itu sungai yang
menggelombang . Tangannya dimajukan kedepan, dari tanah muncul pedang berwarna perak.
Pak Claud mengambilnya dan memanggil arlesnya.
“Hornfels!”
Pencontohan
Pak Claud membuat kami berdecak kagum.
“Wah hebat!”
“Tahap
pertama konsentrasi untuk memunculkan simbol. Kedua, keluarkan elemen. Ketiga,
kendalikan elemen sesuka hati kalian. Keempat, buatlah elemen itu menjadi
senjata. Kemudian tahap terakhir, keluarkan arles kalian.”
Pak
Claud terdiam sejenak sebelum melanjutkan penjelasannya, “Sebenarnya, tahap yg
paling sulit adalah tahap keempat. Karena ditahap ini, dibutuhkan konsentrasi
yang tinggi dan pengetahuan terhadap kemampuannya sendiri. Jika kalian
memperhatikan penjelasan bapak, kalian bisa dengan mudah mengeluarkannya.
Namun, jika kalian hanya sedikit mendengar dan tidak mempelajari materi itu
lagi, bapak yakin, kalian gagal.”
Pak
Claud berjalan mendekati kami dan berkata, “Karena tidak semua orang memiliki
arles, untuk tahap kelima ini, bapak tidak mewajibkannya.”
Seseorang
mengangkat tangannya dengan ragu,“Pak?”
“Ya?”
“Bagaimana
cara kita mengetahui kalau kita memiliki atau tidaknya arles?”
“Pertanyaan
bagus. Kalian bisa melihatnya pada tahap pertama. Lihatlah dari simbol yang
muncul di dalam ligkaran ()
ini. Lalu, apakah masih ada yang mau bertanya?”
Pak
Claud menunggu jawaban daari muridnya. Namun tidak ada yang bersuara, “Tidak
ada yang mau bertanya lagi? Kalau begitu, kita mulai ujiannya. Seperti kata
bapak sebelumnya. Yang gagal tidak boleh pulang,” ucap Pak Claud dengan wajah
yang mulai terlihat ramah dan dihiasi senyuman.
Pak
Claud memanggil satu-persatu muridnya secara acak. Yang pertama Jordan Vincent,
namun dia hanya bisa mencapai tahap pertama. Hal ini membuat Pak Claud sangat
kecewa, terlebih lima belas dari dua puluh empat muridnya, tidak ada tidak bisa
mencapai tahap empat. Bahkan kebanyakan hanya bisa melakukannya hingga tahap
kedua.
Murid
yang gagal hanya terdiam menyesali kemampuannya, begitu juga murid yang belum dipanggil
pun diam karena gugup. Namun, semuanya berubah ketika seseorang pria berjubah
lab putih berteriak dari lantai dua sambil melambaikan tangan kirinya.
“Kirina!!!!!!!!!!
Ami!!!!!!!!!!! Bersemangatlah! Kalian berdua pasti bisa! A-----” ucapannya terhenti
ketika tatapan seluruh murid di lapangan tertuju kearahnya dengan terkejut
sekaligus heran dengan ucapannya.
“Berjuanglah!!!!!!”lanjutnya.
Ami
membalikan badannya, tak menanggapi teriakan pria itu sambil menutupi sebelah
mukanya dengan tangan. Dari sikapnya itu ia seolah tidak mengenal pria
tersebut. Tapi tetap saja, tatapan curiga yang lain sudah tertuju padanya.
Mereka
pun juga menatap kearahku sambil mengeluarkan kata-kata yang tidak mengenakan,
seperti “Lancang sekali! Dia anggap dirinya siapa?? Bagaimana bisa Tuan Mikael
terlihat akrab dengan mereka? Terlebih anak kecil itu, sikapnya seolah tidak
menghargai perhatian yang diberikan Tuan Mikael. Bisa-bianya dia melakukan
itu.”
Aku
pun mendekati Ami dan memelukanya hingga ia bisa menutupi wajahnya. Kemudian,
aku pun membalas teriakan pria di lantai dua tersebut, "Tuan Mikael. Maaf
sekali dan harap dimaklumi adik saya karena ia hanya malu."
Pria
yang namanya dikenal sebagai Mikael Hazard itu pun menurunkan tangannya dan
menggaruk pelan kepalanya dengan wajah menyesal. Mata biru terangnya terlihat
sendu, rambut hitam yang agak panjang pun bergoyang-goyang melewati matanya.
“Tidak
apa. Bersemangatlah!” ucapnya lagi dengan senyuman canggung.
Tanpa
diduga, guru kami, Pak Claud pun angkat bicara dengan nada yang tegas seolah
membentak, "Bapak yg disana, harap diam!!"
"APA?!
DASAR KAU BPPPPHHHHHh…!!” ucapan pria itu dihentikan kedua pria berseragam
hitam di belakangnya yang sudah dari tadi ikut bersamanya. Mereka tidak lain
adalah para bodyguard yang menahan pria itu dengan menyumbat mulut dan menarik
pria itu mundur. Sedangkan, pria yang ditahan itu mengangkat satu kaki dan
tanganya ke atas seolah protes.
Batinku
berkata, “Terimakasih Pak Fii, Pak Lee. Seperti biasa, kalian sangat membantu.”
Aku
kemudian menunduk melihat Ami yang ternyata dari tadi menatap sinis ke lantai
dua.
“Kurasa
hal ini bisa kumaklumi,” gumamku dengan tersenyum kaku.
Setelah
keributan itu berakhir, Pak Claud pun melanjutkan ujian, "Mari kita
lanjutkan.... Dellion!"
Dellion
pun maju ke depan. Dari tadi aku tidak terlalu memperhatikannya, sehingga aku
tidak tahu apakah ia menatapku seperti biasa atau tidak. Namun, yang pasti,
saat ini, dia sedang menatapku. Yah, ini sanggat mengganggu. Tapi, aku hanya
bisa terus memasang senyum kaku ke arahnya.
Dellion
berdiri di atas lingkaran. Tidak sampai sedetik, ia sudah bisa memunculkan
cahaya simbol yang terbang di atas lingkaran. Air, itulah simbol yang muncul di
hadapannya dengan menggelombang kebiruan. Sedangkan disampingnya, terlihat simbol
cahaya biru burung.
Ia
juga dapat menyelesaikan tahap dua dan tiga. Anehnya, saat ia menuju tahap
keempat ia, tidak banyak perubahan pada bentuk kendali elemennya. Air melenkung
pagjang pipih mulai terbentuk dari air yang sebeumnya melayang-layang di udara.
Namun, kami sangat terkejut ketika ia melancarkan serangan elemennya itu dengan
cepat ke arah pohon tempat kami berada.
SRASSSHHHHH!!!!
BRUK!!
Sebuah
cabang bohon berdiameter tiga puluh senti terjatuh dengan potongan rapi di
pangkalnya. Untungnya tidak ada yang berada di bawah cbang itu ketika jatuh,
jadi tidak ada yang terluka. Namun, yang lebih mengejutkan lagi adalah, batu
besar dibelakang cabang itu. Mungkin tidak ada yang berubah dengan batu besar
berukuran bola basket di tanah selain garis lurus dari atas hingga tanahnya
yang agak basah.
Murid
yng lain menyingkir dari tempat kedua benda itu berada, sedangkan Pak Claud
justru mendekat dan menarik salah satu pecahan batu yang juga terbelah lurus. Kemudian,
Pak Claud menggerakan penanya di atas kertas yang ia bawa di papan.
“Kau
bisa memanggilnya?”
“Ya…….
Icarus!” panggil Dellion dengan tangan kiri yang diangkat sejajar bahunya di
samping.
Dari
pergelangan tangannya samar muncul sosok bayangan yang bercahaya biru. Perlahan
cahaya itu mulai terbentuk menjadi seekor burung gagak kecil. Ya, hanya burung
gagak biasa. Tidak ada yang aneh dengan anak gagak tersebut hingga orang mulai
mengoceh tiada hentinya.
“Kukira
arlesnya adalah sesuatu yang mengerikan.Ternyata, hanyalah bayi burung,” ejek
seseorang lelaki yang bernama () dari kelasku. Aku mengetahui namanya dari saat
ia dipanggil pertama kali oleh Pak Claud.
"Kakak!"
terdengar suara samar anak laki-laki dengan intonasi cepat.
Murid-murid
mulai bingung, "Apakah arles itu berbicara?"
"Itu
tidak mungkin," ucap seorang perempuan berambutt biru yang diikat dua.
"Bukankah
itu lebihh terdengar seperti suara gagak? Gagak kan suaranya seperti itu? Kak!
Kak! Hahahhaha!!!” ejek () dengan tatapan sinis ke arah Dellion.
Tiba-tiba
gagak itu terbang dan membesar, hingga memenuhi lebar lapangan wilayah kami berada. Pekakaknya pun
sangat keras, memecahkan kaca jendela di sekitar. Pecahan kaca pun sampai ada
yang terlempar ke tengah lapangan. Gagak itu terlihat marah, sikapnya terlihat hendak menyerang orang yg menghina dirinya
dengan paruh raksasa yang ia miliki.
"Kraaaaaak!!!!!!!!
Kraaaaaakkk!!"
"Hentikan
itu! Abaikan mereka!"
Dellion
langsung pergi menjauh, diikuti juga
dengan anak gagak yang sudah mengecil seperti semula. Dan bertengger di bahu
dellion seolah bahunya itu adalah ranting kesukaan gagak tersebut.
“Yah…
Berikutnya, Kirina,” panggil Pak Claud.
“Baik!”
ucapku dengan ceria menuju linngkaran ().
Dengan
mudah aku bisa memunculkan simbol api dan bintik kecil berwarna biru. Aku
sangat bersyukur karena sejak kecil sudah dilatih ayah mengendalikan elemenku,
sehingga akuu dapat melewati tahap kedua dan ketiga. Selanjutnya, pada tahap
keempat, aku menepok jidat pelan. Berjalan ke tempat Pak Claud, meminta ijin ke
kelas untuk mengambil sebuah barang di tas yang tertinggal.
Untunglah
Pak Claud mengijinkan. Aku pun segera berlari menuju kelas dan menarik sebuah
pegangan coklat yang agak mencuat di tasku. Setelah itu, aku pun kembali.
Dengan sebuah pedang.
***
Teman-teman sekelasku sepertinya sudah kebingungan dengan
sikapku yang tiba-tiba meminta izin kembali kekelas. Namun, mereka lebih
terkejut melihatku kembali ke lapangan dengan sebuah pedang dengan panjang lima
puluh senti. Sampai-sampai ada yang menganga kaget.
“Maaf, tapi aku harus melakukannya dengan pedang ini.
Karena, elemen api di keluarga Hazard itu sangat jarang. Dan pemilik elemen api
di keluarga Hazard itu sangat lemah, sehingga tidak mungkin untuk membuat api
yang kuat. Mohon dimaklumi,” jelasku kepada yang teman sekelasku dengan agak menunduk
serta memejamkan mata.
“Tidak
apa Nak Kirina. Bapak sudah diberitahu oleh orangtuamu. Jadi,
lanjutkanlah,” kata Pak Claud sambil
menepuk pundakku pelan.
Setelah
itu aku pun membuka mata dan berjalan menuju sebelah kiri lingkaran (). Aku
mengaliri pedang itu dengan api biru. Kemudian, mengayunkannya ke batang pohon
yang sebelumnya dijatuhkan Dellion. Batang pohon itupun terbelah dua dengan api
biru kecil membakar di sekeliling belahan kayu.
“Maaf,
Pak. Bukankah, membawa senjata tajam di sekolah itu dilarang?”
“Pedang
yang dibawa Nak Kirina itu tumpul. Bahkan untuk memotong secarik kertas saja
tidak bisa.”
“Lalu,
bukankah kata Kirina, keluarga Hazard yang memiliki elemen api itu lemah? Tapi,
kenapa bisa membelah kayu itu?”
“Yah,
itu karena pedang itu dibuat khusus untuknya.”
“Siapa
orang yang memberinya, Pak?”
“Seseorang
yang kukenal baik, Mikael.”
Pak
Claud terdiam sejenak sebelum melanjutkan perkataannya, “Nak Kirina, kau bisa
memanggilnya?”
“Seperrtinya
begitu,” ucapku sambil berkonsentrasi.
“Lucidum!”panggilku
dengan tangan kiri, atau lebih tepatnya telunjuk dan jari tengah ke atas.
Dalam
sekejap, cahaya biru muncul dan membentuk titik di ujung jari tengah
Kirina.
Saat
aku sedang tersenyum-senyum melihat Jordan, tiba-tiba terdengar suaraa samar
menyuruhku untuk memanggil nama yang tidak jelas, tapi karen suasana lapangan
yang cukup ramai akibat pembicaraan murid-murid pun membuatkuu berpikir, kalau
aku mngkin salah dengar.
“Kerja
bagus,” puji Pak Claud kepadaku dengan senyumnya yang ramah memecahkan
lamunanku.
“Terimakasih
Pak Claud!” ucapku dengan senyum dan memejamkan mata senang.
“Cuma
serangga ternyata. Huh!” ejek Jordan.
Aku
pun mundur bersama arlesku. Karena, sekarang nama Ami dipanggil oleh Pak Claud.
Ia
melewati tahap pertama dengan memunculkan simbol batu dan simbol tunas kecil
berdaun dua. Pada tahap kedua dan tiga ia lewati dengan membuat boneka batu
yang bisa berjalan. Dan pada tahap keempat, ia berdiri tegak dengan wajah datar
yang tidak senang. Ia Ami melebarkan kedua tangannya ke samping. Tanah pun
mencuatkan pedang dan pemukul. Keduanya terbentuk dari batu. Perasaanku pun
mulai tidak enak.
Ami
mengambil keduanya dan melemparkan kedua senjata itu kea rahJordan Untungnya
senjata itu hanya melewati kedua sisi Jordan. Walau, ada sedikit rambut yang
terpotong oleh pedang sebelum tertancap dan menghancurkan batu pembatas
lapangan. Ami mengangkat kakinya dan menghentakannya. Aku tahu sebesar apa
kekeuatan Ami. Dan serangan yang satu ini sudh terlalu berlebihan.
Aku
melompat depan Jordan yang masih berdiri mematung karena kaget. Batu-batuan
besar meuncing mencuat dari tanah, namun berhenti di depanku, setelah Ami
terkejut melihatku ada di hadapan Jordan.
“Ami,
mungkin kau sebal dengan Jordan. Tapi, bukankah ini terlalu berlebihan? Dia
bisa terbunuh,” ujarku kepada Ami.
Ami
mulai ragu dan menggaruk pipinya dengan telunjuk kiri. Namun ia memenghentikan
kakinya lagi ke tanah. Cuatan batuan pun menyusup ketanah yang kembali seperti
sedia kala.
Aku
pun kembali ke tempatku sebelumnya. Sedangkan Pak Claud mengabaikan kelakuan
Ami, kemudian menanyakan pada Ami pertanyaan yang sama denganku. Ami mengangguk
pelan.
Ia
mengulurkan tangan kanannya sejajar kedepan dan memanggil,“Dryad!”
Dari
tanah, keluar pohon kecil. Ami tersenyum simpul.
“B-bisa-bisanya
kau menyerangku padahal arlesmu cuma tanaman, hah?! Aku yakin dalam sekali
injak, pohon itu akan mati!” ucap Jordan dengan nada tinggi di akhir.
“Hetikan!
Kau membuat Nimph itu marah!...... Terlambat,” desah Pak Claud di kejauhan
dengan tangan kanan di wajah.
“Sepertinya,
Dryad akan berubah wujud. Perhatikan baik-baik, Tuan Vincent. ”
“Jadi,
kau menghinaku?”ucap suara tak dikenal.
Pohon
kecil yang sebelumnya pun berubah, membesar membentuk seorang wanita. Kemudian,
keluarlah wanita cantik bergaun hijau daun dengan hiasan bunga dan tanduk
ranting di kepalanya. Ia mengulurkan tangannya ke depan, “Sekali injak, mati?
Justru kaulah YANG AKAN MATI!!!!!!”
Akar
dan cabang-cabang ranting runcing menjalar ke arah (). Ami hanya diam dengan
tangan bersedekap melihat kea rah ().
“Ami,
HENTIKAN!” teriakku pada Ami yan sudah kelewat batas.
“Dryad,
berhenti!”
Serangan
Dryad pun berhenti. Pipi () tergores hingga berdarah. Sedangkan di depan dahi,
dada kiri, perut, dan kedua bahu cabang ranting berhenti. Sedangkan kedua
anggota geraknya sudah terlilit akar.
“Ami,
lepaskan dia!”
“Huft,
baiik,” ucapnya kesal sambil mengerakan matanya ke samping.
“Dryad, lepaskan dia. ”
“Dia
menghinaku!” tolak Dryad dengan rambut coklat kehijauan di ujung rambut
melambai tertiup angin.
“Lepaskan
saja. Kakak sudah menyuruhku untuk melepaskan laki-laki kurang ajar itu. Jadi,
lepaskn saja dia,” jelas Ami dengan malas.
Dyad
masih diam menatap Ami. Ia menggerak-gerakkan
jemarinya di pinggul seakan sedang berpikir.
“Baiklah
kalau begitu,” ucap Dryad sambil menunduk hormat kepada Ami.
Seluruh
cabang dan akar itu pun bergerak kembali hilang. Dryad pun berjalan karah Ami
yang berdiri di dekatku. Dryad tersenyum senang dan memeluk serta mengelus pipi
dari antara Aku dan Ami. Yah, dari dulu, Dryad sudah sangat dekatt denganku.
Dulu,
Dryad sering membuat anak-anak tetangga menangis ketakutan karena ancaman ranting
dan pohonnya itu kalau ada yang merusak tanaman atau ada yang mengina dirinya
dan Ami. Walau dulu ia tidak separah ini.
Aku
melihat sekeliling, semuanya memasang wajah takut dan terkejut, tidak
terkecuali kakak kelas yang ada di lapangan sebelah.Namun, Kak Shura di sana
mulai tersenyum dan memberikan jempol kea rah kami.
“kak
Shura….” gumaku dengan dengan agak meninggi pelan.
SRRRRAAAAA!!!!!!!
Butiran-buitran
baja hitam mengkilat keluar dari pakaian (). Saat butiran itu kembali masuk ke
dalam tanah, () tersadar dari ketakutannya yang bebelumnya. Pak Claud pun
mendekati (), “Kurasa, untuk seranngan di pipimu, bapak tidak menduganya.”
“Dengarkan
bapak baik-baik. Kalian tidak seharusnya untuk menghina orang lain atau arles.
Terlebih untuk arles yang baru saja dipanggil. Mereka tentu saja akan
tersinggung saat, mereka muncul dan tiba-tiba saja ada yang
menghinanya.bukankah kalau kita berada di posisi arles itu, kita juga akan
marah? Kita yang baru saja bertemu dengan arles itu, tentunya tidak tau sehebat
apa arles itu. Jadi, untuk keamanan kalian, sebaiknya kalian tidak melakukan
hal itu. Bukankah hal ini sudah bapak terangkan dua minggu yang lalu?
Untungnya, arles milik mereka bertiga dapat mereka kendalikan dengan baik. Kalau
begitu, bapak akan lanjutkan ujiannya lagi.”
“Sebentar,
Pak. Saya mau bertanya.”
“Oh,
apa yang mau kau tanyakan?”
“Kenapa
bisa ada arles yang berwujud manusia? Aku biasanya hanya menemui arles hewan
atau monster. Tapi tidak ada yang berbentuk menyerupai manusia.”
“Mereka
disebut Nimph. Mereka adalah arles tipe kedua. Tidak banyak Nimph di dunia ini.
Dan mereka memiliki kelebihan dapat berbicara dan bisa kita rasakann emosinya.
Sedangkan arles biasa hanya bisa kita rasakan emosinya.”
“Apakah
semua Nimph itu kuat?”
“Tidak
semuanya. Ada juga yang lemah. Tapi kita tidak bsa membedakannya seperti arles
lainnya.”
“Oh
ya, Nak Ami. Bapak tahu kau bisa mengendalikan arles dan elemenmu, tapi kamu
seharusnya mencegahnya untuh menyerang seperti tadi."
"Tapi
dia yang mulai duluan."
"Walau
begitu. kamu seharusnya lebih bertanggung jawab."
Ami
mengabaikan perkataan Pak Claud dan memasang wajah kusut. Mata hijau emeraldnya
menyipit sebal. Sesekali ia juga mendengus pelan sambil mengejapkan mata.
"Maaf
Pak Claud, Ami memang seperti itu. Ami, cepat minta maaf," ucapku sabil
berlar kecil mendekati Ami
Ami
mengalihkan pandangan, tangannya bersedekap. Dengan tidak ikhlas ia berkata,
"Maaf."
“Baiklah.
Mari kita lanjutkan ujiannya.”
Murid
yang tersisa semuanya gagal kecuali satu. Seorang perempuan manis berambut
pendek biru yang dikucir dua. Ia menyelesaikan tahap empat dengan cara yang
sama denganku. Walau bedanya ia menggunakan ranting pohon yang ada di lapangan.
Setelah
itu, Pak Claud menyuruh semua muridnya ke ruangaannya selain AMi, Dellion,
Rian, Melody.
“Pak.
Bukankah lelaki yang bernama Rian itu tadi tidak melakukan ujian tahap keempat
dan lima?” ucap seorang bertubuh gemuk dengan nada malas.
“Sederhnanya,
bapak sudah mengetes Nak Rian sebelum ini. Jadi, jangan dipikirkan. Sekarang,
pergilah ke ruangan bapak. Lalu kalian yang lolos, silakan berlatih dengan Nak
Shura di sana. Dia sudah menunggu. ”
Sesaat
setelah Pak Claud pergi, anak perempuan berambut biru memanggilku dengan heboh,
“Kirna!Kirina! Ajari aku. Bagaimana kau bisa melakukan semua tadi. Maksudku,
memanggil arles!"
“Caranya
mudah. Kau hanya harus berkonsentrasi dan mencari wujud roh arles dalam dirimu.
Kemudian, bacalah nama yang tertulis disana, atau sebutkan nama yang merek
sebutkan.”
“Begitu
ya?” tanyanya untuk meyakinkan.
“Ya,”
sahut Kak Shura dengan senyuman.
“Kak
Shura!” panggil Ami yang berlari mendekat bersama Dryad.
“Kau
hebat Ami, tapi sebaiknya kau hati-hati. Karena kau bisa membunuh seseorang,”
ucap Kak Shura dengan senyum kaku nanti disini mereka diajari lalu ada yg nanya
apa arlesnya Ashura.
“Ngomon
g-ngomong, Kak. Apa arles Kak Shura? Aku ingin tahu,” kata Ami.
“Hmmm,
gimana ya…..” ucapnnya dengan perhitungan.
“Tunjukan
saja, Kak. Aku juga ingin melihatnya,” pintaku ke Kak SHura sebagai penjelas
permintaan Ami.
“Kalau
sudah ada dua orang yang minta gini, sepertinya aku harus menunjukannya. Kalau
beitu, kalian semua mundurlah lagi hingga ke pinggir lapangan,” pinta Kak Shura
percaya diri sambil mengayunkan telapak
tangannya ke atas dan bawah berulang dan melangkah mundur.
“Tapi
kenapa?” tanya kami berlima.
“Mundur
saja dulu. Kalian akan tahu nanti.”
“Baiklah,”
ucap Ami sambil diikuti yang lainnya menuju ke pinggir lapangan.
Kak
Shura mengangkat tangannya kirinya tinggi ke atas dan berteriak, “Jotunheim!”
Tiba-tiba,
api merah besar membakar selebar lapangan dan terus meninggi. Kemudian api itu
memadat membentuk makhluk raksasa.
“HAAAALLOOOO!”
kepala kemerahan tiba-tiba turun ke bawah menyapa kami.
_______________________________________...__________________________________
Perempuan berambut
pirang panjang diikat samping atas kanan
Aku sedang berjalan-jalan saat bosan mendengar penjelasan
guru. Meski aku sudah sering membolos, merekaa tidak menghukum atau melaporkan
hal ini kepada orangtuaku. Hal ini pun jelas membuatku semakin bosan dengan
sekolah.
Perjalanan
santaiku terhenti di lapangan samping tempat berkumpulnya dua kelas yang
sepertinya salah satunya sedang ujian. Aku berjalan mendekat, mengintip dari
sudut tembok.
SRAAK!!!
Ranting
dan akar pohon menjalar hingga ke seorang pria berambut pirang yang kukenal, ()
Vincent. Dia adalah anak pamanku.
“Waw,
itu keren sekali.”
Aku
sangat terkesan dengan kekuatan anak kecil yang memiliki Nimph itu. Namun, aku
lebih terkesan dengan seorang gadis berambut panjang yang diikat kebawah, ia
dapat menyuruh anak itu menghentikn Nimph. Lalu juga, sepertinya mereka sangat
akrab. Nimphnya juga.
“Seandainya,
aku juga bisa seakrab itu dengan orang-orang. Terlebih, kelas mereka sepertinya
menarik,” gumamku.
“Aku
tahu! Aku akan mengajukan permintaan perpindahan kelas kepada Pak Kepala
Sekolah!” ucapku dengan yakin sebelum berlari menuju ruang kepala sekolah.
***
BRAK!!!
Aku membuka pintu ruangan dengan sangat keras saking
semangatnya. Di hadapanku seorang pria paruh baya dengan wajah berkerut
membenarkan kacamatanya saking kagetnya.
“Pak!
Pindahkan aku ke Kelas Mimosa! Mulai lusa, saya ingin belajar di sana. Titik!”
ucapku to the point tanpa penjelasan yang jelas ke kepala sekolah.
“Tapi,
Nona Vero------”
Aku
langsung kabur sebelum mendengar perkataan Pak Kepala yang pasti tanya
alasannya. Setelah itu aku pun kembali ke tempatku tadi. Di sana, murid-murid
sudah mulai bubar. Hanya tersisa enam murid di lapangan dengan tiga arle. Dua
diantaranya adalah anak yang kulihat sangat akrab itu.
Aku
teriak peln histeris senang, “Aaa! Aku tidak sabar pengen pindah!”
“Kirna!Kirina! Ajari aku. Bagaimana kau bisa
melakukan semua tadi. Maksudku, memanggil arles!" ucap seseorang dengan
hebohnya.
Orang
yng akrab itu pun menjelaskan, “Caranya mudah. Kau hanya harus berkonsentrasi
dan mencari wujud roh arles dalam dirimu. Kemudian, bacalah nama yang tertulis
disana, atau sebutkan nama yang merek sebutkan.”
Aku
sangat terkejut, aku tidak menyangka kalau alasan aku tidak pernah bisa
memanggil arles adalah ini. Wajah kagetku pun mulai berubah menjadi gembira.
Mungkin sebaiknya aku praktekan ini nanti di rumah.
“Jotenheim!”
Aku
langsung mengarahkan pandangnku ke lapangan. Raksasa merah muncul disana!
Sontak, aku pun jatuh terduduk di lantai dengan keringat dingin.
Tubuhku
pun gemetar bahkan sampai ke suaraku, “S-Shura ada di sana……..”
_______________________________________...__________________________________
Dellion
Setelah menjalani pelatihan yang melelahkan dengan
perempuan yang bernama Shura itu membuatku cukup kuwalahan. Aku terus berjalan
menuju kelas dan bergumam, “Terlebih arlesnya itu. Kenapa bisa sebesar itu?
Huft…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar