Pertemuan
“Rin!!!”
teriak seorang anak lelaki yang dibawa terbang menjauh oleh seorang pria
misterius bertopeng.
“Sadarlah
atau kau hanya akan dimakan kekuatanmu sendiri, Rina!” ucap bayangan seorang
pria bertubuh tegap di balik kobaran api.
“Dasar bodoh!”
hujat seorang pemuda yang kemudian berubah wujudnya menjadi wanita serba
hitam.
“Kak
Rin! Kak Rin!”, panggil seorang anak kecil yang menangis di depan sebuah mayat
perempuan. Sebenarnya apa yang terjadi?
“Kak Rin!!!! Bangun!
Kakak mau terlambat apa di hari pertama masuk Akademi menengah?”omel seseorang
yang tak lain adalah adikku Ami.
Hah? Bangun?
Aku
terbangun karena kaget dengan mimpiku sendiri. Lamunanku terhenti ketika Ami
menyodorkan jam waker ke depan wajahku. Jarum jam sudah menunjukan pukul 06.30 yang artinya limabelas
menit sebelum gerbang sekolah tertutup. Yap, itulah peraturan tertulis di buku
panduan murid sekolahku. Yah, memang tertulis banyak aturannya, tapi aku harus menaatinya semenjak bersekolah di
Akademi Menengah Stix sebagai seorang Stratus.
Aku bergegas, mengambil tas dan barang lainnya
sampai-sampai mengabaikan sarapan. Bahkan aku sempat tersandung perabot rumah
beberapa kali. Ayahku hanya menatapku sambil bersandar di dekat pintu kamarnya.
Karena waktu sudah makin telat, ayah akhirnya mengantarku ke akademi.
Beruntung
aku sampai di akademi tepat setelah aku masuk pintu gerbang utama akademi
ditutup di belakangku. Tak lama kemudian, gerbang yang besar itu dijaga oleh
dua makhluk mistik batu bersayap kelelawar yang disebut gargoyl. Aku sungguh
merasa lega karena aku nyaris saja terjebak di luar sekolah dan memberi kesan
buruk di hari pertamaku, bahkan karena saking bersyukurnya aku sampai-sampai
air mata kebahagiaan keluar dari mataku.
Aku
melihat kesekitar lingkunganku, mataku pun tertarik pada sebuah papan yang
dikerumuni oleh ratusan Stratus, itulah sebutan bagi murid akademi tingkat
menengah. Karena penasaran, aku pun menuju tempat papan itu berada. Setelah aku
lihat lebih dekat, ternyata papan itu adalah daftar pembagian kelas untuk para
murid baru. Di situ
tertulis kalau aku akan belajar di Kelas Mimosa tingkat 1 yang terletak di
pinggir Hutan Nervilia.
Dukk!
Tidak sengaja aku menabrak seseorang. Orang
itu menatapku dengan mata kuningnya yang dingin. Karena ini juga merupakan
salahku, aku meminta maaf pada laki-laki itu dan pergi.
“Bagi murid yang sudah menemukan kelasnya diharap segera
pergi ke kelasnya masing-masing!” ucap suara tak dikenal dari pengeras suara.
Aku
dan murid lainnya bergegas pergi ke kelas,
namun pandanganku terhenti ketika melihat seosok pria yang terasa tidak
asing lagi bagiku. Ya, orang itu adalah teman masa kecilku, Andryan Flos.
Ternyata dia juga bersekolah di tempat yang sama denganku. Dengan gembira aku
pun memanggilnya.
“Rian!Andryan!”
Sejenak
pemuda itu tampak mencari orang yang memanggil namanya. Ketika pandangannya
bertemu dengan pandanganku, pemuda itu pun membalas sapaanku dengan senyumannya
yang indah. Aku berlari kecil kearahnya dan mengobrol dengannya seperti yang
biasanya kami lakukan.
“Rian,
sudah lama sekali. Kamu juga sekolah di akademi ini, ya? Oh iya, bagaimana
kabar Bibi Cecil dan Paman Delmor? Lalu, apa kamu kamu sudah bisa memenuhi
janji kita waktu itu? Dan sepertinya kau terlihat lebih cerah dibanding dulu.
Memangnya apa yang terjadi ketika kau tinggal di tempat mereka? Mengapa kau
tidak pernah mengabariku?” tanyaku beruntut.
Rian
tersenyum kecil melihat tingkahku yang tak sabaran, “Tenang, tenang. Biar aku
jawab satu-satu. Iya, benar aku sekolah di sini, terlebih kita sekelas,”
jawabnya enteng.
“Wah,
benarkah? Keren!” aku sangat senang karena tidak menyangka kalau aku bisa satu
akademi dan sekelas dengan teman masa kecilku ini.
“Ayah, ibuku baik. Dan untuk janji yang kita bicarakan
waktu itu pastinya aku sudah menepatinya. Apalagi selama ini aku berada dalam
bimbingan ibuku yang—kau tahu sendiri—gregetnya minta ampun, heh…heh..”
lanjutnya dengan tawa di wajah yang suram.
“Seperti biasa, di sana mereka…..” ucapanya terpotong.
“Hei, kalian berdua! Bukan kah kalian seharusnya sudah
berada di kelas? Semua anak lain juga sudah pergi ke kelas,” ucap seorang guru
dengan rambut abu-abu keunguan, ia tersenyum ramah pada kami, namun
kata-katanya entah mengapa ada sedikit ancaman.
Kami mengiyakan perintah guru itu dan segera berlari
menuju kelas kami. Sesampainya di sana kami hanya mendapat sisa bangku di
barisan yang paling depan. Terpaksa, kami pun duduk di bangku tersebut.
“Aku tidak menyangka kalau anak pendiam itu bisa seceria
ini.” Batinku.
Di
bangku yang sama denganku, duduk seorang anak. Dia tersenyum menyapaku dengan
ramah. Semenara itu, anak di bangku yang sama dengan Rian, menatap dingin
kearahku, aku pun membalasnya dengan senyum yang kaku.
Tidak lama setelah itu guru pun datang, lalu beliau
berdiri di tengah-tegah kelas dengan wajah pucatnya. Ia bergumam tidak jelas.
Ia terus berjalan mondar-mandir, tidak menghirukan sekitarnya dan bahkan
muridnya sendiri yang sedang kebingungan dengan sikap gurunya yang tidak biasa
ini. Kelas berasak-kusuk heran dengan suara yang kecil karena takut dimarahi.
Di
tengah kebingungan itu, beliau menyandarkan wajahnya ke tembok. Ketika wajahnya
terlihat semakin ketakutan, ia pun bebalik dan menjulurkan tangan kirinya ke
depan, lalu ia berteriak dengan sangat kencang sehingga mengagetkan seluruh
kelas.
“Hornfels,
hancurkan!!!”
Seketika
muncul monster besar bertanduk di hadapan kami berlari menghantam didinding
hingga hancur. Kemudian, makhuk itu berbalik menuju ke arah pemanggilnya dan
menyusut. Ia duduk di bahu kanan Pak Guru yang tidak lain adalah guru yang
kulihat sebelumnya. Ciri-cirinya juga sama seperti yang kulihat tadi rambut
kelabu keunguan, panjang sebahu, dan dikucir ke samping. Walau yang berbeda
hanya kelakuannya saja.
Kami
sekalas hanya terheran-heran melihat kelakuaan gila guru kami menghancurkan kelasnya sendiri dengan
alresnya. Sedangkan Rian, ia memegangi kepalanya sambil agak menunduk di dekat
tembok yang telah dihancurkan itu. Dia telihat sangat terkejut, yah itu jelas,
terlebih ia duduk di bangku paling pojok. Lain lagi dengan teman sebangkunya,
dia duduk tenang sambil menghindari beberapa bongkah yang terlempar.
“Yah,
yah, maaf murid-murid. Bapak terlambat.”
’”…”
“Heeh…?
Kenapa kalian diam, apa kalian terpesona dengan kegantengan bapak?” ucapnya
dengan percaya diri.
Serentak
dalam hati kami berkata, “Tidak!”
“Mungkin
saya agak terlambat, tapi perkenalkan nama bapak, Claudius Hornfels. Kalian
bisa panggil saya Pak Claud atau Pak Claudi. Dan ini Arles milik bapak, namanya
Hornfels. Dia imut kan?”, ucapnya sambil mengusap kepala arles itu dengan
kegirangan.
“
Ah, lalu karena temboknya sudah terbuka mari kita pergi ke Hutan Nervilia untuk
selanjutnya dan seterusnya. Hahaha!!!” ucapnya dengan puas dan bahagia.
Entah
kenapa, aku bingung, bagaimana kami bisa mendapat wali kelas segreget ini?
Bahkan seisi kelas bisa terdiam hanya karena ucapan Pak Hornfels. Aku juga
bingung kenapa orang seperti ini bisa dijadikan guru oleh pihak akademi.
Benar-benar awal pertemuan yang tidak biasa.
Hari
berikutnya, aku berangkat lebih awal dan duduk dengan nyaman di bangkuku. Di
kelas yang masih kosong itu, aku hanya bisa terus melamun sambil memperhatikan
liontin zavela buatan ibuku. Lalu aku aliri liontin itu dengan api biru kecil
yang membuatnya mengeluarkan empat jenis simbol.
“Rai…”
gumamku.
Krieett….
Lamunanku
terhenti akibat suara pintu yang dibuka. Dari pintu masuklah seseorang dengan
wajah dingin dan sorot mata kuning yang tajam. Angin yang berhembus membuat
sebagian rambut hitamnya bergoyang. Menyadari diriku yang memperhatikannya, ia
berjalan melewatiku sembari menatapku dan duduk di kursinya tanpa mengatakan
apa-apa.
Sudah lima belas menit kami berdua saja di kelas. Meski
begitu, tidak ada satu pun kata yang terucap darinya. Dari tadi laki-laki itu
terus melihat ke arahku. Hal ini membuatku tidak nyaman dan bingung. Dengan
mengukuhkan keberanianku, aku berkata kepadanya, “Maaf, apakah ada yang salah
dengan diriku?”
Terlihat
di wajahnya, ia sedikit terkejut. Kemudian, ia menjawabku dengan jawaban yang
menyatakan kalau ia tidak merasa ada yang salah denganku. Setelah itu ia
kembali memalingkan pandangannya dariku.
“Kalau
begitu, mari berkenalan. Namaku Kirina Hazard. Kau bisa memanggilku Rina. Kalau
kamu?” ucapku dengan senyum.
“Dellion
Kris. Terserah kau mau memanggilku apa.”, jawabnya datar tanpa melihat ke
arahku.
Tak selang beberapa lama,
murid-murid lainnya datang dan duduk di bangkunya masing-masing. Kelas yang
tadinya hening berubah menjadi bising dipenuhi celotehan orang-orang.
Namun, kebisingan itu kembali tenang
saat Pak Claud datang dan meminta kami supaya membawa barang bawaan kami ke
Hutan Nervilia. Di hutan, kami mencari tempat duduk yang kiranya nyaman.
Kemudian, Pak Claud menuliskan materi pembelajaran di papan tulis yang ia bawa
tadi.
Di hutan ini, aku merasa sangat
nyaman karena udaranya yang sejuk, pepohonan yang rindang, dan pemandangan
indah. Seperti namanya, di hutan ini ditumbuhi berbagai macam anggrek dengan
jumlah yang sangat banyak di setiap tempatnya. Kupu-kupu dan burung beterbangan
kesana-kemari. Yah, semua ini akan terasa lebih nyaman jika aku bisa
mengabaikan laki-laki yang dari tadi menatapku itu.
Padahal saat ini sedang
pembelajaran, tapi ia tetap saja begitu. Entah kenapa, hal ini membuatku takut.
Sebenarnya apa yang ia lihat dariku sampai sebegitunya?
____________________________________......____________________________________
Pada
hari dimana Kakakku Kirina pertama kali berangkat ke akademi. Aku berdiri di
depan pintu menunggunya yang sedang bersiap-siap, pergi kesana kemari sampai
kesandung beberapa kali. Ketika ia siap, kakakku pun pergi diantar ayahku.
“Selamat
jalan, Kak!”, kataku kepada Kak Kirina yang pergi ke sekolah dengan ceria, tapi
tak lama kemudian memudar menjadi
tatapan tajam ke arahnya.
Kau
tahu? Kakakku adalah orang yang paling kusayang sekaligus kutakuti. Semua
berawal dari malam itu dan untungnya terlupakan olehnya. Seluruh kejadian, juga
peristiwa yang menyangkut dirinya kala itu. Walaupun dia sudah melupakan hampir
seluruhnya, dia masih mengingat bahwa saudara laki-lakinya diculik pria
bertopeng dan saat mama ditemukan tewas di belakangku.
Karena ketakutanku, tak pernah kukatakan sekalipun
rincian kejadian di malam itu. Hanya agar kakak tidak pernah mengingat atau pun
mengulangi kembali kejadian enam tahun yang lalu. Kucegah dan jauhkan hal yang
dapat menjadi pemicu ingatannya. Karena aku tidak mau kehilangannya, kakakku
yang saat ini.
Di umurku yang kesepuluh ini aku duduk di akademi tingkat dasar sebagai
seorang cirrus, tetapi itu hanya sementara. Karena aku akan segera menyusulnya.
“Tunggu
aku, Kak Rin”, gumamku dengan seringai lebar.
____________________________________......____________________________________
Di sekolah, aku
mendatangi kantor kepala sekolah. Kukatakan urusanku ke tempat itu, yang
menyatakan bahwa aku ingin mempercepat kenaikan tingkat sekolah menuju tingkat
menegah. Awalnya kepala sekolah menolaknya, namun akhirnya ia setujui setelah
kutunjukan kemampuanku yang saat ini sudah melebihi kemampuan rata-rata murid
tingkat menengah awal.
“Nak
Ami, dilihat dari kemampuanmu yang saya lihat, kamu dapat lompat ke jenjang
berikutnya. Namun, sebelum itu kami harus mengurus berkas-berkasnya dulu supaya
tidak ada kesalah pahaman,” ucap kepala sekolah.
“Lalu
kapan kira-kira semua itu selesai, Pak?” tanyaku.
“Ini
memakan waktu hampir empat minggu. Tapi, yang jelas kau dapat pindah ke jenjang
selanjutnya bulan depan,” jawabnya.
“Terimakasih,
Pak,” ucapku.
Hal
yang kulakukan hari ini masih kurahasiakan dari orang-orang dan juga
keluargaku. Aku yakin ayah akan marah, tapi semua ini hanya untuk kakakku.
Kuharap ayah mengerti.
Dua hari sebelum kepindahan, ayahku menyadari hal ini. Ia
marah besar, aku meminta maaf kepadanya. Ia menginginkan aku agar tetap di
akademi tingkat dasar, namun aku menolaknya dengan alasan bahwa aku sudah
menguasai semua materi yang ada. Bahkan sudah melebihi syarat rata-rata masuk
ke tingkat selanjutnya.
Berkat
semua alasan yang kukeluarkan, akhirnya ayahku menyerah dan mengijikanku dengan
syarat aku harus mau didaftarkan di tempat kakak supaya ia dapat megetahui
kabarku. Tanpa basa-basi lagi aku menyetujui persyaratan yang memang menjadi
tujuan awalku itu.
Malamnya aku berkemas untuk kepindahan. Aku sangat senang
karena aku akan segera bertemu kakakku lagi. Aku akan mengejutkannya besok.
Hihihi….
____________________________________......____________________________________
Hampir satu bulan aku bersekolah di Akademi menengah Stix
yang dipenuhi dengan kebahagiaan, kegilaan, dan tatapan dingin misterius dari
Dellion. Ku harap selanjutnya akan terus berjalan lancar.
Hari ini, di Hutan Nervilia, Pak Claud memberitahukan
sebuah pengumuman yang menyatakan bahwa akan ada murid baru yang bergabung
minggu depan dan semua murid diwajibkan untuk tinggal di asrama sekolah.
Sehingga selama tujuh hari kedepan kami diliburkan untuk persiapan pindahan.
Kami diharuskan pindah karena untuk kedepannya pembelajaran kami dipenuhi
dengan praktek dan studi lingkungan.
Setelah itu, Pak Hornfels memberi kami sebuah kartu nomor
asrama dan memperbolehkan kami pulang cepat.
“Kalian
boleh pulang sekarang, untuk bersiap dan melakukan salam perpisahan kepada
keluarga hari ini,” ucapnya.
Kami
serentak berteriak dan bertanya mengapa Pak Hornfels berkata seperti itu.
Jawabannya pun sungguh tak disangka.
“Karena
bapak lupa memberi tahu kalian minggu kemarin. Hehe,” ucapnya enteng dengan
tawa kecil khasnya.
“Apa
ini?! Ga bisa gini, Pak!!” protes seorang murid.
“Wah,
jangan bercanda dong, Pak!”, teriak seorang murid
“Jadi,
seminggu ini sekolah sepi itu karena itu? Wah, paknya ini. Berikan libur kami
pak! Itu hak kami!”,
“Iya
itu, ga bisa gitu dong pak!”
Serentak
kelas pun menjadi heboh menyalahkan Pak Claud. Tapi, karena besok kami
diharuskan tinggal di asrama, aku harus segera memberitahu ayah dan berberes.
Aku, beberapa murid lainnya termasuk Rian, dan teman sebangkunya beranjak pergi
dan pulang.
Sesampainya di rumah, aku langsung menuju kamar yang
ternyata sudah kosong melompong. Aku memangil ayah dengan wajah polos dan
panik.
"Ayah!
Ayah! Rumah kita dirampok! Kamarku kosong!"
“Ah,
tidak. Barang-barangmu sudah ayah kirim ke asramamu tadi,” jawab ayah.
“Jadi,
begitu,” ucapku melongo karena sudah salah sangka.
“Tapi,
bagaimana ayah tahu dimana nomor asramaku?” lanjutku.
“Yah,
itu…ayah tahu dari kenalan ayah yang mengajar di sekolahmu,” ucapnya.
“Huft,
bagaimana bisa orang itu lupa memberi tahu muridnya sendiri,” gumam ayah yang
menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Hmm??
Apa ayah bilang sesuatu?” tanyaku.
“Tidak,
tidak usah pikirkan. Kalau begitu, mau ayah antar ke asramamu? Ayah juga sudah
punya kuncinya,” kata ayah yang nyengir sambil memutar-mutar kunci kamar
asramaku..
“Aaa!!
Bagaimana ayah bisa mendapatkan itu?! Ayah seharusnya tidak sembarang masuk ke
kamar cewek!” omelku sambil berusaha mengambil kunci itu dari tangan ayahku.
“Hahaha,
masa ayah tidak boleh masuk ke kamar anaknya sendiri. Sudah, sudah, ayo ayah
antar,” ajak ayah yang membuka pintu dan tersenyum menatap cerah ke arahku.
____________________________________......____________________________________
Ketika Kirina dan ayahnya menutup pintu, dibalik
bayang-bayang ruangan muncul sorot mata
kuning di bawah sofa yang mulai bergerak maju dan meninggi membentuk sesosok
bayangan anak kecil. Ia menyeringai puas hingga taring kecilnya yang terlihat
memantulkan cahaya matahari yang masuk.
“Sudah waktunya,” ucap
anak itu. Perlahan tubuhnya melebur menjadi bayangan asap.
____________________________________......____________________________________
Pada pukul 14.00, aku dan ayahku sampai di depan Asrama
Putri Aileen. Seorang perempuan paruh baya menyambut kami di teras depan.
Rambut coklat menggelombang sampai sebahu dikucir tinggi, mata hijau emerald
yang teduh dengan eyes shadow coklat menyertai. Entah kenapa wajahnya terasa
tidak asing bagiku.
Ketika aku sudah mulai jauh, aku menoleh ke arahnya. Ia
tersenyum lembut sambil melambaikan tangannya. Aku pun balik meresponnya dengan
melambai pelan. Sesampainya di belokan lorong asrama, tembok menutupi
pengelihatanku dan aku pun tidak melihat sosoknya lagi.
Aku memasuki gedung asrama bersama beberapa anak lainnya.
Aku melewati lorong-lorong kamar asrama sambil mencocokan di pintu kamar dengan
kertas nomor yang kubawa. Walau aku
sudah menyarinya sejak tadi, nomor kamarku tak kunjung kutemukan. Sebalnya,
meski aku datang bersama ayahku, ia tetap diam saja mengikutiku tanpa
memberitahu dimana letak kamarku.Terpaksa aku harus terus mencari di setiap
lorong lantai 1. Karena di sini hanya ada nomor dari satu sampai lima puluh,
aku pun naik ke lantai dua. Setelah mencari cukup lama, aku pun akhirnya
menemukan kamar no. 99.
Ayahku memberi kunci kamar kepadaku. Kunci logam yang berhiaskan batuan warna biru
disertai ukiran singkatan namaku “K.H” dan simbol api. Tidak pikir panjang
lagi, aku langsung memasukannya ke lubang dan memutarnya hingga terdengar suara
kunci yang terbuka.
Bunyi
pintu yang terbuka pelan membuatku merinding. Saat pintu sudah membuka
sepertiganya, muncul sosok anak perempuan yang menyeringai berdiri di sana.
“Se…la…mat….datang….”,
ucapnya dengan nada pelan.
Setelah
pintu terbuka lebar, sosok tersebut tidak lain adalah Ami. Dia cengar-cengir
melihatku yang sembunyi ketakutan di punggung
ayah. Malu rasanya, untung tidak ada yang melihatku.
“Pfft…”
“Oh
tidak, sepertinya ada orang lain di sini,” batinku.
Aku
menoleh kebelakang, ternyata benar ada orang lain disini. Perempuan itu
melambaikan tangannya ke arahku. Namun, saking malunya aku menyembunyikan wajah
merahku dengan menempelkannya ke punggung ayahku. Ayahku pun tertawa melihatku
seperti ini.
Ketika aku sudah lebih tenang, aku pun berbalik menghadap
perempuan tadi.
“Pe-perkenalkan,
namaku Kirina Hazard! Mohon bantuannya!” ucapku kaku.
Perempuan
itu pun tersenyum,“Iya, salam kenal. Aku Ashura Asha. Kau bisa memanggilku
Shura.”
“Ngomong-ngomong,
apa kita pernah bertemu? Di suatu desa mungkin,” lanjutnya.
“Sepertinya
tidak,” jawabku.
“Begitu….”
Setelah perempuan yang bernama Shura itu mengakhiri
perkataannya aku merasakan tatapan tajam dari pintu kamarku. Aku tidak tahu
mengapa saat aku berbalik, aku melihat Ami terlihat sangat marah.
“Ami,
apa ada yang salah?” tanyaku.
Seketika, mimik wajah Ami kembali normal. Ia hanya
tersenyum-senyum tanpa menjawab pertanyaanku, kemudian berjalan ke arah Shura.
“Maaf
atas ketidak sopananku. Perkenalkan, aku adiknya Kirina. Namaku Ami Hazard.
Umurku sepuluh tahun, mulai besok aku mulai bersekolah di akademi ini. Mohon
bantuannya!”
“Wah,
hebat! Diumurmu yang begitu muda, kamu bisa masuk akademi tingkat menengah ini.
Kalau begitu, salam kenal dan berjuanglah,” ucap Shura.
“Ah
sudah jam segini. Daah…” salam Shura yang masuk ke kamar no. 98 tepat di
hadapan kamarku.
“A-ami?!
Kamu sekolah disini?! Bukannya kamu masih berada di tingkat dasar? Dan kenapa
kamu tidak memberihatuku? Ayah juga,” omelku.
“Hahaha,
ayah sengaja tidak bilang karena sepertinya seru. Sudah, sudah, lebih baik
kalian masuk ke kamar kalian. Barang-barang kalian berdua sudah ayah bawa
kesini,” ucap ayah.
____________________________________......____________________________________
“Yap, anak-anak. Seperti yang bapak bilang kemarin, hari
ini kita kedatangan murid baru. Nak Hazard silakan perkenalkan dirimu,” kata
Pak Claud kepada adikku, Ami.
Seperti
yang kuduga, murid lain pasti bingung dengan adikku. Terlebih ia mengatakan
dengan jelas bahwa aku adalah kakaknya. Sontak, teman sekelasku menatap ke
arahku dan bertanya-tanya. Sampai-sampai aku kewalahan dibuatnya.
Aku
mengirimkan kode mata melas ke Rian, aku berharap ia membantuku. Tapi ia justru
mengangkat kedua tangannya yang mengartikan bahwa ia tidak tahu haru sberbuat
apa. Sedangkan anak yang bernama Dellion itu masih terus menatapku. Untungya
Pak Claud segera memulai pembelajarannya, sehingga mereka pun berhenti
bertanya.
Seperti biasa, kami melakukan pembelajaran di luar
ruangan atau lebih tepatnya di Hutan Nervilia. Aku dan Ami duduk bersebelahan
memperhatikan penjalasan Pak Claud. Ia
menjelaskan bahwa ada tiga jenis makhluk mistik, yaitu hewan mistik, roh
mistik, dan makhluk roh panggilan atau biasa disebut sebagai Arles.
Ketiganya dibagi menurut tempat dimana mereka tinggal.
Tempat tersebut adalah dunia sebagai tempat tinggal hewan mistik, Perditi untuk
para roh mistik, sedangkan arles dapat tinggal di kedua tempat dengan sebuah
kontrak.
Begitulah
ringkasan yang kudapat dari penjelasan Pak Claud hari ini. Kulihat dia sangat
bersemangat dalam pembelajarannya. Sayang, sepertinya semangat antusiasnya itu
tidak mencapai ke semua anak didiknya. Ia bahkan tidak sadar bahwa banyak muridnya sudah tersebar di sana-sini,
sibuk dengan diri mereka masing-masing. Di antara mereka juga ada yang pergi
entah kemana dan tidak kembali sampai saat ini.
Tapi,
ada yang membuatku heran. Pak Claud yang melihat murid didiknya tersebar dan
hilang hanya senyum dengan mata yang menyipit. Entah kenapa aku merasa Pak
Claud akan melakukan sesuatu.
“Kak, apa kelasmu selalu seperti ini?” tanya Ami
tiba-tiba.
Aku
mengangguk mengiyakannya. Lalu, Ami pun bertanya kembali, “Lalu siapa laki-laki
itu, kak? Dari awal pelajaran ia selalu menatap kita. Rasanya, aku ingin sekali
menghajar tepat di kedua matanya.”
Aku
melirik ke orang yang Ami maksud, “Emmm, kenapa kau tidak tanya saja
kepadanya?” kataku menghindari pertanyaan Ami sambil tersenyum.
Mendengar
hal itu, Ami pun diam dan balik menatap tajam ke arah Dellion. Mereka saling
beradu tatap. Aku jadi bingung harus tertawa atau merasa ngeri. Aku pun
berpikir apa sebaiknya ku tanyakan saja sebab ia selalu menatapku. Kalau diingat lagi, aku pertama
kali bertemu dengannya saat pembagian kelas. Ya, saat itu aku menabraknya.Apa
dia masih marah padaku?
Di
asrama, Ami terus-terusan menggerutu tidak jelas. Sepertinya dia masih tidak
menerima apa yang dilakukan Dellion. Di kasurnya ia meremas bantal dengan
kuat. Ia bahkan juga menatapku hingga
petang seakan ingin tahu siapa orang yang menatap kami sebelummnya. Padahal aku
sendiri juga tidak yakin mengapa Dellion selalu menatapku seperti itu.
Langit
sudah berubah jingga, dari tadi Ami tidak merubah posisinya dan terus
menatapku. Karena lelah dengan semua tatapan itu, aku akhirnya menceritakannya.
Karena aku mengakatakan kepada Ami bahwa aku masih tidak yakin dengan
hipotesaku, wajahnya mengerut.
“Lalu
tanyakan!” perintah Ami.
Itulah
yang dikatakan Ami sebelum ia tertidur. Meski begitu, ia masih memasang wajah
cemberut. Aku sampai hampir tertawa dibuatnya. Bisa-bisanya dia tidur, padahal
matahari saja belum terbenam.
Aku merapikan posisi tidur Ami, ia tidur dengan bentuk
yang tidak karuan. Kemudian, aku duduk di kursi belajarku mempelajari lagi
materi yang sudah diajarkan Pak Claud tadi siang. Namun, entah mengapa aku
masih terganggu dengan perkataan Ami.
“Apa aku besok aku harus menannyakannya?”, gumamku sambil
merapikan rambut yang menjuntai ke depan.
____________________________________......____________________________________
Bulan sudah meninggi, bintang-bintang menghilang ditelan
awan, suara guntur terdengar jelas di telinga. Sinar bulan perlahan meredup,
hanya kilatan halilintar yang menyilaukan mata. Kututup lembar buku yang kubaca
di meja belajar. Menatap ke arah jendela dan pintu yang terbuka lebar.
“Malam yang sama,” ucapku dalam hati.
Keadaan
langit malam ini sama seperti yang terjadi pada 6 tahun yang lalu. Malam dimana
aku kehilangan saudara laki-lakiku. Ingatan samar menunjukan dirinya yang
dibawa pergi oleh seorang pria bertopeng.
“Kuharap
dia selamat,” gumamku.
Pip…pip…
Bunyi
jam mejaku yang menyadarkan lamunanku. Angka 22.00 muncul di layarnya. Aku
bangkit dari dudukku. Tidak sampai lima detik aku berdiri, hujan turun disertai
halilintar yang sejak tadi menghantarkan listriknya. Untuk mencegah air masuk,
aku menutup jendela dan pintu beranda. Namun, saat hendak menutup pintu, aku mendengar gemerisik
ranting bergesekan.
Pohon
di depan berandaku bergoyang naik turun, tanpa terlihat siapa yang
menggoyangkannya. Tiba-tiba halilintar menyabar keras hingga menimbulkan cahaya
yang sangat terang. Sekilas muncul sesosok bayangan tidak jelas melompat ke
arahku. Sontak aku berjalan mundur dan tersandung kakiku sendiri. Kepalaku
membentur lantai keramik cukup keras. Pandanganku mulai samar, sebelum
kesadaranku hilang terlihat dua mata kuning berjalan mendekatiku dengan cakar
runcingnya yang mengkilat.
Keesokan
harinya, Ami membangunkanku karena tertidur di depan pintu yang terbuka lebar.
Aku pun mulai bangun dengan memegangi belakang kepalaku yang terasa sakit.
Ketika duduk dan berbalik, aku sangat terkejut. Di lantai tempat kepalaku
terbentur, terlihat bercak darah yang cukup banyak. Kuraba-raba kepalaku, namun
tidak ada satu pun luka.
Sebelum
Ami melihat, aku segera menghapus bercak darah itu dengan lengan bajuku. Tanpa
diketahui Ami, aku berjalan dengan santai menuju kamar mandi seakan tidak terjadi apa-apa. Aku menoleh
sedikit untuk melihat lantai di dekat
pintu beranda yang terbuka. Aneh, itulah yang terpikir olehku. Karena lantai
itu terlihat sangat kering, padahal teras di beranda terlihat basah bahkan
jendelanya juga. Kalau jendela sampai basah, harusnya ada air yang masuk
kedalam. Terlebih beranda kamarku ini hanya memiliki atap kecil di atasnya.
Di
dalam kamar mandi, aku segera mencuci bajuku yang tadi kubuat untuk
membersihkan bercak darah. Aku harus segera menghilangkannya sebelum Ami tahu,
karena ia pasti akan bertanya tanpa henti dengan emosi yang meledak-ledak. Yah,
Begitulah dia.
Setelah
mandi dan bersiap, kami berdua pergi menuju kelas. Karena masih lima belas
menit sebelum bel masuk, hanya ada kami berdua dan Dellion yang tertidur di
mejanya. Aku meletakan tasku di atas meja, menunggu teman lainnya datang.
Mereka satu persatu masuk dan duduk di bangku mereka.
Aku
penasaran tentang siapa sebenarnya bayangan malam itu dan apa yang terjadi saat
aku pingsan. Kalau diingat lagi, sosok itu memiliki mata kuning terang seperti
milik Dellion. Apa itu dia? Tidak, itu bisa saja hewan mistik atau sesuatu yang
lain.
Karena
aku tidak memiliki cukup bukti dan keyakinan, aku tidak bisa asal menebak.
Karena itu tidak baik. Dari pada berpikir hal yang tidak jelas, aku lebih baik
berpikir bagaimana caranya supaya aku bisa bertanya dengan Dellion. Di saat aku
larut dalam pikiranku, tiba-tiba rasa kantuk yang hebat datang membuatku
tertidur. Tidak lama kemudian aku terbangun, hanya ada dia yang masih duduk
sambil menatapku.
Aku
pun segera membulatkan tekatku. Aku bangkit dari dudukku dan berjalan
mendekatinya. Ia mendongak ke atas melihatku yang berdiri di hadapannya.
“Em…itu…
kenapa kamu selalu menatapku? Apa aku memiliki salah padamu?”, tanyaku.
Tanpa
berkata apa-apa ia mengerinyitkan dahinya. Ia semakin serius menatapku. Dan aku
pun semakin tidak nyaman dengan tatapannya.
“a-apa
kau seperti ini karena aku pernah menabrakmu saat itu?”, tanyaku lagi.
Dari
wajahnya, ia seperti sedang menahan tawa. Aku terkejut melihatnya karena sudah
bingung mau ngomong apa lagi. Aku pun segera beranjak pergi karena merasa tidak
enak.
Aku membuka pintu kelas dan keluar, namun sekilas aku
melihatnya menyeringgai dan mengatakan sesuatu.
“…..menarik….”, itulah kata yang ku dengar samar.
Langkahku terhenti, namun laki-laki itu beranjak pergi
melewati tembok yang dilubangi Pak Hornfels dengan alresnya. Tiba-tiba lenganku
digenggam dan ditarik seseorang yang tidak lain adalah Ami.
“Kak, ayo! Gurunya sudah datang menunggu.”, ucapnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar