Jumat, 19 Mei 2017

Luminous Haze Chapter 1



Pertemuan

“Rin!!!” teriak seorang anak lelaki yang dibawa terbang menjauh oleh seorang pria misterius bertopeng.
“Sadarlah atau kau hanya akan dimakan kekuatanmu sendiri, Rina!” ucap bayangan seorang pria bertubuh tegap di balik kobaran api.
 “Dasar bodoh!”  hujat seorang pemuda yang kemudian berubah wujudnya menjadi wanita serba hitam.
“Kak Rin! Kak Rin!”, panggil seorang anak kecil yang menangis di depan sebuah mayat perempuan. Sebenarnya apa yang terjadi?
“Kak Rin!!!! Bangun! Kakak mau terlambat apa di hari pertama masuk Akademi menengah?”omel seseorang yang tak lain adalah adikku Ami.
            Hah? Bangun?
Aku terbangun karena kaget dengan mimpiku sendiri. Lamunanku terhenti ketika Ami menyodorkan jam waker ke depan wajahku. Jarum jam sudah  menunjukan pukul 06.30 yang artinya limabelas menit sebelum gerbang sekolah tertutup. Yap, itulah peraturan tertulis di buku panduan murid sekolahku. Yah, memang tertulis banyak aturannya, tapi  aku harus menaatinya semenjak bersekolah di Akademi Menengah Stix sebagai seorang Stratus.
            Aku bergegas, mengambil tas dan barang lainnya sampai-sampai mengabaikan sarapan. Bahkan aku sempat tersandung perabot rumah beberapa kali. Ayahku hanya menatapku sambil bersandar di dekat pintu kamarnya. Karena waktu sudah makin telat, ayah akhirnya mengantarku ke akademi.
Beruntung aku sampai di akademi tepat setelah aku masuk pintu gerbang utama akademi ditutup di belakangku. Tak lama kemudian, gerbang yang besar itu dijaga oleh dua makhluk mistik batu bersayap kelelawar yang disebut gargoyl. Aku sungguh merasa lega karena aku nyaris saja terjebak di luar sekolah dan memberi kesan buruk di hari pertamaku, bahkan karena saking bersyukurnya aku sampai-sampai air mata kebahagiaan keluar dari mataku.
Aku melihat kesekitar lingkunganku, mataku pun tertarik pada sebuah papan yang dikerumuni oleh ratusan Stratus, itulah sebutan bagi murid akademi tingkat menengah. Karena penasaran, aku pun menuju tempat papan itu berada. Setelah aku lihat lebih dekat, ternyata papan itu adalah daftar pembagian kelas untuk para murid baru. Di situ tertulis kalau aku akan belajar di Kelas Mimosa tingkat 1 yang terletak di pinggir Hutan Nervilia.
            Dukk!
 Tidak sengaja aku menabrak seseorang. Orang itu menatapku dengan mata kuningnya yang dingin. Karena ini juga merupakan salahku, aku meminta maaf pada laki-laki itu dan pergi.
            “Bagi murid yang sudah menemukan kelasnya diharap segera pergi ke kelasnya masing-masing!” ucap suara tak dikenal dari pengeras suara.
Aku dan murid lainnya bergegas pergi ke kelas,  namun pandanganku terhenti ketika melihat seosok pria yang terasa tidak asing lagi bagiku. Ya, orang itu adalah teman masa kecilku, Andryan Flos. Ternyata dia juga bersekolah di tempat yang sama denganku. Dengan gembira aku pun memanggilnya.
“Rian!Andryan!”
Sejenak pemuda itu tampak mencari orang yang memanggil namanya. Ketika pandangannya bertemu dengan pandanganku, pemuda itu pun membalas sapaanku dengan senyumannya yang indah. Aku berlari kecil kearahnya dan mengobrol dengannya seperti yang biasanya kami lakukan.
“Rian, sudah lama sekali. Kamu juga sekolah di akademi ini, ya? Oh iya, bagaimana kabar Bibi Cecil dan Paman Delmor? Lalu, apa kamu kamu sudah bisa memenuhi janji kita waktu itu? Dan sepertinya kau terlihat lebih cerah dibanding dulu. Memangnya apa yang terjadi ketika kau tinggal di tempat mereka? Mengapa kau tidak pernah mengabariku?” tanyaku beruntut.
Rian tersenyum kecil melihat tingkahku yang tak sabaran, “Tenang, tenang. Biar aku jawab satu-satu. Iya, benar aku sekolah di sini, terlebih kita sekelas,” jawabnya enteng.
“Wah, benarkah? Keren!” aku sangat senang karena tidak menyangka kalau aku bisa satu akademi dan sekelas dengan teman masa kecilku ini.
            “Ayah, ibuku baik. Dan untuk janji yang kita bicarakan waktu itu pastinya aku sudah menepatinya. Apalagi selama ini aku berada dalam bimbingan ibuku yang—kau tahu sendiri—gregetnya minta ampun, heh…heh..” lanjutnya dengan tawa di wajah yang suram.
            “Seperti biasa, di sana mereka…..” ucapanya terpotong.
            “Hei, kalian berdua! Bukan kah kalian seharusnya sudah berada di kelas? Semua anak lain juga sudah pergi ke kelas,” ucap seorang guru dengan rambut abu-abu keunguan, ia tersenyum ramah pada kami, namun kata-katanya entah mengapa ada sedikit ancaman.
            Kami mengiyakan perintah guru itu dan segera berlari menuju kelas kami. Sesampainya di sana kami hanya mendapat sisa bangku di barisan yang paling depan. Terpaksa, kami pun duduk di bangku tersebut.
            “Aku tidak menyangka kalau anak pendiam itu bisa seceria ini.” Batinku.
Di bangku yang sama denganku, duduk seorang anak. Dia tersenyum menyapaku dengan ramah. Semenara itu, anak di bangku yang sama dengan Rian, menatap dingin kearahku, aku pun membalasnya dengan senyum yang kaku.
            Tidak lama setelah itu guru pun datang, lalu beliau berdiri di tengah-tegah kelas dengan wajah pucatnya. Ia bergumam tidak jelas. Ia terus berjalan mondar-mandir, tidak menghirukan sekitarnya dan bahkan muridnya sendiri yang sedang kebingungan dengan sikap gurunya yang tidak biasa ini. Kelas berasak-kusuk heran dengan suara yang kecil karena takut dimarahi.
Di tengah kebingungan itu, beliau menyandarkan wajahnya ke tembok. Ketika wajahnya terlihat semakin ketakutan, ia pun bebalik dan menjulurkan tangan kirinya ke depan, lalu ia berteriak dengan sangat kencang sehingga mengagetkan seluruh kelas.
“Hornfels, hancurkan!!!”
Seketika muncul monster besar bertanduk di hadapan kami berlari menghantam didinding hingga hancur. Kemudian, makhuk itu berbalik menuju ke arah pemanggilnya dan menyusut. Ia duduk di bahu kanan Pak Guru yang tidak lain adalah guru yang kulihat sebelumnya. Ciri-cirinya juga sama seperti yang kulihat tadi rambut kelabu keunguan, panjang sebahu, dan dikucir ke samping. Walau yang berbeda hanya kelakuannya saja.
Kami sekalas hanya terheran-heran melihat kelakuaan gila guru kami  menghancurkan kelasnya sendiri dengan alresnya. Sedangkan Rian, ia memegangi kepalanya sambil agak menunduk di dekat tembok yang telah dihancurkan itu. Dia telihat sangat terkejut, yah itu jelas, terlebih ia duduk di bangku paling pojok. Lain lagi dengan teman sebangkunya, dia duduk tenang sambil menghindari beberapa bongkah yang terlempar.
“Yah, yah, maaf murid-murid. Bapak terlambat.”
’”…”
“Heeh…? Kenapa kalian diam, apa kalian terpesona dengan kegantengan bapak?” ucapnya dengan percaya diri.
Serentak dalam hati kami berkata, “Tidak!”
“Mungkin saya agak terlambat, tapi perkenalkan nama bapak, Claudius Hornfels. Kalian bisa panggil saya Pak Claud atau Pak Claudi. Dan ini Arles milik bapak, namanya Hornfels. Dia imut kan?”, ucapnya sambil mengusap kepala arles itu dengan kegirangan.
“ Ah, lalu karena temboknya sudah terbuka mari kita pergi ke Hutan Nervilia untuk selanjutnya dan seterusnya. Hahaha!!!” ucapnya dengan puas dan bahagia.
Entah kenapa, aku bingung, bagaimana kami bisa mendapat wali kelas segreget ini? Bahkan seisi kelas bisa terdiam hanya karena ucapan Pak Hornfels. Aku juga bingung kenapa orang seperti ini bisa dijadikan guru oleh pihak akademi. Benar-benar awal pertemuan yang tidak biasa.
Hari berikutnya, aku berangkat lebih awal dan duduk dengan nyaman di bangkuku. Di kelas yang masih kosong itu, aku hanya bisa terus melamun sambil memperhatikan liontin zavela buatan ibuku. Lalu aku aliri liontin itu dengan api biru kecil yang membuatnya mengeluarkan empat jenis simbol.
“Rai…” gumamku.
Krieett….
Lamunanku terhenti akibat suara pintu yang dibuka. Dari pintu masuklah seseorang dengan wajah dingin dan sorot mata kuning yang tajam. Angin yang berhembus membuat sebagian rambut hitamnya bergoyang. Menyadari diriku yang memperhatikannya, ia berjalan melewatiku sembari menatapku dan duduk di kursinya tanpa mengatakan apa-apa.
            Sudah lima belas menit kami berdua saja di kelas. Meski begitu, tidak ada satu pun kata yang terucap darinya. Dari tadi laki-laki itu terus melihat ke arahku. Hal ini membuatku tidak nyaman dan bingung. Dengan mengukuhkan keberanianku, aku berkata kepadanya, “Maaf, apakah ada yang salah dengan diriku?”
Terlihat di wajahnya, ia sedikit terkejut. Kemudian, ia menjawabku dengan jawaban yang menyatakan kalau ia tidak merasa ada yang salah denganku. Setelah itu ia kembali memalingkan pandangannya dariku.
“Kalau begitu, mari berkenalan. Namaku Kirina Hazard. Kau bisa memanggilku Rina. Kalau kamu?” ucapku dengan senyum.
“Dellion Kris. Terserah kau mau memanggilku apa.”, jawabnya datar tanpa melihat ke arahku.
            Tak selang beberapa lama, murid-murid lainnya datang dan duduk di bangkunya masing-masing. Kelas yang tadinya hening berubah menjadi bising dipenuhi celotehan orang-orang.
            Namun, kebisingan itu kembali tenang saat Pak Claud datang dan meminta kami supaya membawa barang bawaan kami ke Hutan Nervilia. Di hutan, kami mencari tempat duduk yang kiranya nyaman. Kemudian, Pak Claud menuliskan materi pembelajaran di papan tulis yang ia bawa tadi.
            Di hutan ini, aku merasa sangat nyaman karena udaranya yang sejuk, pepohonan yang rindang, dan pemandangan indah. Seperti namanya, di hutan ini ditumbuhi berbagai macam anggrek dengan jumlah yang sangat banyak di setiap tempatnya. Kupu-kupu dan burung beterbangan kesana-kemari. Yah, semua ini akan terasa lebih nyaman jika aku bisa mengabaikan laki-laki yang dari tadi menatapku itu.
            Padahal saat ini sedang pembelajaran, tapi ia tetap saja begitu. Entah kenapa, hal ini membuatku takut. Sebenarnya apa yang ia lihat dariku sampai sebegitunya?
____________________________________......____________________________________
Pada hari dimana Kakakku Kirina pertama kali berangkat ke akademi. Aku berdiri di depan pintu menunggunya yang sedang bersiap-siap, pergi kesana kemari sampai kesandung beberapa kali. Ketika ia siap, kakakku pun pergi diantar ayahku.
“Selamat jalan, Kak!”, kataku kepada Kak Kirina yang pergi ke sekolah dengan ceria, tapi tak lama  kemudian memudar menjadi tatapan tajam ke arahnya. 
Kau tahu? Kakakku adalah orang yang paling kusayang sekaligus kutakuti. Semua berawal dari malam itu dan untungnya terlupakan olehnya. Seluruh kejadian, juga peristiwa yang menyangkut dirinya kala itu. Walaupun dia sudah melupakan hampir seluruhnya, dia masih mengingat bahwa saudara laki-lakinya diculik pria bertopeng dan saat mama ditemukan tewas di belakangku.
            Karena ketakutanku, tak pernah kukatakan sekalipun rincian kejadian di malam itu. Hanya agar kakak tidak pernah mengingat atau pun mengulangi kembali kejadian enam tahun yang lalu. Kucegah dan jauhkan hal yang dapat menjadi pemicu ingatannya. Karena aku tidak mau kehilangannya, kakakku yang saat ini.
            Di umurku yang kesepuluh ini  aku duduk di akademi tingkat dasar sebagai seorang cirrus, tetapi itu hanya sementara. Karena aku akan segera menyusulnya.
“Tunggu aku, Kak Rin”, gumamku dengan seringai lebar.
____________________________________......____________________________________
            Di sekolah,  aku mendatangi kantor kepala sekolah. Kukatakan urusanku ke tempat itu, yang menyatakan bahwa aku ingin mempercepat kenaikan tingkat sekolah menuju tingkat menegah. Awalnya kepala sekolah menolaknya, namun akhirnya ia setujui setelah kutunjukan kemampuanku yang saat ini sudah melebihi kemampuan rata-rata murid tingkat menengah awal.
“Nak Ami, dilihat dari kemampuanmu yang saya lihat, kamu dapat lompat ke jenjang berikutnya. Namun, sebelum itu kami harus mengurus berkas-berkasnya dulu supaya tidak ada kesalah pahaman,” ucap kepala sekolah.
“Lalu kapan kira-kira semua itu selesai, Pak?” tanyaku.
“Ini memakan waktu hampir empat minggu. Tapi, yang jelas kau dapat pindah ke jenjang selanjutnya bulan depan,” jawabnya.
“Terimakasih, Pak,” ucapku.
Hal yang kulakukan hari ini masih kurahasiakan dari orang-orang dan juga keluargaku. Aku yakin ayah akan marah, tapi semua ini hanya untuk kakakku. Kuharap ayah mengerti.
            Dua hari sebelum kepindahan, ayahku menyadari hal ini. Ia marah besar, aku meminta maaf kepadanya. Ia menginginkan aku agar tetap di akademi tingkat dasar, namun aku menolaknya dengan alasan bahwa aku sudah menguasai semua materi yang ada. Bahkan sudah melebihi syarat rata-rata masuk ke tingkat selanjutnya.
Berkat semua alasan yang kukeluarkan, akhirnya ayahku menyerah dan mengijikanku dengan syarat aku harus mau didaftarkan di tempat kakak supaya ia dapat megetahui kabarku. Tanpa basa-basi lagi aku menyetujui persyaratan yang memang menjadi tujuan awalku itu.
            Malamnya aku berkemas untuk kepindahan. Aku sangat senang karena aku akan segera bertemu kakakku lagi. Aku akan mengejutkannya besok. Hihihi….
____________________________________......____________________________________
            Hampir satu bulan aku bersekolah di Akademi menengah Stix yang dipenuhi dengan kebahagiaan, kegilaan, dan tatapan dingin misterius dari Dellion. Ku harap selanjutnya akan terus berjalan lancar.
            Hari ini, di Hutan Nervilia, Pak Claud memberitahukan sebuah pengumuman yang menyatakan bahwa akan ada murid baru yang bergabung minggu depan dan semua murid diwajibkan untuk tinggal di asrama sekolah. Sehingga selama tujuh hari kedepan kami diliburkan untuk persiapan pindahan. Kami diharuskan pindah karena untuk kedepannya pembelajaran kami dipenuhi dengan praktek dan studi lingkungan.
            Setelah itu, Pak Hornfels memberi kami sebuah kartu nomor asrama dan memperbolehkan kami pulang cepat.
“Kalian boleh pulang sekarang, untuk bersiap dan melakukan salam perpisahan kepada keluarga hari ini,” ucapnya.
Kami serentak berteriak dan bertanya mengapa Pak Hornfels berkata seperti itu. Jawabannya pun sungguh tak disangka.
“Karena bapak lupa memberi tahu kalian minggu kemarin. Hehe,” ucapnya enteng dengan tawa kecil khasnya.
“Apa ini?! Ga bisa gini, Pak!!” protes seorang murid.
“Wah, jangan bercanda dong, Pak!”, teriak seorang murid
“Jadi, seminggu ini sekolah sepi itu karena itu? Wah, paknya ini. Berikan libur kami pak! Itu hak kami!”,
“Iya itu, ga bisa gitu dong pak!”
Serentak kelas pun menjadi heboh menyalahkan Pak Claud. Tapi, karena besok kami diharuskan tinggal di asrama, aku harus segera memberitahu ayah dan berberes. Aku, beberapa murid lainnya termasuk Rian, dan teman sebangkunya beranjak pergi dan pulang.
            Sesampainya di rumah, aku langsung menuju kamar yang ternyata sudah kosong melompong. Aku memangil ayah dengan wajah polos dan panik.
"Ayah! Ayah! Rumah kita dirampok! Kamarku kosong!"
“Ah, tidak. Barang-barangmu sudah ayah kirim ke asramamu tadi,” jawab ayah.
“Jadi, begitu,” ucapku melongo karena sudah salah sangka.
“Tapi, bagaimana ayah tahu dimana nomor asramaku?” lanjutku.
“Yah, itu…ayah tahu dari kenalan ayah yang mengajar di sekolahmu,” ucapnya.
“Huft, bagaimana bisa orang itu lupa memberi tahu muridnya sendiri,” gumam ayah yang menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Hmm?? Apa ayah bilang sesuatu?” tanyaku.
“Tidak, tidak usah pikirkan. Kalau begitu, mau ayah antar ke asramamu? Ayah juga sudah punya kuncinya,” kata ayah yang nyengir sambil memutar-mutar kunci kamar asramaku..
“Aaa!! Bagaimana ayah bisa mendapatkan itu?! Ayah seharusnya tidak sembarang masuk ke kamar cewek!” omelku sambil berusaha mengambil kunci itu dari tangan ayahku.
“Hahaha, masa ayah tidak boleh masuk ke kamar anaknya sendiri. Sudah, sudah, ayo ayah antar,” ajak ayah yang membuka pintu dan tersenyum menatap cerah ke arahku.
____________________________________......____________________________________
            Ketika Kirina dan ayahnya menutup pintu, dibalik bayang-bayang  ruangan muncul sorot mata kuning di bawah sofa yang mulai bergerak maju dan meninggi membentuk sesosok bayangan anak kecil. Ia menyeringai puas hingga taring kecilnya yang terlihat memantulkan cahaya matahari yang masuk.
“Sudah waktunya,” ucap anak itu. Perlahan tubuhnya melebur menjadi bayangan asap.
____________________________________......____________________________________
            Pada pukul 14.00, aku dan ayahku sampai di depan Asrama Putri Aileen. Seorang perempuan paruh baya menyambut kami di teras depan. Rambut coklat menggelombang sampai sebahu dikucir tinggi, mata hijau emerald yang teduh dengan eyes shadow coklat menyertai. Entah kenapa wajahnya terasa tidak asing bagiku.
            Ketika aku sudah mulai jauh, aku menoleh ke arahnya. Ia tersenyum lembut sambil melambaikan tangannya. Aku pun balik meresponnya dengan melambai pelan. Sesampainya di belokan lorong asrama, tembok menutupi pengelihatanku dan aku pun tidak melihat sosoknya lagi.
            Aku memasuki gedung asrama bersama beberapa anak lainnya. Aku melewati lorong-lorong kamar asrama sambil mencocokan di pintu kamar dengan kertas nomor yang kubawa.  Walau aku sudah menyarinya sejak tadi, nomor kamarku tak kunjung kutemukan. Sebalnya, meski aku datang bersama ayahku, ia tetap diam saja mengikutiku tanpa memberitahu dimana letak kamarku.Terpaksa aku harus terus mencari di setiap lorong lantai 1. Karena di sini hanya ada nomor dari satu sampai lima puluh, aku pun naik ke lantai dua. Setelah mencari cukup lama, aku pun akhirnya menemukan kamar no. 99.
            Ayahku memberi kunci kamar kepadaku.  Kunci logam yang berhiaskan batuan warna biru disertai ukiran singkatan namaku “K.H” dan simbol api. Tidak pikir panjang lagi, aku langsung memasukannya ke lubang dan memutarnya hingga terdengar suara kunci yang terbuka.
Bunyi pintu yang terbuka pelan membuatku merinding. Saat pintu sudah membuka sepertiganya, muncul sosok anak perempuan yang menyeringai berdiri di sana.
“Se…la…mat….datang….”, ucapnya dengan nada pelan.
Setelah pintu terbuka lebar, sosok tersebut tidak lain adalah Ami. Dia cengar-cengir melihatku yang sembunyi ketakutan di punggung  ayah. Malu rasanya, untung tidak ada yang melihatku.
“Pfft…”
“Oh tidak, sepertinya ada orang lain di sini,” batinku.
Aku menoleh kebelakang, ternyata benar ada orang lain disini. Perempuan itu melambaikan tangannya ke arahku. Namun, saking malunya aku menyembunyikan wajah merahku dengan menempelkannya ke punggung ayahku. Ayahku pun tertawa melihatku seperti ini.
            Ketika aku sudah lebih tenang, aku pun berbalik menghadap perempuan tadi.
“Pe-perkenalkan, namaku Kirina Hazard! Mohon bantuannya!” ucapku kaku.
Perempuan itu pun tersenyum,“Iya, salam kenal. Aku Ashura Asha. Kau bisa memanggilku Shura.”
“Ngomong-ngomong, apa kita pernah bertemu? Di suatu desa mungkin,” lanjutnya.
“Sepertinya tidak,” jawabku.
“Begitu….”
            Setelah perempuan yang bernama Shura itu mengakhiri perkataannya aku merasakan tatapan tajam dari pintu kamarku. Aku tidak tahu mengapa saat aku berbalik, aku melihat Ami terlihat sangat marah.
“Ami, apa ada yang salah?” tanyaku.
            Seketika, mimik wajah Ami kembali normal. Ia hanya tersenyum-senyum tanpa menjawab pertanyaanku, kemudian berjalan ke arah Shura.
“Maaf atas ketidak sopananku. Perkenalkan, aku adiknya Kirina. Namaku Ami Hazard. Umurku sepuluh tahun, mulai besok aku mulai bersekolah di akademi ini. Mohon bantuannya!”
“Wah, hebat! Diumurmu yang begitu muda, kamu bisa masuk akademi tingkat menengah ini. Kalau begitu, salam kenal dan berjuanglah,” ucap Shura.
“Ah sudah jam segini. Daah…” salam Shura yang masuk ke kamar no. 98 tepat di hadapan kamarku.
“A-ami?! Kamu sekolah disini?! Bukannya kamu masih berada di tingkat dasar? Dan kenapa kamu tidak memberihatuku? Ayah juga,” omelku.
“Hahaha, ayah sengaja tidak bilang karena sepertinya seru. Sudah, sudah, lebih baik kalian masuk ke kamar kalian. Barang-barang kalian berdua sudah ayah bawa kesini,” ucap ayah.
____________________________________......____________________________________
            “Yap, anak-anak. Seperti yang bapak bilang kemarin, hari ini kita kedatangan murid baru. Nak Hazard silakan perkenalkan dirimu,” kata Pak Claud kepada adikku, Ami.
Seperti yang kuduga, murid lain pasti bingung dengan adikku. Terlebih ia mengatakan dengan jelas bahwa aku adalah kakaknya. Sontak, teman sekelasku menatap ke arahku dan bertanya-tanya. Sampai-sampai aku kewalahan dibuatnya.
Aku mengirimkan kode mata melas ke Rian, aku berharap ia membantuku. Tapi ia justru mengangkat kedua tangannya yang mengartikan bahwa ia tidak tahu haru sberbuat apa. Sedangkan anak yang bernama Dellion itu masih terus menatapku. Untungya Pak Claud segera memulai pembelajarannya, sehingga mereka pun berhenti bertanya.
            Seperti biasa, kami melakukan pembelajaran di luar ruangan atau lebih tepatnya di Hutan Nervilia. Aku dan Ami duduk bersebelahan memperhatikan penjalasan Pak Claud.  Ia menjelaskan bahwa ada tiga jenis makhluk mistik, yaitu hewan mistik, roh mistik, dan makhluk roh panggilan atau biasa disebut sebagai Arles.
            Ketiganya dibagi menurut tempat dimana mereka tinggal. Tempat tersebut adalah dunia sebagai tempat tinggal hewan mistik, Perditi untuk para roh mistik, sedangkan arles dapat tinggal di kedua tempat dengan sebuah kontrak.
Begitulah ringkasan yang kudapat dari penjelasan Pak Claud hari ini. Kulihat dia sangat bersemangat dalam pembelajarannya. Sayang, sepertinya semangat antusiasnya itu tidak mencapai ke semua anak didiknya. Ia bahkan tidak sadar bahwa  banyak muridnya sudah tersebar di sana-sini, sibuk dengan diri mereka masing-masing. Di antara mereka juga ada yang pergi entah kemana dan tidak kembali sampai saat ini.
Tapi, ada yang membuatku heran. Pak Claud yang melihat murid didiknya tersebar dan hilang hanya senyum dengan mata yang menyipit. Entah kenapa aku merasa Pak Claud akan melakukan sesuatu.
            “Kak, apa kelasmu selalu seperti ini?” tanya Ami tiba-tiba.
Aku mengangguk mengiyakannya. Lalu, Ami pun bertanya kembali, “Lalu siapa laki-laki itu, kak? Dari awal pelajaran ia selalu menatap kita. Rasanya, aku ingin sekali menghajar tepat di kedua matanya.”
Aku melirik ke orang yang Ami maksud, “Emmm, kenapa kau tidak tanya saja kepadanya?” kataku menghindari pertanyaan Ami sambil tersenyum.
Mendengar hal itu, Ami pun diam dan balik menatap tajam ke arah Dellion. Mereka saling beradu tatap. Aku jadi bingung harus tertawa atau merasa ngeri. Aku pun berpikir apa sebaiknya ku tanyakan saja sebab ia selalu  menatapku. Kalau diingat lagi, aku pertama kali bertemu dengannya saat pembagian kelas. Ya, saat itu aku menabraknya.Apa dia masih marah padaku?
Di asrama, Ami terus-terusan menggerutu tidak jelas. Sepertinya dia masih tidak menerima apa yang dilakukan Dellion. Di kasurnya ia meremas bantal dengan kuat.  Ia bahkan juga menatapku hingga petang seakan ingin tahu siapa orang yang menatap kami sebelummnya. Padahal aku sendiri juga tidak yakin mengapa Dellion selalu menatapku seperti itu.
Langit sudah berubah jingga, dari tadi Ami tidak merubah posisinya dan terus menatapku. Karena lelah dengan semua tatapan itu, aku akhirnya menceritakannya. Karena aku mengakatakan kepada Ami bahwa aku masih tidak yakin dengan hipotesaku, wajahnya mengerut.
“Lalu tanyakan!” perintah Ami.
Itulah yang dikatakan Ami sebelum ia tertidur. Meski begitu, ia masih memasang wajah cemberut. Aku sampai hampir tertawa dibuatnya. Bisa-bisanya dia tidur, padahal matahari saja belum terbenam.
            Aku merapikan posisi tidur Ami, ia tidur dengan bentuk yang tidak karuan. Kemudian, aku duduk di kursi belajarku mempelajari lagi materi yang sudah diajarkan Pak Claud tadi siang. Namun, entah mengapa aku masih terganggu dengan perkataan Ami.
            “Apa aku besok aku harus menannyakannya?”, gumamku sambil merapikan rambut yang menjuntai ke depan.
____________________________________......____________________________________
            Bulan sudah meninggi, bintang-bintang menghilang ditelan awan, suara guntur terdengar jelas di telinga. Sinar bulan perlahan meredup, hanya kilatan halilintar yang menyilaukan mata. Kututup lembar buku yang kubaca di meja belajar. Menatap ke arah jendela dan pintu yang terbuka lebar.
            “Malam yang sama,” ucapku dalam hati.
Keadaan langit malam ini sama seperti yang terjadi pada 6 tahun yang lalu. Malam dimana aku kehilangan saudara laki-lakiku. Ingatan samar menunjukan dirinya yang dibawa pergi oleh seorang pria bertopeng.
“Kuharap dia selamat,” gumamku.
Pip…pip…
Bunyi jam mejaku yang menyadarkan lamunanku. Angka 22.00 muncul di layarnya. Aku bangkit dari dudukku. Tidak sampai lima detik aku berdiri, hujan turun disertai halilintar yang sejak tadi menghantarkan listriknya. Untuk mencegah air masuk, aku menutup jendela dan pintu beranda. Namun, saat  hendak menutup pintu, aku mendengar gemerisik ranting bergesekan.
Pohon di depan berandaku bergoyang naik turun, tanpa terlihat siapa yang menggoyangkannya. Tiba-tiba halilintar menyabar keras hingga menimbulkan cahaya yang sangat terang. Sekilas muncul sesosok bayangan tidak jelas melompat ke arahku. Sontak aku berjalan mundur dan tersandung kakiku sendiri. Kepalaku membentur lantai keramik cukup keras. Pandanganku mulai samar, sebelum kesadaranku hilang terlihat dua mata kuning berjalan mendekatiku dengan cakar runcingnya yang mengkilat.
Keesokan harinya, Ami membangunkanku karena tertidur di depan pintu yang terbuka lebar. Aku pun mulai bangun dengan memegangi belakang kepalaku yang terasa sakit. Ketika duduk dan berbalik, aku sangat terkejut. Di lantai tempat kepalaku terbentur, terlihat bercak darah yang cukup banyak. Kuraba-raba kepalaku, namun tidak ada satu pun luka.
Sebelum Ami melihat, aku segera menghapus bercak darah itu dengan lengan bajuku. Tanpa diketahui Ami, aku berjalan dengan santai menuju kamar mandi  seakan tidak terjadi apa-apa. Aku menoleh sedikit untuk melihat lantai  di dekat pintu beranda yang terbuka. Aneh, itulah yang terpikir olehku. Karena lantai itu terlihat sangat kering, padahal teras di beranda terlihat basah bahkan jendelanya juga. Kalau jendela sampai basah, harusnya ada air yang masuk kedalam. Terlebih beranda kamarku ini hanya memiliki atap kecil di atasnya.
Di dalam kamar mandi, aku segera mencuci bajuku yang tadi kubuat untuk membersihkan bercak darah. Aku harus segera menghilangkannya sebelum Ami tahu, karena ia pasti akan bertanya tanpa henti dengan emosi yang meledak-ledak. Yah, Begitulah dia.
Setelah mandi dan bersiap, kami berdua pergi menuju kelas. Karena masih lima belas menit sebelum bel masuk, hanya ada kami berdua dan Dellion yang tertidur di mejanya. Aku meletakan tasku di atas meja, menunggu teman lainnya datang. Mereka satu persatu masuk dan duduk di bangku mereka.
Aku penasaran tentang siapa sebenarnya bayangan malam itu dan apa yang terjadi saat aku pingsan. Kalau diingat lagi, sosok itu memiliki mata kuning terang seperti milik Dellion. Apa itu dia? Tidak, itu bisa saja hewan mistik atau sesuatu yang lain.
Karena aku tidak memiliki cukup bukti dan keyakinan, aku tidak bisa asal menebak. Karena itu tidak baik. Dari pada berpikir hal yang tidak jelas, aku lebih baik berpikir bagaimana caranya supaya aku bisa bertanya dengan Dellion. Di saat aku larut dalam pikiranku, tiba-tiba rasa kantuk yang hebat datang membuatku tertidur. Tidak lama kemudian aku terbangun, hanya ada dia yang masih duduk sambil menatapku.
Aku pun segera membulatkan tekatku. Aku bangkit dari dudukku dan berjalan mendekatinya. Ia mendongak ke atas melihatku yang berdiri di hadapannya.
“Em…itu… kenapa kamu selalu menatapku? Apa aku memiliki salah padamu?”, tanyaku.
Tanpa berkata apa-apa ia mengerinyitkan dahinya. Ia semakin serius menatapku. Dan aku pun semakin tidak nyaman dengan tatapannya.
“a-apa kau seperti ini karena aku pernah menabrakmu saat itu?”, tanyaku lagi.
Dari wajahnya, ia seperti sedang menahan tawa. Aku terkejut melihatnya karena sudah bingung mau ngomong apa lagi. Aku pun segera beranjak pergi karena merasa tidak enak.
            Aku membuka pintu kelas dan keluar, namun sekilas aku melihatnya menyeringgai dan mengatakan sesuatu.
            “…..menarik….”, itulah kata yang ku dengar samar.
            Langkahku terhenti, namun laki-laki itu beranjak pergi melewati tembok yang dilubangi Pak Hornfels dengan alresnya. Tiba-tiba lenganku digenggam dan ditarik seseorang yang tidak lain adalah Ami.
            “Kak, ayo! Gurunya sudah datang menunggu.”, ucapnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar