Minggu, 28 Mei 2017



Chapter 2


Diriku dan Dirimu

“Matilah!” ucap seseorang tak dikenal.
Dalam kegelapan itu, aku melarikan diri dari sabit panjang yang datang. Aku menundukan kepalaku untuk mengindarinya. Hampir saja sabit itu mengenaiku. Tanpa melihat kebelakang, aku berlari ke sebuah cahaya terang di depan sana. Saat aku mencapai cahaya putih itu, leherku terasa perih.
Aku pun meraba leher kiriku. Terasa cairan hangat mengalir. Saat ku lihat, warna merah melumuri telapak tangan kiriku.
"Aaaaaaaa!!!!!!!"
***
Drrreessssss........
Hujan turun tak henti-henti menghitamkan langit fajar. Angin berhembus kencang menerbangkan dedaunan hijau. Suara pekakan gagak terdengar keras dari telinga kiri hingga menyadarkan lamunanku. Gagak itu bertengger di bahuku sambil mengibaskan sayapnya.
“Lion! Turun dari sana! Ketua memanggilmu," teriak seorang pemuda seumuranku yang menutupi kepalanya dengan tudung.
"Zen? Baik, aku akan kesana," jawabku.
Aku melompat turun dari dahan pohon ketapang dan beranjak ke tempat ketua berada. Aku melewati jalan setapak kecil di hutan dan memasuki sebuah gerbang hitam yang didalamnya terdapat lorong dengan lampu berisi kunang-kunang api abadi.
Setelah melewati puluhan pintu, akhirnya aku sampai di tempat ketua. Aku ketuk pintu ruangannya yang bermotif bunga lily. Dari dalam, dia menyuruhku untuk masuk.
Dalam ruangan itu, seseorang duduk dengan menyandarkan dagunya di atas meja yang kanan kirinya bertumpukan kertas. Ketika ia melihatku, ia bangun dan menyambutku dengan uluran tangannya yang seakan ingin memelukku.
"Oh, Kriss! Datang juga kau akhirnya," ucap seorang pria yang matanya tertutup topeng.
"Jangan panggil aku dengan nama itu! Bukankah sudah kubilang untuk tidak memanggilku dengan nama itu!” kataku dengan marah.
"Wo, wo, wo. Tenang, aku hanya bercanda. kau tahu? Bercanda," jawab pria itu dengan menegakkan telapak tangannya.
"Jadi, kenapa kau memanggilku?"
"Aku akan memberikanmu sebuah tugas. Tugas untuk memata-matai sebuah akademi. Dan untuk itu, aku sudah mendaftarkanmu di sana"
"Nama akademinya?" tanyaku.
Aku terdiam sejenak. Kemudian aku tersadar, amarahku meluap, “Apa?! Kau bilang kau mendaftarkanku dalam apa?”
“Akademi Styx. Kau hanya perlu mengirimkan laporannya sebulan sekali. Aku juga sudah menyiapkan seragam dan keperluanmu, jadi kau tinggal berangkat pagi ini,” ucapnya yang tersenyum licik.
Amarahku meluap-luap, ingin rasanya menghajar muka orang ini. Tapi aku harus menahannya. Apa boleh buat, bagaimana pun dia adalah seorang ketua bukan? Mau tidak mau aku harus menuruti perintahnya, “Baiklah.”
Aku segera meninggalkan tempat itu. Aku tidak bisa berlama-lama lagi di sana. Bisa-bisa aku malah jadi gila, terlebih dengan kepala dan tubuhku yang terasa panas. Tidak banyak berpikir lagi, aku langsung menuju ruanganku. Mengambil barang yang sudah disiapkan dan pergi ke akademi Styx.
“Jadi, kau mendapatkan tugas pengintaian di akademi Styx, ya?” ledek seorang bertudung di depan gerbang.
“Enaknya… Kau tau, Lion? Kau selalu mendapat tugas di luar. Andai aku juga,” lanjutnya sambil membuka tudungnya.
“Ini tidak seenak yang kau kira, Zen. Jika kau tidak siap kau akan kalah. Kalah, artinya mati,” ucapku kepada lelaki itu.
“Baik, baik. Aku tau. Jadi, pergilah. Jangan lupa ceritakan apa yang terjadi disana ketika kau kembali,” ucapnya sambil membenarkan rambut hitamnya ke atas hingga matanya yang coklat kekuningan terlihat.
Tanpa berucap lagi, aku segera pergi bersama gagakku meninggalkan Zen dan tempat itu. Aku menggunakan keahlianku sebagai mata-mata untuk mencapai ke akademi itu dalam waktu 15 menit. Meski jarak markas dan akademi itu sekitar lima puluh kilometer, aku sampai lima menit sebelum bel masuk.
Banyak murid berkerumun di depan sebuah papan pengumuman pembagian kelas. Tidak perlu mendekat, aku bisa melihat tulisan kecil yang menyatakan aku masuk Kelas Mimosa. Aku segera beranjak dari tempat ramai ini menuju kelas. Tapi, baru saja aku berbalik. Seorang anak perempuan menabrakku, sekilas wajahnya terlihat seperti Zen. Untuk memastikan, aku terus memperhatikannya, ia pun terlihat gelisah dan meminta maaf padaku. Padahal, ini bukan salahnya. Yah, tapi siapa peduli.
Tapi, lama-lama aku merasa ada yang aneh dengan anak itu. Seperti ada sesuatu yang lain darinya. Seakan terdapat kegelapan yang tidak terkendali, bahkan sampai aku sampai merinding.
Sesaat setelah anak itu pergi, ia seperti sedang berbincang dengan seseorang di pinggir kerumunan. Aku melewatinya, untuk memastikan perasaanku tadi. Ketika ia sedang sibuk dengan laki-laki berpakaian serba hitam, aku masih merasakannya samar.
Ketika kelas masih sepi, aku mencari bangku yang jarang mendapat perhatian. Ya, tempat itu adalah bangku depan pojok depan meja guru. Aku meletakan tasku di sana dan membenahkan kerahku dengan melipat dan agak menaikannya. Tidak lama kemudian murid lainnya datang dan duduk di bangku pilihan mereka. Lalu ada dua murid masuk dengan berlari. Salah satunya adalah perempuan yang kulihat tadi, ia duduk di meja sebelah. Sedangkan yang satunya duduk di sampingku dengan menundukkan kepalanya yang tertutup tudung jaket hitam gelap.
Kalau tidak salah, anak ini tadi adalah yang yang bersama perempuan itu. Aku bingung, apa dia tidak kepanasan dengan jaket bertudung dan pakaian serba panjang itu. Tapi biarlah, itu juga bukan urusanku. Pandanganku lebih tertuju pada anak perempuan yang datang bersamanya.
Tidak lama kemudian, seorang pria paruh baya masuk ke kelas dengan gelisah dan mulai memanggil arlesnya supaya menghancurkan dinding di samping meja guru. Banyak bongkahan yang berterbangan ke arahku dan orang di sampingku. Aku cukup diam dan menghindari bongkah-bongkah tersebut. Entah kenapa sesaat, suatu perasaan terhadap perempuan itu, yang kurasakan di tempat pengumuman tadi, tiba-tiba muncul sangat besar. Aku mulai merasa ada yang tidak beres dengan anak perempuan itu.
Guru itu mulai bicara, tapi aku tidak terlalu memperhatikannya. Lagi pula, aku tidak terlalu suka dengan guru yang satu ini. Dia cukup lama berbicara. Dan akhirnya kami pun sekelas pindah ke Hutan Nervilia yang terletak di belakang kelas. Aku suka ini, karena terasa seperti di rumah.
Pada hari kedua, aku berangkat lebih awal. Ketika aku hendak membuka pintu kelas, aku merasakan perasaan itu lagi. Sesuatu yang lain, lebih kuat dari yang kemarin. Tanpa pikir panjang aku langsung membuka pintu. Namun di dalamnya hanya ada perempuan yang kemarin itu.
Tidak lama kemudian, perasaan itu melemah. Tapi aku menjadi sangat yakin kalau asal perasaan mengerikan tadi dari perempuan ini. Sebenarnya siapa anak ini?! Dia berbahaya. Aku harus tetap mengawasinya.
Baru lima belas menit aku memperhatikannya, anak itu mendekatiku. Dia terlihat agak gugup.
“Maaf, apakah ada yang salah dengan diriku?” ucapnya.
Perlahan perasaan mengerikan dari perempuan ini menghilang. Hal ini membuatku agak terkejut. Apa perasaanku tadi itu salah? Tapi, aku juga merasakannya kemarin. Untuk amannya aku lebih baik terus mengawasinya.
Kemudian aku memalingkan muka dan menjawab pertanyaannya, “Ini bukan urusanmu.”
“Kalau begitu, mari berkenalan. Namaku Kirina Hazard. Kau bisa memanggilku Rina. Kalau kamu?” ucapnya.
“Dellion Kris. Terserah kau mau memanggilku apa,” jawabku datar tanpa melihat ke arahnya.
Perempuan itu kembali ke tempat duduknya ketika murid lainnya satu-persatu berdatangan. Dari perempuan itu, sudah tidak terasa lagi aura itu.
Namun, aku tidak menyangka akan bertemu dengan keluarga Hazard yang terkenal itu karena umumnya mereka jarang keluar dari kediaman atau perusahaan mereka. Juga, apa mereka tidak curiga dengan anak ini? Setahuku, orang-orang Hazard itu memiliki kepekaan yang sangat tinggi dengan suatu hawa keberadaan.
Ketika aku sedang berpikir, guru gila itu datang dan murid-murid mulai pergi menuju ke Hutan Nervilia. Saat aku memperhatikannya anak yang bernama Kirina Hazard, masih tidak ada tanda-tanda munculnya perasaan itu lagi.
Karena penasaran, aku tidak pernah melepaskan pandanganku padanya setiap di sekolah. Bahkan hampir sebulan aku memperhatikannya, tidak ada tanda-tanda kemunculan aura itu . hanya saja, terkadang muncul dalam skala yang sangat lemah.
Hari ini, guru gila itu memberitahukan bahwa akan ada murid baru besok. Lalu ia memberiku kartu yang bertuliskan Asrama Putra Varun dengan angka enam puluh Sembilan di bawahnya. Sedangkan anak yang ada di sampingku, yang mendapatkan baju serba hitam, mendapatkan nomor tujuh puluh.
“Kalian boleh pulang sekarang, untuk bersiap dan melakukan salam perpisahan kepada keluarga. Hari ini,” ucap guru itu.
Sekelas kecuali aku serentak berteriak dan bertanya mengapa dia berkata seperti itu. Jawabannya pun sungguh tak disangka.
“Karena bapak lupa memberi tahu kalian minggu kemarin. Jadi kalian harus sudah pindah besok. Bagi yang tidak epat waktu akan ada hukuman. Hehe,” ucapnya enteng dengan tawa kecil khasnya.
Anak-anak kelas langsung heboh. Hal ini sangat menggangguku, lebih baik aku langsung pulang. Lagi pula, tidak ada bedanya tinggal di asrama atau pun markas.
Sesampainya di markas aku bertemu dengan Zen yang sedang duduk santai di dahan pohon mangga. Aku menceritakan kepadanya mengenai perempuan bernama Kirina Hazard yang terkadang mengeluarkan hawa mengerikan.
“Menurutmu, apa aku harus melaporkan ini pada ketua?”
“Untuk saat ini, lebih baik jangan dulu. Lagi pula ini baru perasaanmu saja. Belum ada bukti nyata yang terlihat kan?” ucapnya sambil memakan sebuah manga matang.
“Tapi, perasaanku belum pernah salah menilai.”
“Jika kau masih bersikeras untuk melaporkannya. Kau harus mencari bukti nyata atau pun saksi. Yah, walaupun kau mungkin tidak akan menemukan saksi jika dilihat dari kepribadianmu,” ucapnya dengan nada mengejek.
Aku menghela nafas panjang dan berkata, “Baiklah, akan ku terima saranmu itu.”
“Oh iya, hampir lupa. Mulai besok, kita mungkin akan jarang bertemu. Karena wajib asrama,” lanjutku.
“Apa? Asrama? Jangan bercanda. Bagaimana aku akan menghilangkan kebosananku disini?” keluhnya sambil bersandar lemas pada batang pohon itu.
“Kau bisa salahkan pihak sekolah dan ketua. Sudah dulu, aku harus segera melapor dan bersiap pindah. Untuk komunikasi, kau bisa gunakan ularmu untuk mengirim surat.”
***
Malam hari, aku siap berangkat menuju asrama. Untungnya, pihak pengelola asrama sudah menyediakan barang-barang besar seperti meja, kasur, dan almari Sehingga aku hanya perlu membawa pakaian ganti dan barang seperlunya saja.
Di depan asrama, ada gapura tinggi yang bertuliskan Akademi Putra Varun. Di sana berdiri seorang pria berumur sekitar empat puluhan berpakaian biru panjang. Ia melihatku, dengan matanya yang lebar dan tersenyum ramah.
“Baru sampai?” tanyanya padaku.
“Ya,” ucapku datar tanpa melihatnya.
Saat aku berjalan menuju kamarku di lantai dua,seorang laki-laki bertudung hitam berusaha membuka pintunya. Ia sedikit menoleh dan mulai panik hingga tudung jaketnya terjatuh. Ia semakin panik. Saat pintunya mulai terbuka, ia langsung bergegas masuk dan mengebrak pintunya dengan keras. Anehnya, sesaat sebelum ia menutup pintu, ada sesuatu yang bergerak-gerak di punggungnya.
Dari pintu kamarnya terdapat tulisan Andrian Flos yang dibawahnya terukir nomor tujuh puluh. Kalau ingatanku benar, nomor itu adalah milik orang yang duduk di sebelahku. Tak kusangka kalau dia orang Flos. Tapi, dia terlihat cukup aneh untuk orang Flos.
***
Aku sampai ke dalam kamarku ketika jam menunjukan pukul 02.30. Aku berbaring di kasur karena lelah dan tertidur dengan barang bawaan yang masih berserkan dimana-mana.
Keesokan harinya, di kelas muncul anak baru yang terlihat lebih muda dariku. Tingginya sekitar seratus empat puluh sentimeter, mata biru langit, rambut coklat muda lurus panjang di kucir separuh di belakang.
“Hai, semua! Aku Ami Hazard. Umurku sepuluh tahun. Aku adiknya Kirina Hazard. Mohon bantuannya!” ucap bocah itu kepada murid kelas degan ceria.
Aku sangat terkejut dengan umurnya itu. Di umurnya itu, seharusnya dia masih berada di tingkat dasar dengan gelar sebagai Cirrus. Hebat juga bocah yang bernama Ami itu. Aku jadi penasaran sebesar apa kemampuannya dan apa cara yang ia gunakan untuk masuk akademi ini. Yah, bisa saja dia menggunakan konksinya untuk masuk.
Setelah perkenalannya, bocah itu kemudian duduk di bangku depan nomor tiga dariku. Baru saja duduk di sana, guru pun menyuruh kami supaya bergegas ke Hutan Nervilia itu.
Seperti biasanya, hari ini aku masih mengawasi anak yang bernama Kirina. Masih tidak ada tanda-kemunculan hawa keberadaan sesuatu itu. Tapi, aku malah merasakan hawa membunuh dari tatapan bocah itu. Menarik sekali, sudah lama aku tidak merasakan hawa tersebut. Sepertinya, sekarang aku mendapatkan dua hal menarik di akademi ini.
“Ami dan Kirina Hazard ya? Keluarga yang menarik,” batinku.
Tunggu, rasanya ada hawa mencekam di sekitar sini. Aku melihat sekeliling, namun tidak ada yang aneh hingga aku melihat ke arah guru gila itu. Dia tersenyum!
Sebenarya apa yang sedang dipikirkan guru itu?! Senyumnya itu mengerikan, ia terlihat seperti binatang yang haus darah. Benar-benar aneh, terlebih dengan poni sampingnya yang turun menutupi kedua mata kelabunya itu.
Pukul Sembilan malam, hujan turun deras diiringi dengan suara petir yang menggelegar. Pada meja belajarku, ada ular putih yang tidur melingkar dengan sebuah tabung terikat di lehernya. Aku membuka tabung itu dan mendapat sebuah surat hitam bergaris  putih yang tak lain adalah dari ketua. Isinya mengatakan supaya aku melaporkan apakah ada mahluk aneh yang berbentuk bayangan manusia tanpa kepala yang muncul di akademi. Dalam surat ini juga dijelaskan bahwa makhluk itu bisa juga berkepala, bermata, dan berkuku panjang yang tajam.
Namun dalam surat itu, ketua tidak menuliskan supaya aku melenyapkan mahkluk itu. Malah, aku diminta agar tidak mendekati makluk itu dan jangan ikut campur dengan apa yang dibuatnya.
Setelah memahami isi surat itu, aku langsung berkeliling Asrama Putra Varun selama hampir satu jam. Namun tidak ada makhluk aneh yang dijelaskan ketua. Setelah itu, aku pergi menuju Asrama Putri Aileen. Aku sudah melihat sekelilingnya. Dari kebun, halaman depan dan samping, bahkan dari jendela-jendela kamar tidak ada tanda-tanda sesuatu yang disebutkan hingga aku melihat pohon besar yang daunnya rontok.
Aku melihat ke atas, dari pintu beranda yang terbuka terlihat seorang perempuan berambut panjang berdiri. Dari sosoknya terlihat seperti Kirina Hazard. Di belakangnya terlihat ada sesuatu yang hitam. Karena merasa ada yang tidak beres, aku pun naik ke pohon besar di halaman depan kamarnya.
***
Keesokan harinya, pada tanggal bulan kesembilan tembok kelas sudah mulai diperbaiki. Aku berangkat lebih awal karena aku sudah bergadang sejak tadi malam. Karena rasa kantuk yang sangat berat, aku akhirnya tertidur di bangkuku.
Terdengar ada perempuan yang sedang berbicara padaku. Aku pun membuka mata dan bangun dari tidurku. Aku masih belum bisa meresponnya dengan baik karena belum sadar sepenuhnya. Setelah kulihat baik-baik, ternyata suara itu dari anak yang bernama Kirina Hazard. Ia menanyaiku mengenai dirinya yang pernah menabrakku. Karena wajahnya yang terlihat sangat kaku, bingung dan takut itu terlihat lucu. Hingga aku hampir saja tertawa, untung aku bisa menahannya.
Perempuan itu kemudian pergi keluar dengan wajahnya itu. Dari tadi, aku menahan tawaku, namun bagaimana pun aku menahannya tawaku akhirnya lepas, “khukhukhu… sudah lama sejak terakhir kali aku tertawa. Benar-benar perempuan yang menarik. Khukhukhu…”
***
Tanggal 10 bulan ke seembilan terjadi peristiwa tidak biasa. Anak yang bernama Kirina Hazard tidak hadir dan Guru sialan itu tidak mengajar hari ini. Ia digantikan oleh seorang wanita tua berambut kemerahan. Ia berdiri di depan kelas dengan gaun merah marun yang kainnya hampir mencapai lantai. Dari perkenalannya, wanita tua itu mengaku sebagai seorang guru sejarah yang bernama Singi Saha.
Kelas hari ini juga di lakukan dalam ruangan karena badai. Dan hari ini, tembok yang berlubang itu sudah tidak ada. Suasana yang dibuat para murid hari ini juga tidak biasa. Mereka terlihat lebih suram, apa mungkin itu hanya efek cuaca hari ini ya?
“Karena saya adalah guru sejarah. Untuk hari ini, mari kita mempelajari mapel itu saja,” ucapnya dengan nada khas nenek-nenek.
***
Banyak peristiwa bersejarah yang terjadi di Kerajaan Weissle. Dari Dyon sang Raja Kegelapan, perburuan anak kembar, bahkan hingga pemusnahan desa.
Pemusnahan desa sudah sering terjadi di berbagai negeri setiap tahunnya. Namun, pada Kerajaan ini ada dua kejadian yang sangat terkenal di mata masyarakat. Mereka menamai kedua peristiwa itu dengan Keruntuhan Heimlich dan Malam Sunyi.
Malam sunyi terjadi pada enam tahun yang lalu, sedangkan Keruntuhan Heimlich terjadi satu tahun setelahnya. Masih misterius siapa pelakunya, namun yang pasti. Pada Keruntuhan Heimlich tercatat tidak ada yang selamat darinya seperti pada penghancuran lainnya. Namun, keanehan terjadi pada Malam Sunyi.  Ada yang selamat dari peristiwa itu. Akan tetapi, mayat yang ditemukan hanya seorang wanita. Sedangkan yang lainnya dinyatakan hilang beserta isi desa. Untuk mengenang peristiwa itu, dibangunlah sebuah tugu peringatan di jalan masuk hutan tempat desa itu berada.
Dari mulut kemulut, warga desa sekitar hutan itu mengatakan bahwa pelakunya adalah anak iblis. Ada juga yang mengatakan itu dilakukan pria bertopeng, namun karena kesaksian itu dinyatakan oleh anak berumur empat tahun. Warga pun tidak mempedulikannya dan menyebutnya sebagai pembohong.
Sedangkan pada Kehancuran Heimlich ada orang yang melihat anak di desa itu. Sayangnya dikarenakan tempat itu dipenuhi kabut, ketika penyelamat datang untuk mengecek, tidak ditemukan tanda-tanda kehidupan disana.
Ada juga seorang yang menyebutkan, kalau pernah ada yang melihat pria berjubah memimpin sebuah pasukan besar hewan mistik. Namun, ketika pihak kerajaan datang ke rumahnya untuk meminta keterangan lebih lanjut, orang itu ditemukan sudah tewas dengan leher yang digorok di tempat tidurnya. Begitulah yang dikatakan Guru tua itu.
“Lalu, bagaimana kau bisa mengetahui semua itu, Bu?” ucap salah satu murid di kelas.
“Karena saat itu aku ada di sana,” ucapnya sambil melihat kearahku dan bocah yang bernama Ami.
“Oh! Sudah hampir waktunya pulang, saya sudahi dulu pelajaran hari ini. Sekian dan terimakasih,” tutupnya sambil berjalan cepat keluar.
Karena aku masih penasaran dengan ceritanya, aku berlari keluar mencarinya disusul Ami Hazard di belakangku. Aku menengok sekitar, namun tidak ada tanda-tanda keberadaannya. Padahal harusnya mudah untuk menemukan orang tua dengan pakaian merah marun seperti itu. Tapi, tidak ada satu pun jejak tertinggal di lantai dibasahi oleh butiran hujan di seluruh tempat.
Terpaksa, aku dan bocah ini pergi ke ruang guru menanyakan pengajar yang bernama Singi Saha.
“Maaf. Tetapi tidak ada guru pengajar yang yang memiliki nama itu. Aku belum pernah mendengarnya,” ucap seorang guru pria.
Seorang wanita muda berhak tinggi merah datang sambil membenarkan rambut ekor kudanya, “Dia benar. Bahkan hari ini harusnya kelas kalian kosong. Karena Pak Claudi sedang pergi ke suatu tempat. Dan tidak ada guru yang menggantikannya.”
“Lalu sebenarnya siapa wanita itu?” ucap bocah yang ikut denganku.
Keduanya hanya menaikan bahunya tanda tidak tahu dan kembali pada kesibukan mereka sendiri. Kami berdua pun hanya bisa terdiam dengan cahaya termaram di ruangan itu akibat badai yang masih belum reda sejak tadi pagi.
Kami terdiam cukup lama. Ketika aku akan pergi, ada seseorang yang memanggilku.
“Namamu Dellion Kriss kan? Ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu,” ucap bocah itu dengan tiba-tiba.
“Mungkin ini tiba-tiba, tapi bisakah kau berhenti menatap kakakku? Matamu itu sangat menganggu,” lanjutnya dengan nada yang menekan dan wajah serius kearahku.
“Aku sedang tidak ingin bicara saat ini,” balasku meninggalkan ruangan dan berjalan pelan dalam badai.
Aku pergi menuju toilet pria. Di hadapan cermin aku melihat wajahku. Mata kuning keemasankuku sedikit bercahaya. Entah bagaimana, perasaanku tercampur aduk. Rasanya ingin marah, tapi tidak bisa. Aku memejamkan mataku dengan sangatt erat sampai merasa sakit.
“Siapa juga yang menginginkan mata ini… Ingin rasanya tertawa, tapi….” ucapku yang kemudian berhenti, dan menatap sendu ke bawah.
“Kau membencinya ya? Lalu kenapa kau tidak membiarkanku memilikinya?” ucap bayanganku di cermin.
Matakau terbelalak kaget, aku baru menyadarii kalau diriku sedang berada di hadapan cermin yang terpasang di tembok. Aku langsung mundur dua langkah kebelakang.
“Ini bukan urusanmu! Enyahlah kau, Dullahan sialan!” kataku dengan keras sambil memukul kaca itu hingga pecah bersamaan dengan suara petir yang sangat keras.
Pecahan kaca yang terkena bercak darah tersebar di mana-mana. Bahkan sampai ada pecahan yang menggores bola mataku. Darah yang bercampur air mata tiba-tiba jatuh mengalir kemerahan.
Aku menggengan erat tanganku dan berkata, “ini juga bukan kemauanku.”
***
Badai masih belum berhenti saat aku kembali ke arama, sore itu. Aku berjalan di lorong, menuju lantai dua dengan pakaian basah kuyup dan tangan yang berdarah. Pemilik asrama di lobi, terlihat cemas dengan keadaanku itu. Namun, dia tidak berbuat apa-apa saat aku melihatnya dengan tatapan suram yang berdarah-darah.
Jam di kamar menunjukan pukul tiga, aku menuju kamar mandi untuk membersihkan diriku. Aku mencabut pecahan kaca yang tertancap di tangan. Sesaat kemudian, luka itu langsung menutup seakan tidak pernah ada luka di sana. Bahkan dari pantulan air, luka di bola mataku juga sudah menghilang
“Aku benci tempat ini”, gumamku.
***
Aku berlari riang melewati orang-orang desa yang ditutupi dengan jubah-jubah panjang. Untuk melihat orang-orang itu, aku harus mendongakkan kepalaku. Mereka berjalan tegap dengan di tubuh melakukan kegiatan sehari-hari, seperti berdagang. Saat aku mencapai pinggir desa, aku dihadang seorang wanita muda yang sangat familiar bagiku. Dia memanggilku saat aku melewatinya, “Lion! Kamu mau kemana?”
“Bermain!”
Seorang pria berbadan tegap datang mendekat dan membentakku, “Lion!!! Mau kemana kamu?! Cepat kembali!”
Pria itu melanjutkan perkataannya sambil menuding-nudingkan jeri telunjuknya ke kepalaku, “Mau jadi apa kau kalau bisanya hanya main! Kauini anak Pimpinan keluarga, seharusnya kau berlatih!”
“Ta-tapi, aku ingin bermain dengan para burung,” keluhku pada pria itu.
“Tidak ada tapi-tapian! Cepat kembali ke rumah dan latihlah juga adikmu!”
            “Baik….”
            Sesampainya di rumah, aku sudah ditunggu seorang anak laki-laki yang lebih kecil dariku. Anak itu berjalan ke arahku, menarik-narik pelan bajuku dengan senyum manisnya dan berkata dengan gaya anak kecil, “Ka On, cini.”
Aku menuruti anak itu. Kemudian, ia membawaku ke sebuah lingkaran mekanisme rumit. Dia memintaku berdiri di tengahnya. Dari lingkaran muncul gambar simbol aliran biru bercahaya.
Duuuaarrrrr!!!!!
Terdengar suara keributan besar dari desa. Orang-orang berlarian, ada juga yang menyerang. Aku menarik tangan adikku dan bersembunyi di balik pintu, adikku mulai ketakutan. Ia menangis tak henti-tentinya, walau begitu aku menutupi mulutnya agar tidak bersuara sambil memeluknya erat dalam pangkuanku.
Aku mengawasi keadaan di luar dengan telingaku. Banyak langkah kaki berat disertai dengan suara orang berlari mendekat. Ada juga suara pertarungan yang menggunakan logam. Tak lama setelah itu,  langkah kaki kecil yang cepat datang dengan serangan-serangan tidak jauh dari sini. Langkah itu berhenti, terdengar teriakan wanita yang tidak asing bagiku. Suara itu milik wanita yang aku temui di pinggir desa tadi.Ia berteriak histeris, “Pergi! Pergi! Jangan! Menjauhlah dari rumah dan anak-anakku!”
“Tidak! Tidak!!! Lion! Xavi! Lari!”
 Dari luar seseorang menghancurkan pintu tempat kami bersembunyi. Sosok besar bertanduk muncul di hadapan kami. Di belakangnya, ibuku terbaring di tanah dengan pinggangnya yang ditancap sebuah besi panjang oleh makhluk jakung kurus. Meski mulut ibu yang berdarah-darah bergerak, tidak terdengar sedikit pun suara darinya. Bahkan makhluk jakung itu semakin memperdalam tusukannya.
Adikku yang melihat keadaan ibu, memberontak dariku. kemudian bangkit dan berlari melepaskan genggamanku. Ia menangis sejadi-jadinya. Tapi, sosok yang berdiri di hadapan kami itu justru mengeluarkan dua bilah pedang. Ia mengayunkan pedangnya ke adikku. Tanganku terulur mencoba meraihnya adikku. Namun aku terlambat, bersamaan dengan ditebasnya leher adikku, sebuah pedang melayang kearahku. Tiba-tiba semuanya berubah menjadi gelap. Sendirian dalam kegelapan tak berujung.
“Katakan, apa maumu disini!”


Jumat, 19 Mei 2017

Luminous Haze Chapter 1



Pertemuan

“Rin!!!” teriak seorang anak lelaki yang dibawa terbang menjauh oleh seorang pria misterius bertopeng.
“Sadarlah atau kau hanya akan dimakan kekuatanmu sendiri, Rina!” ucap bayangan seorang pria bertubuh tegap di balik kobaran api.
 “Dasar bodoh!”  hujat seorang pemuda yang kemudian berubah wujudnya menjadi wanita serba hitam.
“Kak Rin! Kak Rin!”, panggil seorang anak kecil yang menangis di depan sebuah mayat perempuan. Sebenarnya apa yang terjadi?
“Kak Rin!!!! Bangun! Kakak mau terlambat apa di hari pertama masuk Akademi menengah?”omel seseorang yang tak lain adalah adikku Ami.
            Hah? Bangun?
Aku terbangun karena kaget dengan mimpiku sendiri. Lamunanku terhenti ketika Ami menyodorkan jam waker ke depan wajahku. Jarum jam sudah  menunjukan pukul 06.30 yang artinya limabelas menit sebelum gerbang sekolah tertutup. Yap, itulah peraturan tertulis di buku panduan murid sekolahku. Yah, memang tertulis banyak aturannya, tapi  aku harus menaatinya semenjak bersekolah di Akademi Menengah Stix sebagai seorang Stratus.
            Aku bergegas, mengambil tas dan barang lainnya sampai-sampai mengabaikan sarapan. Bahkan aku sempat tersandung perabot rumah beberapa kali. Ayahku hanya menatapku sambil bersandar di dekat pintu kamarnya. Karena waktu sudah makin telat, ayah akhirnya mengantarku ke akademi.
Beruntung aku sampai di akademi tepat setelah aku masuk pintu gerbang utama akademi ditutup di belakangku. Tak lama kemudian, gerbang yang besar itu dijaga oleh dua makhluk mistik batu bersayap kelelawar yang disebut gargoyl. Aku sungguh merasa lega karena aku nyaris saja terjebak di luar sekolah dan memberi kesan buruk di hari pertamaku, bahkan karena saking bersyukurnya aku sampai-sampai air mata kebahagiaan keluar dari mataku.
Aku melihat kesekitar lingkunganku, mataku pun tertarik pada sebuah papan yang dikerumuni oleh ratusan Stratus, itulah sebutan bagi murid akademi tingkat menengah. Karena penasaran, aku pun menuju tempat papan itu berada. Setelah aku lihat lebih dekat, ternyata papan itu adalah daftar pembagian kelas untuk para murid baru. Di situ tertulis kalau aku akan belajar di Kelas Mimosa tingkat 1 yang terletak di pinggir Hutan Nervilia.
            Dukk!
 Tidak sengaja aku menabrak seseorang. Orang itu menatapku dengan mata kuningnya yang dingin. Karena ini juga merupakan salahku, aku meminta maaf pada laki-laki itu dan pergi.
            “Bagi murid yang sudah menemukan kelasnya diharap segera pergi ke kelasnya masing-masing!” ucap suara tak dikenal dari pengeras suara.
Aku dan murid lainnya bergegas pergi ke kelas,  namun pandanganku terhenti ketika melihat seosok pria yang terasa tidak asing lagi bagiku. Ya, orang itu adalah teman masa kecilku, Andryan Flos. Ternyata dia juga bersekolah di tempat yang sama denganku. Dengan gembira aku pun memanggilnya.
“Rian!Andryan!”
Sejenak pemuda itu tampak mencari orang yang memanggil namanya. Ketika pandangannya bertemu dengan pandanganku, pemuda itu pun membalas sapaanku dengan senyumannya yang indah. Aku berlari kecil kearahnya dan mengobrol dengannya seperti yang biasanya kami lakukan.
“Rian, sudah lama sekali. Kamu juga sekolah di akademi ini, ya? Oh iya, bagaimana kabar Bibi Cecil dan Paman Delmor? Lalu, apa kamu kamu sudah bisa memenuhi janji kita waktu itu? Dan sepertinya kau terlihat lebih cerah dibanding dulu. Memangnya apa yang terjadi ketika kau tinggal di tempat mereka? Mengapa kau tidak pernah mengabariku?” tanyaku beruntut.
Rian tersenyum kecil melihat tingkahku yang tak sabaran, “Tenang, tenang. Biar aku jawab satu-satu. Iya, benar aku sekolah di sini, terlebih kita sekelas,” jawabnya enteng.
“Wah, benarkah? Keren!” aku sangat senang karena tidak menyangka kalau aku bisa satu akademi dan sekelas dengan teman masa kecilku ini.
            “Ayah, ibuku baik. Dan untuk janji yang kita bicarakan waktu itu pastinya aku sudah menepatinya. Apalagi selama ini aku berada dalam bimbingan ibuku yang—kau tahu sendiri—gregetnya minta ampun, heh…heh..” lanjutnya dengan tawa di wajah yang suram.
            “Seperti biasa, di sana mereka…..” ucapanya terpotong.
            “Hei, kalian berdua! Bukan kah kalian seharusnya sudah berada di kelas? Semua anak lain juga sudah pergi ke kelas,” ucap seorang guru dengan rambut abu-abu keunguan, ia tersenyum ramah pada kami, namun kata-katanya entah mengapa ada sedikit ancaman.
            Kami mengiyakan perintah guru itu dan segera berlari menuju kelas kami. Sesampainya di sana kami hanya mendapat sisa bangku di barisan yang paling depan. Terpaksa, kami pun duduk di bangku tersebut.
            “Aku tidak menyangka kalau anak pendiam itu bisa seceria ini.” Batinku.
Di bangku yang sama denganku, duduk seorang anak. Dia tersenyum menyapaku dengan ramah. Semenara itu, anak di bangku yang sama dengan Rian, menatap dingin kearahku, aku pun membalasnya dengan senyum yang kaku.
            Tidak lama setelah itu guru pun datang, lalu beliau berdiri di tengah-tegah kelas dengan wajah pucatnya. Ia bergumam tidak jelas. Ia terus berjalan mondar-mandir, tidak menghirukan sekitarnya dan bahkan muridnya sendiri yang sedang kebingungan dengan sikap gurunya yang tidak biasa ini. Kelas berasak-kusuk heran dengan suara yang kecil karena takut dimarahi.
Di tengah kebingungan itu, beliau menyandarkan wajahnya ke tembok. Ketika wajahnya terlihat semakin ketakutan, ia pun bebalik dan menjulurkan tangan kirinya ke depan, lalu ia berteriak dengan sangat kencang sehingga mengagetkan seluruh kelas.
“Hornfels, hancurkan!!!”
Seketika muncul monster besar bertanduk di hadapan kami berlari menghantam didinding hingga hancur. Kemudian, makhuk itu berbalik menuju ke arah pemanggilnya dan menyusut. Ia duduk di bahu kanan Pak Guru yang tidak lain adalah guru yang kulihat sebelumnya. Ciri-cirinya juga sama seperti yang kulihat tadi rambut kelabu keunguan, panjang sebahu, dan dikucir ke samping. Walau yang berbeda hanya kelakuannya saja.
Kami sekalas hanya terheran-heran melihat kelakuaan gila guru kami  menghancurkan kelasnya sendiri dengan alresnya. Sedangkan Rian, ia memegangi kepalanya sambil agak menunduk di dekat tembok yang telah dihancurkan itu. Dia telihat sangat terkejut, yah itu jelas, terlebih ia duduk di bangku paling pojok. Lain lagi dengan teman sebangkunya, dia duduk tenang sambil menghindari beberapa bongkah yang terlempar.
“Yah, yah, maaf murid-murid. Bapak terlambat.”
’”…”
“Heeh…? Kenapa kalian diam, apa kalian terpesona dengan kegantengan bapak?” ucapnya dengan percaya diri.
Serentak dalam hati kami berkata, “Tidak!”
“Mungkin saya agak terlambat, tapi perkenalkan nama bapak, Claudius Hornfels. Kalian bisa panggil saya Pak Claud atau Pak Claudi. Dan ini Arles milik bapak, namanya Hornfels. Dia imut kan?”, ucapnya sambil mengusap kepala arles itu dengan kegirangan.
“ Ah, lalu karena temboknya sudah terbuka mari kita pergi ke Hutan Nervilia untuk selanjutnya dan seterusnya. Hahaha!!!” ucapnya dengan puas dan bahagia.
Entah kenapa, aku bingung, bagaimana kami bisa mendapat wali kelas segreget ini? Bahkan seisi kelas bisa terdiam hanya karena ucapan Pak Hornfels. Aku juga bingung kenapa orang seperti ini bisa dijadikan guru oleh pihak akademi. Benar-benar awal pertemuan yang tidak biasa.
Hari berikutnya, aku berangkat lebih awal dan duduk dengan nyaman di bangkuku. Di kelas yang masih kosong itu, aku hanya bisa terus melamun sambil memperhatikan liontin zavela buatan ibuku. Lalu aku aliri liontin itu dengan api biru kecil yang membuatnya mengeluarkan empat jenis simbol.
“Rai…” gumamku.
Krieett….
Lamunanku terhenti akibat suara pintu yang dibuka. Dari pintu masuklah seseorang dengan wajah dingin dan sorot mata kuning yang tajam. Angin yang berhembus membuat sebagian rambut hitamnya bergoyang. Menyadari diriku yang memperhatikannya, ia berjalan melewatiku sembari menatapku dan duduk di kursinya tanpa mengatakan apa-apa.
            Sudah lima belas menit kami berdua saja di kelas. Meski begitu, tidak ada satu pun kata yang terucap darinya. Dari tadi laki-laki itu terus melihat ke arahku. Hal ini membuatku tidak nyaman dan bingung. Dengan mengukuhkan keberanianku, aku berkata kepadanya, “Maaf, apakah ada yang salah dengan diriku?”
Terlihat di wajahnya, ia sedikit terkejut. Kemudian, ia menjawabku dengan jawaban yang menyatakan kalau ia tidak merasa ada yang salah denganku. Setelah itu ia kembali memalingkan pandangannya dariku.
“Kalau begitu, mari berkenalan. Namaku Kirina Hazard. Kau bisa memanggilku Rina. Kalau kamu?” ucapku dengan senyum.
“Dellion Kris. Terserah kau mau memanggilku apa.”, jawabnya datar tanpa melihat ke arahku.
            Tak selang beberapa lama, murid-murid lainnya datang dan duduk di bangkunya masing-masing. Kelas yang tadinya hening berubah menjadi bising dipenuhi celotehan orang-orang.
            Namun, kebisingan itu kembali tenang saat Pak Claud datang dan meminta kami supaya membawa barang bawaan kami ke Hutan Nervilia. Di hutan, kami mencari tempat duduk yang kiranya nyaman. Kemudian, Pak Claud menuliskan materi pembelajaran di papan tulis yang ia bawa tadi.
            Di hutan ini, aku merasa sangat nyaman karena udaranya yang sejuk, pepohonan yang rindang, dan pemandangan indah. Seperti namanya, di hutan ini ditumbuhi berbagai macam anggrek dengan jumlah yang sangat banyak di setiap tempatnya. Kupu-kupu dan burung beterbangan kesana-kemari. Yah, semua ini akan terasa lebih nyaman jika aku bisa mengabaikan laki-laki yang dari tadi menatapku itu.
            Padahal saat ini sedang pembelajaran, tapi ia tetap saja begitu. Entah kenapa, hal ini membuatku takut. Sebenarnya apa yang ia lihat dariku sampai sebegitunya?
____________________________________......____________________________________
Pada hari dimana Kakakku Kirina pertama kali berangkat ke akademi. Aku berdiri di depan pintu menunggunya yang sedang bersiap-siap, pergi kesana kemari sampai kesandung beberapa kali. Ketika ia siap, kakakku pun pergi diantar ayahku.
“Selamat jalan, Kak!”, kataku kepada Kak Kirina yang pergi ke sekolah dengan ceria, tapi tak lama  kemudian memudar menjadi tatapan tajam ke arahnya. 
Kau tahu? Kakakku adalah orang yang paling kusayang sekaligus kutakuti. Semua berawal dari malam itu dan untungnya terlupakan olehnya. Seluruh kejadian, juga peristiwa yang menyangkut dirinya kala itu. Walaupun dia sudah melupakan hampir seluruhnya, dia masih mengingat bahwa saudara laki-lakinya diculik pria bertopeng dan saat mama ditemukan tewas di belakangku.
            Karena ketakutanku, tak pernah kukatakan sekalipun rincian kejadian di malam itu. Hanya agar kakak tidak pernah mengingat atau pun mengulangi kembali kejadian enam tahun yang lalu. Kucegah dan jauhkan hal yang dapat menjadi pemicu ingatannya. Karena aku tidak mau kehilangannya, kakakku yang saat ini.
            Di umurku yang kesepuluh ini  aku duduk di akademi tingkat dasar sebagai seorang cirrus, tetapi itu hanya sementara. Karena aku akan segera menyusulnya.
“Tunggu aku, Kak Rin”, gumamku dengan seringai lebar.
____________________________________......____________________________________
            Di sekolah,  aku mendatangi kantor kepala sekolah. Kukatakan urusanku ke tempat itu, yang menyatakan bahwa aku ingin mempercepat kenaikan tingkat sekolah menuju tingkat menegah. Awalnya kepala sekolah menolaknya, namun akhirnya ia setujui setelah kutunjukan kemampuanku yang saat ini sudah melebihi kemampuan rata-rata murid tingkat menengah awal.
“Nak Ami, dilihat dari kemampuanmu yang saya lihat, kamu dapat lompat ke jenjang berikutnya. Namun, sebelum itu kami harus mengurus berkas-berkasnya dulu supaya tidak ada kesalah pahaman,” ucap kepala sekolah.
“Lalu kapan kira-kira semua itu selesai, Pak?” tanyaku.
“Ini memakan waktu hampir empat minggu. Tapi, yang jelas kau dapat pindah ke jenjang selanjutnya bulan depan,” jawabnya.
“Terimakasih, Pak,” ucapku.
Hal yang kulakukan hari ini masih kurahasiakan dari orang-orang dan juga keluargaku. Aku yakin ayah akan marah, tapi semua ini hanya untuk kakakku. Kuharap ayah mengerti.
            Dua hari sebelum kepindahan, ayahku menyadari hal ini. Ia marah besar, aku meminta maaf kepadanya. Ia menginginkan aku agar tetap di akademi tingkat dasar, namun aku menolaknya dengan alasan bahwa aku sudah menguasai semua materi yang ada. Bahkan sudah melebihi syarat rata-rata masuk ke tingkat selanjutnya.
Berkat semua alasan yang kukeluarkan, akhirnya ayahku menyerah dan mengijikanku dengan syarat aku harus mau didaftarkan di tempat kakak supaya ia dapat megetahui kabarku. Tanpa basa-basi lagi aku menyetujui persyaratan yang memang menjadi tujuan awalku itu.
            Malamnya aku berkemas untuk kepindahan. Aku sangat senang karena aku akan segera bertemu kakakku lagi. Aku akan mengejutkannya besok. Hihihi….
____________________________________......____________________________________
            Hampir satu bulan aku bersekolah di Akademi menengah Stix yang dipenuhi dengan kebahagiaan, kegilaan, dan tatapan dingin misterius dari Dellion. Ku harap selanjutnya akan terus berjalan lancar.
            Hari ini, di Hutan Nervilia, Pak Claud memberitahukan sebuah pengumuman yang menyatakan bahwa akan ada murid baru yang bergabung minggu depan dan semua murid diwajibkan untuk tinggal di asrama sekolah. Sehingga selama tujuh hari kedepan kami diliburkan untuk persiapan pindahan. Kami diharuskan pindah karena untuk kedepannya pembelajaran kami dipenuhi dengan praktek dan studi lingkungan.
            Setelah itu, Pak Hornfels memberi kami sebuah kartu nomor asrama dan memperbolehkan kami pulang cepat.
“Kalian boleh pulang sekarang, untuk bersiap dan melakukan salam perpisahan kepada keluarga hari ini,” ucapnya.
Kami serentak berteriak dan bertanya mengapa Pak Hornfels berkata seperti itu. Jawabannya pun sungguh tak disangka.
“Karena bapak lupa memberi tahu kalian minggu kemarin. Hehe,” ucapnya enteng dengan tawa kecil khasnya.
“Apa ini?! Ga bisa gini, Pak!!” protes seorang murid.
“Wah, jangan bercanda dong, Pak!”, teriak seorang murid
“Jadi, seminggu ini sekolah sepi itu karena itu? Wah, paknya ini. Berikan libur kami pak! Itu hak kami!”,
“Iya itu, ga bisa gitu dong pak!”
Serentak kelas pun menjadi heboh menyalahkan Pak Claud. Tapi, karena besok kami diharuskan tinggal di asrama, aku harus segera memberitahu ayah dan berberes. Aku, beberapa murid lainnya termasuk Rian, dan teman sebangkunya beranjak pergi dan pulang.
            Sesampainya di rumah, aku langsung menuju kamar yang ternyata sudah kosong melompong. Aku memangil ayah dengan wajah polos dan panik.
"Ayah! Ayah! Rumah kita dirampok! Kamarku kosong!"
“Ah, tidak. Barang-barangmu sudah ayah kirim ke asramamu tadi,” jawab ayah.
“Jadi, begitu,” ucapku melongo karena sudah salah sangka.
“Tapi, bagaimana ayah tahu dimana nomor asramaku?” lanjutku.
“Yah, itu…ayah tahu dari kenalan ayah yang mengajar di sekolahmu,” ucapnya.
“Huft, bagaimana bisa orang itu lupa memberi tahu muridnya sendiri,” gumam ayah yang menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Hmm?? Apa ayah bilang sesuatu?” tanyaku.
“Tidak, tidak usah pikirkan. Kalau begitu, mau ayah antar ke asramamu? Ayah juga sudah punya kuncinya,” kata ayah yang nyengir sambil memutar-mutar kunci kamar asramaku..
“Aaa!! Bagaimana ayah bisa mendapatkan itu?! Ayah seharusnya tidak sembarang masuk ke kamar cewek!” omelku sambil berusaha mengambil kunci itu dari tangan ayahku.
“Hahaha, masa ayah tidak boleh masuk ke kamar anaknya sendiri. Sudah, sudah, ayo ayah antar,” ajak ayah yang membuka pintu dan tersenyum menatap cerah ke arahku.
____________________________________......____________________________________
            Ketika Kirina dan ayahnya menutup pintu, dibalik bayang-bayang  ruangan muncul sorot mata kuning di bawah sofa yang mulai bergerak maju dan meninggi membentuk sesosok bayangan anak kecil. Ia menyeringai puas hingga taring kecilnya yang terlihat memantulkan cahaya matahari yang masuk.
“Sudah waktunya,” ucap anak itu. Perlahan tubuhnya melebur menjadi bayangan asap.
____________________________________......____________________________________
            Pada pukul 14.00, aku dan ayahku sampai di depan Asrama Putri Aileen. Seorang perempuan paruh baya menyambut kami di teras depan. Rambut coklat menggelombang sampai sebahu dikucir tinggi, mata hijau emerald yang teduh dengan eyes shadow coklat menyertai. Entah kenapa wajahnya terasa tidak asing bagiku.
            Ketika aku sudah mulai jauh, aku menoleh ke arahnya. Ia tersenyum lembut sambil melambaikan tangannya. Aku pun balik meresponnya dengan melambai pelan. Sesampainya di belokan lorong asrama, tembok menutupi pengelihatanku dan aku pun tidak melihat sosoknya lagi.
            Aku memasuki gedung asrama bersama beberapa anak lainnya. Aku melewati lorong-lorong kamar asrama sambil mencocokan di pintu kamar dengan kertas nomor yang kubawa.  Walau aku sudah menyarinya sejak tadi, nomor kamarku tak kunjung kutemukan. Sebalnya, meski aku datang bersama ayahku, ia tetap diam saja mengikutiku tanpa memberitahu dimana letak kamarku.Terpaksa aku harus terus mencari di setiap lorong lantai 1. Karena di sini hanya ada nomor dari satu sampai lima puluh, aku pun naik ke lantai dua. Setelah mencari cukup lama, aku pun akhirnya menemukan kamar no. 99.
            Ayahku memberi kunci kamar kepadaku.  Kunci logam yang berhiaskan batuan warna biru disertai ukiran singkatan namaku “K.H” dan simbol api. Tidak pikir panjang lagi, aku langsung memasukannya ke lubang dan memutarnya hingga terdengar suara kunci yang terbuka.
Bunyi pintu yang terbuka pelan membuatku merinding. Saat pintu sudah membuka sepertiganya, muncul sosok anak perempuan yang menyeringai berdiri di sana.
“Se…la…mat….datang….”, ucapnya dengan nada pelan.
Setelah pintu terbuka lebar, sosok tersebut tidak lain adalah Ami. Dia cengar-cengir melihatku yang sembunyi ketakutan di punggung  ayah. Malu rasanya, untung tidak ada yang melihatku.
“Pfft…”
“Oh tidak, sepertinya ada orang lain di sini,” batinku.
Aku menoleh kebelakang, ternyata benar ada orang lain disini. Perempuan itu melambaikan tangannya ke arahku. Namun, saking malunya aku menyembunyikan wajah merahku dengan menempelkannya ke punggung ayahku. Ayahku pun tertawa melihatku seperti ini.
            Ketika aku sudah lebih tenang, aku pun berbalik menghadap perempuan tadi.
“Pe-perkenalkan, namaku Kirina Hazard! Mohon bantuannya!” ucapku kaku.
Perempuan itu pun tersenyum,“Iya, salam kenal. Aku Ashura Asha. Kau bisa memanggilku Shura.”
“Ngomong-ngomong, apa kita pernah bertemu? Di suatu desa mungkin,” lanjutnya.
“Sepertinya tidak,” jawabku.
“Begitu….”
            Setelah perempuan yang bernama Shura itu mengakhiri perkataannya aku merasakan tatapan tajam dari pintu kamarku. Aku tidak tahu mengapa saat aku berbalik, aku melihat Ami terlihat sangat marah.
“Ami, apa ada yang salah?” tanyaku.
            Seketika, mimik wajah Ami kembali normal. Ia hanya tersenyum-senyum tanpa menjawab pertanyaanku, kemudian berjalan ke arah Shura.
“Maaf atas ketidak sopananku. Perkenalkan, aku adiknya Kirina. Namaku Ami Hazard. Umurku sepuluh tahun, mulai besok aku mulai bersekolah di akademi ini. Mohon bantuannya!”
“Wah, hebat! Diumurmu yang begitu muda, kamu bisa masuk akademi tingkat menengah ini. Kalau begitu, salam kenal dan berjuanglah,” ucap Shura.
“Ah sudah jam segini. Daah…” salam Shura yang masuk ke kamar no. 98 tepat di hadapan kamarku.
“A-ami?! Kamu sekolah disini?! Bukannya kamu masih berada di tingkat dasar? Dan kenapa kamu tidak memberihatuku? Ayah juga,” omelku.
“Hahaha, ayah sengaja tidak bilang karena sepertinya seru. Sudah, sudah, lebih baik kalian masuk ke kamar kalian. Barang-barang kalian berdua sudah ayah bawa kesini,” ucap ayah.
____________________________________......____________________________________
            “Yap, anak-anak. Seperti yang bapak bilang kemarin, hari ini kita kedatangan murid baru. Nak Hazard silakan perkenalkan dirimu,” kata Pak Claud kepada adikku, Ami.
Seperti yang kuduga, murid lain pasti bingung dengan adikku. Terlebih ia mengatakan dengan jelas bahwa aku adalah kakaknya. Sontak, teman sekelasku menatap ke arahku dan bertanya-tanya. Sampai-sampai aku kewalahan dibuatnya.
Aku mengirimkan kode mata melas ke Rian, aku berharap ia membantuku. Tapi ia justru mengangkat kedua tangannya yang mengartikan bahwa ia tidak tahu haru sberbuat apa. Sedangkan anak yang bernama Dellion itu masih terus menatapku. Untungya Pak Claud segera memulai pembelajarannya, sehingga mereka pun berhenti bertanya.
            Seperti biasa, kami melakukan pembelajaran di luar ruangan atau lebih tepatnya di Hutan Nervilia. Aku dan Ami duduk bersebelahan memperhatikan penjalasan Pak Claud.  Ia menjelaskan bahwa ada tiga jenis makhluk mistik, yaitu hewan mistik, roh mistik, dan makhluk roh panggilan atau biasa disebut sebagai Arles.
            Ketiganya dibagi menurut tempat dimana mereka tinggal. Tempat tersebut adalah dunia sebagai tempat tinggal hewan mistik, Perditi untuk para roh mistik, sedangkan arles dapat tinggal di kedua tempat dengan sebuah kontrak.
Begitulah ringkasan yang kudapat dari penjelasan Pak Claud hari ini. Kulihat dia sangat bersemangat dalam pembelajarannya. Sayang, sepertinya semangat antusiasnya itu tidak mencapai ke semua anak didiknya. Ia bahkan tidak sadar bahwa  banyak muridnya sudah tersebar di sana-sini, sibuk dengan diri mereka masing-masing. Di antara mereka juga ada yang pergi entah kemana dan tidak kembali sampai saat ini.
Tapi, ada yang membuatku heran. Pak Claud yang melihat murid didiknya tersebar dan hilang hanya senyum dengan mata yang menyipit. Entah kenapa aku merasa Pak Claud akan melakukan sesuatu.
            “Kak, apa kelasmu selalu seperti ini?” tanya Ami tiba-tiba.
Aku mengangguk mengiyakannya. Lalu, Ami pun bertanya kembali, “Lalu siapa laki-laki itu, kak? Dari awal pelajaran ia selalu menatap kita. Rasanya, aku ingin sekali menghajar tepat di kedua matanya.”
Aku melirik ke orang yang Ami maksud, “Emmm, kenapa kau tidak tanya saja kepadanya?” kataku menghindari pertanyaan Ami sambil tersenyum.
Mendengar hal itu, Ami pun diam dan balik menatap tajam ke arah Dellion. Mereka saling beradu tatap. Aku jadi bingung harus tertawa atau merasa ngeri. Aku pun berpikir apa sebaiknya ku tanyakan saja sebab ia selalu  menatapku. Kalau diingat lagi, aku pertama kali bertemu dengannya saat pembagian kelas. Ya, saat itu aku menabraknya.Apa dia masih marah padaku?
Di asrama, Ami terus-terusan menggerutu tidak jelas. Sepertinya dia masih tidak menerima apa yang dilakukan Dellion. Di kasurnya ia meremas bantal dengan kuat.  Ia bahkan juga menatapku hingga petang seakan ingin tahu siapa orang yang menatap kami sebelummnya. Padahal aku sendiri juga tidak yakin mengapa Dellion selalu menatapku seperti itu.
Langit sudah berubah jingga, dari tadi Ami tidak merubah posisinya dan terus menatapku. Karena lelah dengan semua tatapan itu, aku akhirnya menceritakannya. Karena aku mengakatakan kepada Ami bahwa aku masih tidak yakin dengan hipotesaku, wajahnya mengerut.
“Lalu tanyakan!” perintah Ami.
Itulah yang dikatakan Ami sebelum ia tertidur. Meski begitu, ia masih memasang wajah cemberut. Aku sampai hampir tertawa dibuatnya. Bisa-bisanya dia tidur, padahal matahari saja belum terbenam.
            Aku merapikan posisi tidur Ami, ia tidur dengan bentuk yang tidak karuan. Kemudian, aku duduk di kursi belajarku mempelajari lagi materi yang sudah diajarkan Pak Claud tadi siang. Namun, entah mengapa aku masih terganggu dengan perkataan Ami.
            “Apa aku besok aku harus menannyakannya?”, gumamku sambil merapikan rambut yang menjuntai ke depan.
____________________________________......____________________________________
            Bulan sudah meninggi, bintang-bintang menghilang ditelan awan, suara guntur terdengar jelas di telinga. Sinar bulan perlahan meredup, hanya kilatan halilintar yang menyilaukan mata. Kututup lembar buku yang kubaca di meja belajar. Menatap ke arah jendela dan pintu yang terbuka lebar.
            “Malam yang sama,” ucapku dalam hati.
Keadaan langit malam ini sama seperti yang terjadi pada 6 tahun yang lalu. Malam dimana aku kehilangan saudara laki-lakiku. Ingatan samar menunjukan dirinya yang dibawa pergi oleh seorang pria bertopeng.
“Kuharap dia selamat,” gumamku.
Pip…pip…
Bunyi jam mejaku yang menyadarkan lamunanku. Angka 22.00 muncul di layarnya. Aku bangkit dari dudukku. Tidak sampai lima detik aku berdiri, hujan turun disertai halilintar yang sejak tadi menghantarkan listriknya. Untuk mencegah air masuk, aku menutup jendela dan pintu beranda. Namun, saat  hendak menutup pintu, aku mendengar gemerisik ranting bergesekan.
Pohon di depan berandaku bergoyang naik turun, tanpa terlihat siapa yang menggoyangkannya. Tiba-tiba halilintar menyabar keras hingga menimbulkan cahaya yang sangat terang. Sekilas muncul sesosok bayangan tidak jelas melompat ke arahku. Sontak aku berjalan mundur dan tersandung kakiku sendiri. Kepalaku membentur lantai keramik cukup keras. Pandanganku mulai samar, sebelum kesadaranku hilang terlihat dua mata kuning berjalan mendekatiku dengan cakar runcingnya yang mengkilat.
Keesokan harinya, Ami membangunkanku karena tertidur di depan pintu yang terbuka lebar. Aku pun mulai bangun dengan memegangi belakang kepalaku yang terasa sakit. Ketika duduk dan berbalik, aku sangat terkejut. Di lantai tempat kepalaku terbentur, terlihat bercak darah yang cukup banyak. Kuraba-raba kepalaku, namun tidak ada satu pun luka.
Sebelum Ami melihat, aku segera menghapus bercak darah itu dengan lengan bajuku. Tanpa diketahui Ami, aku berjalan dengan santai menuju kamar mandi  seakan tidak terjadi apa-apa. Aku menoleh sedikit untuk melihat lantai  di dekat pintu beranda yang terbuka. Aneh, itulah yang terpikir olehku. Karena lantai itu terlihat sangat kering, padahal teras di beranda terlihat basah bahkan jendelanya juga. Kalau jendela sampai basah, harusnya ada air yang masuk kedalam. Terlebih beranda kamarku ini hanya memiliki atap kecil di atasnya.
Di dalam kamar mandi, aku segera mencuci bajuku yang tadi kubuat untuk membersihkan bercak darah. Aku harus segera menghilangkannya sebelum Ami tahu, karena ia pasti akan bertanya tanpa henti dengan emosi yang meledak-ledak. Yah, Begitulah dia.
Setelah mandi dan bersiap, kami berdua pergi menuju kelas. Karena masih lima belas menit sebelum bel masuk, hanya ada kami berdua dan Dellion yang tertidur di mejanya. Aku meletakan tasku di atas meja, menunggu teman lainnya datang. Mereka satu persatu masuk dan duduk di bangku mereka.
Aku penasaran tentang siapa sebenarnya bayangan malam itu dan apa yang terjadi saat aku pingsan. Kalau diingat lagi, sosok itu memiliki mata kuning terang seperti milik Dellion. Apa itu dia? Tidak, itu bisa saja hewan mistik atau sesuatu yang lain.
Karena aku tidak memiliki cukup bukti dan keyakinan, aku tidak bisa asal menebak. Karena itu tidak baik. Dari pada berpikir hal yang tidak jelas, aku lebih baik berpikir bagaimana caranya supaya aku bisa bertanya dengan Dellion. Di saat aku larut dalam pikiranku, tiba-tiba rasa kantuk yang hebat datang membuatku tertidur. Tidak lama kemudian aku terbangun, hanya ada dia yang masih duduk sambil menatapku.
Aku pun segera membulatkan tekatku. Aku bangkit dari dudukku dan berjalan mendekatinya. Ia mendongak ke atas melihatku yang berdiri di hadapannya.
“Em…itu… kenapa kamu selalu menatapku? Apa aku memiliki salah padamu?”, tanyaku.
Tanpa berkata apa-apa ia mengerinyitkan dahinya. Ia semakin serius menatapku. Dan aku pun semakin tidak nyaman dengan tatapannya.
“a-apa kau seperti ini karena aku pernah menabrakmu saat itu?”, tanyaku lagi.
Dari wajahnya, ia seperti sedang menahan tawa. Aku terkejut melihatnya karena sudah bingung mau ngomong apa lagi. Aku pun segera beranjak pergi karena merasa tidak enak.
            Aku membuka pintu kelas dan keluar, namun sekilas aku melihatnya menyeringgai dan mengatakan sesuatu.
            “…..menarik….”, itulah kata yang ku dengar samar.
            Langkahku terhenti, namun laki-laki itu beranjak pergi melewati tembok yang dilubangi Pak Hornfels dengan alresnya. Tiba-tiba lenganku digenggam dan ditarik seseorang yang tidak lain adalah Ami.
            “Kak, ayo! Gurunya sudah datang menunggu.”, ucapnya.