Chapter 2
Diriku dan Dirimu
“Matilah!”
ucap seseorang tak dikenal.
Dalam kegelapan itu, aku melarikan diri dari sabit
panjang yang datang. Aku menundukan kepalaku untuk mengindarinya. Hampir saja
sabit itu mengenaiku. Tanpa melihat kebelakang, aku berlari ke sebuah cahaya
terang di depan sana. Saat aku mencapai cahaya putih itu, leherku terasa perih.
Aku pun meraba leher kiriku. Terasa cairan hangat
mengalir. Saat ku lihat, warna merah melumuri telapak tangan kiriku.
"Aaaaaaaa!!!!!!!"
***
Drrreessssss........
Hujan turun tak henti-henti menghitamkan langit fajar.
Angin berhembus kencang menerbangkan dedaunan hijau. Suara pekakan gagak
terdengar keras dari telinga kiri hingga menyadarkan lamunanku. Gagak itu bertengger
di bahuku sambil mengibaskan sayapnya.
“Lion! Turun dari sana! Ketua memanggilmu,"
teriak seorang pemuda seumuranku yang menutupi kepalanya dengan tudung.
"Zen? Baik, aku akan kesana," jawabku.
Aku melompat turun dari dahan pohon ketapang dan beranjak
ke tempat ketua berada. Aku melewati jalan setapak kecil di hutan dan memasuki
sebuah gerbang hitam yang didalamnya terdapat lorong dengan lampu berisi
kunang-kunang api abadi.
Setelah melewati puluhan pintu, akhirnya aku sampai
di tempat ketua. Aku ketuk pintu ruangannya yang bermotif bunga lily. Dari
dalam, dia menyuruhku untuk masuk.
Dalam ruangan itu, seseorang duduk dengan
menyandarkan dagunya di atas meja yang kanan kirinya bertumpukan kertas. Ketika
ia melihatku, ia bangun dan menyambutku dengan uluran tangannya yang seakan
ingin memelukku.
"Oh, Kriss! Datang juga kau akhirnya,"
ucap seorang pria yang matanya tertutup topeng.
"Jangan panggil aku dengan nama itu! Bukankah
sudah kubilang untuk tidak memanggilku dengan nama itu!” kataku dengan marah.
"Wo, wo, wo. Tenang, aku hanya bercanda. kau
tahu? Bercanda," jawab pria itu dengan menegakkan telapak tangannya.
"Jadi, kenapa kau memanggilku?"
"Aku akan memberikanmu sebuah tugas. Tugas
untuk memata-matai sebuah akademi. Dan untuk itu, aku sudah mendaftarkanmu di
sana"
"Nama akademinya?" tanyaku.
Aku terdiam sejenak. Kemudian aku
tersadar, amarahku meluap, “Apa?! Kau bilang kau mendaftarkanku dalam apa?”
“Akademi Styx. Kau hanya perlu mengirimkan
laporannya sebulan sekali. Aku juga sudah menyiapkan seragam dan keperluanmu,
jadi kau tinggal berangkat pagi ini,” ucapnya yang tersenyum licik.
Amarahku meluap-luap, ingin rasanya menghajar muka
orang ini. Tapi aku harus menahannya. Apa boleh buat, bagaimana pun dia adalah seorang
ketua bukan? Mau tidak mau aku harus menuruti perintahnya, “Baiklah.”
Aku segera meninggalkan tempat itu. Aku tidak bisa
berlama-lama lagi di sana. Bisa-bisa aku malah jadi gila, terlebih dengan kepala
dan tubuhku yang terasa panas. Tidak banyak berpikir lagi, aku langsung menuju
ruanganku. Mengambil barang yang sudah disiapkan dan pergi ke akademi Styx.
“Jadi, kau mendapatkan tugas pengintaian di akademi
Styx, ya?” ledek seorang bertudung di depan gerbang.
“Enaknya… Kau tau, Lion? Kau selalu mendapat tugas
di luar. Andai aku juga,” lanjutnya sambil membuka tudungnya.
“Ini tidak seenak yang kau kira, Zen. Jika kau tidak
siap kau akan kalah. Kalah, artinya mati,” ucapku kepada lelaki itu.
“Baik, baik. Aku tau. Jadi, pergilah. Jangan lupa
ceritakan apa yang terjadi disana ketika kau kembali,” ucapnya sambil
membenarkan rambut hitamnya ke atas hingga matanya yang coklat kekuningan
terlihat.
Tanpa berucap lagi, aku segera pergi
bersama gagakku meninggalkan Zen dan tempat itu. Aku menggunakan keahlianku
sebagai mata-mata untuk mencapai ke akademi itu dalam waktu 15 menit. Meski
jarak markas dan akademi itu sekitar lima puluh kilometer, aku sampai lima
menit sebelum bel masuk.
Banyak murid berkerumun di depan sebuah papan pengumuman
pembagian kelas. Tidak perlu mendekat, aku bisa melihat tulisan kecil yang
menyatakan aku masuk Kelas Mimosa. Aku segera beranjak dari tempat ramai ini
menuju kelas. Tapi, baru saja aku berbalik. Seorang anak perempuan menabrakku,
sekilas wajahnya terlihat seperti Zen. Untuk memastikan, aku terus
memperhatikannya, ia pun terlihat gelisah dan meminta maaf padaku. Padahal, ini
bukan salahnya. Yah, tapi siapa peduli.
Tapi, lama-lama aku merasa ada yang aneh dengan anak
itu. Seperti ada sesuatu yang lain darinya. Seakan terdapat kegelapan yang
tidak terkendali, bahkan sampai aku sampai merinding.
Sesaat setelah anak itu pergi, ia seperti sedang
berbincang dengan seseorang di pinggir kerumunan. Aku melewatinya, untuk
memastikan perasaanku tadi. Ketika ia sedang sibuk dengan laki-laki berpakaian
serba hitam, aku masih merasakannya samar.
Ketika kelas masih sepi, aku mencari bangku yang
jarang mendapat perhatian. Ya, tempat itu adalah bangku depan pojok depan meja
guru. Aku meletakan tasku di sana dan membenahkan kerahku dengan melipat dan
agak menaikannya. Tidak lama kemudian murid lainnya datang dan duduk di bangku
pilihan mereka. Lalu ada dua murid masuk dengan berlari. Salah satunya adalah
perempuan yang kulihat tadi, ia duduk di meja sebelah. Sedangkan yang satunya
duduk di sampingku dengan menundukkan kepalanya yang tertutup tudung jaket hitam
gelap.
Kalau tidak salah, anak ini tadi adalah yang yang
bersama perempuan itu. Aku bingung, apa dia tidak kepanasan dengan jaket
bertudung dan pakaian serba panjang itu. Tapi biarlah, itu juga bukan urusanku.
Pandanganku lebih tertuju pada anak perempuan yang datang bersamanya.
Tidak lama kemudian, seorang pria paruh baya masuk
ke kelas dengan gelisah dan mulai memanggil arlesnya supaya menghancurkan
dinding di samping meja guru. Banyak bongkahan yang berterbangan ke arahku dan
orang di sampingku. Aku cukup diam dan menghindari bongkah-bongkah tersebut. Entah
kenapa sesaat, suatu perasaan terhadap perempuan itu, yang kurasakan di tempat
pengumuman tadi, tiba-tiba muncul sangat besar. Aku mulai merasa ada yang tidak
beres dengan anak perempuan itu.
Guru itu mulai bicara, tapi aku tidak terlalu
memperhatikannya. Lagi pula, aku tidak terlalu suka dengan guru yang satu ini. Dia
cukup lama berbicara. Dan akhirnya kami pun sekelas pindah ke Hutan Nervilia
yang terletak di belakang kelas. Aku suka ini, karena terasa seperti di rumah.
Pada hari kedua, aku berangkat lebih awal. Ketika
aku hendak membuka pintu kelas, aku merasakan perasaan itu lagi. Sesuatu yang
lain, lebih kuat dari yang kemarin. Tanpa pikir panjang aku langsung membuka
pintu. Namun di dalamnya hanya ada perempuan yang kemarin itu.
Tidak lama kemudian, perasaan itu melemah. Tapi aku
menjadi sangat yakin kalau asal perasaan mengerikan tadi dari perempuan ini. Sebenarnya
siapa anak ini?! Dia berbahaya. Aku harus tetap mengawasinya.
Baru lima belas menit aku memperhatikannya, anak itu
mendekatiku. Dia terlihat agak gugup.
“Maaf,
apakah ada yang salah dengan diriku?” ucapnya.
Perlahan
perasaan mengerikan dari perempuan ini menghilang. Hal ini membuatku agak
terkejut. Apa perasaanku tadi itu salah? Tapi, aku juga merasakannya kemarin. Untuk
amannya aku lebih baik terus mengawasinya.
Kemudian
aku memalingkan muka dan menjawab pertanyaannya, “Ini bukan urusanmu.”
“Kalau
begitu, mari berkenalan. Namaku Kirina Hazard. Kau bisa memanggilku Rina. Kalau
kamu?” ucapnya.
“Dellion
Kris. Terserah kau mau memanggilku apa,” jawabku datar tanpa melihat ke
arahnya.
Perempuan itu kembali ke tempat duduknya ketika
murid lainnya satu-persatu berdatangan. Dari perempuan itu, sudah tidak terasa
lagi aura itu.
Namun, aku tidak menyangka akan bertemu dengan keluarga
Hazard yang terkenal itu karena umumnya mereka jarang keluar dari kediaman atau
perusahaan mereka. Juga, apa mereka tidak curiga dengan anak ini? Setahuku,
orang-orang Hazard itu memiliki kepekaan yang sangat tinggi dengan suatu hawa
keberadaan.
Ketika aku sedang berpikir, guru gila itu datang dan
murid-murid mulai pergi menuju ke Hutan Nervilia. Saat aku memperhatikannya
anak yang bernama Kirina Hazard, masih tidak ada tanda-tanda munculnya perasaan
itu lagi.
Karena penasaran, aku tidak pernah melepaskan
pandanganku padanya setiap di sekolah. Bahkan hampir sebulan aku
memperhatikannya, tidak ada tanda-tanda kemunculan aura itu . hanya saja, terkadang
muncul dalam skala yang sangat lemah.
Hari
ini, guru gila itu memberitahukan bahwa akan ada murid baru besok. Lalu ia
memberiku kartu yang bertuliskan Asrama Putra Varun dengan angka enam puluh
Sembilan di bawahnya. Sedangkan anak yang ada di sampingku, yang mendapatkan
baju serba hitam, mendapatkan nomor tujuh puluh.
“Kalian
boleh pulang sekarang, untuk bersiap dan melakukan salam perpisahan kepada
keluarga. Hari ini,” ucap guru itu.
Sekelas
kecuali aku serentak berteriak dan bertanya mengapa dia berkata seperti itu.
Jawabannya pun sungguh tak disangka.
“Karena
bapak lupa memberi tahu kalian minggu kemarin. Jadi kalian harus sudah pindah
besok. Bagi yang tidak epat waktu akan ada hukuman. Hehe,” ucapnya enteng
dengan tawa kecil khasnya.
Anak-anak
kelas langsung heboh. Hal ini sangat menggangguku, lebih baik aku langsung
pulang. Lagi pula, tidak ada bedanya tinggal di asrama atau pun markas.
Sesampainya
di markas aku bertemu dengan Zen yang sedang duduk santai di dahan pohon mangga.
Aku menceritakan kepadanya mengenai perempuan bernama Kirina Hazard yang
terkadang mengeluarkan hawa mengerikan.
“Menurutmu,
apa aku harus melaporkan ini pada ketua?”
“Untuk
saat ini, lebih baik jangan dulu. Lagi pula ini baru perasaanmu saja. Belum ada
bukti nyata yang terlihat kan?” ucapnya sambil memakan sebuah manga matang.
“Tapi,
perasaanku belum pernah salah menilai.”
“Jika
kau masih bersikeras untuk melaporkannya. Kau harus mencari bukti nyata atau
pun saksi. Yah, walaupun kau mungkin tidak akan menemukan saksi jika dilihat
dari kepribadianmu,” ucapnya dengan nada mengejek.
Aku
menghela nafas panjang dan berkata, “Baiklah, akan ku terima saranmu itu.”
“Oh
iya, hampir lupa. Mulai besok, kita mungkin akan jarang bertemu. Karena wajib
asrama,” lanjutku.
“Apa?
Asrama? Jangan bercanda. Bagaimana aku akan menghilangkan kebosananku disini?”
keluhnya sambil bersandar lemas pada batang pohon itu.
“Kau
bisa salahkan pihak sekolah dan ketua. Sudah dulu, aku harus segera melapor dan
bersiap pindah. Untuk komunikasi, kau bisa gunakan ularmu untuk mengirim
surat.”
***
Malam
hari, aku siap berangkat menuju asrama. Untungnya, pihak pengelola asrama sudah
menyediakan barang-barang besar seperti meja, kasur, dan almari Sehingga aku
hanya perlu membawa pakaian ganti dan barang seperlunya saja.
Di
depan asrama, ada gapura tinggi yang bertuliskan Akademi Putra Varun. Di sana
berdiri seorang pria berumur sekitar empat puluhan berpakaian biru panjang. Ia
melihatku, dengan matanya yang lebar dan tersenyum ramah.
“Baru
sampai?” tanyanya padaku.
“Ya,”
ucapku datar tanpa melihatnya.
Saat
aku berjalan menuju kamarku di lantai dua,seorang laki-laki bertudung hitam berusaha
membuka pintunya. Ia sedikit menoleh dan mulai panik hingga tudung jaketnya
terjatuh. Ia semakin panik. Saat pintunya mulai terbuka, ia langsung bergegas
masuk dan mengebrak pintunya dengan keras. Anehnya, sesaat sebelum ia menutup
pintu, ada sesuatu yang bergerak-gerak di punggungnya.
Dari
pintu kamarnya terdapat tulisan Andrian Flos yang dibawahnya terukir nomor
tujuh puluh. Kalau ingatanku benar, nomor itu adalah milik orang yang duduk di
sebelahku. Tak kusangka kalau dia orang Flos. Tapi, dia terlihat cukup aneh
untuk orang Flos.
***
Aku
sampai ke dalam kamarku ketika jam menunjukan pukul 02.30. Aku berbaring di
kasur karena lelah dan tertidur dengan barang bawaan yang masih berserkan
dimana-mana.
Keesokan
harinya, di kelas muncul anak baru yang terlihat lebih muda dariku. Tingginya
sekitar seratus empat puluh sentimeter, mata biru langit, rambut coklat muda
lurus panjang di kucir separuh di belakang.
“Hai,
semua! Aku Ami Hazard. Umurku sepuluh tahun. Aku adiknya Kirina Hazard. Mohon
bantuannya!” ucap bocah itu kepada murid kelas degan ceria.
Aku
sangat terkejut dengan umurnya itu. Di umurnya itu, seharusnya dia masih berada
di tingkat dasar dengan gelar sebagai Cirrus. Hebat juga bocah yang bernama Ami
itu. Aku jadi penasaran sebesar apa kemampuannya dan apa cara yang ia gunakan
untuk masuk akademi ini. Yah, bisa saja dia menggunakan konksinya untuk masuk.
Setelah
perkenalannya, bocah itu kemudian duduk di bangku depan nomor tiga dariku. Baru
saja duduk di sana, guru pun menyuruh kami supaya bergegas ke Hutan Nervilia
itu.
Seperti
biasanya, hari ini aku masih mengawasi anak yang bernama Kirina. Masih tidak
ada tanda-kemunculan hawa keberadaan sesuatu itu. Tapi, aku malah merasakan
hawa membunuh dari tatapan bocah itu. Menarik sekali, sudah lama aku tidak
merasakan hawa tersebut. Sepertinya, sekarang aku mendapatkan dua hal menarik
di akademi ini.
“Ami
dan Kirina Hazard ya? Keluarga yang menarik,” batinku.
Tunggu,
rasanya ada hawa mencekam di sekitar sini. Aku melihat sekeliling, namun tidak
ada yang aneh hingga aku melihat ke arah guru gila itu. Dia tersenyum!
Sebenarya
apa yang sedang dipikirkan guru itu?! Senyumnya itu mengerikan, ia terlihat
seperti binatang yang haus darah. Benar-benar aneh, terlebih dengan poni
sampingnya yang turun menutupi kedua mata kelabunya itu.
Pukul
Sembilan malam, hujan turun deras diiringi dengan suara petir yang menggelegar.
Pada meja belajarku, ada ular putih yang tidur melingkar dengan sebuah tabung terikat
di lehernya. Aku membuka tabung itu dan mendapat sebuah surat hitam
bergaris putih yang tak lain adalah dari
ketua. Isinya mengatakan supaya aku melaporkan apakah ada mahluk aneh yang
berbentuk bayangan manusia tanpa kepala yang muncul di akademi. Dalam surat ini
juga dijelaskan bahwa makhluk itu bisa juga berkepala, bermata, dan berkuku
panjang yang tajam.
Namun
dalam surat itu, ketua tidak menuliskan supaya aku melenyapkan mahkluk itu.
Malah, aku diminta agar tidak mendekati makluk itu dan jangan ikut campur
dengan apa yang dibuatnya.
Setelah
memahami isi surat itu, aku langsung berkeliling Asrama Putra Varun selama
hampir satu jam. Namun tidak ada makhluk aneh yang dijelaskan ketua. Setelah
itu, aku pergi menuju Asrama Putri Aileen. Aku sudah melihat sekelilingnya. Dari
kebun, halaman depan dan samping, bahkan dari jendela-jendela kamar tidak ada
tanda-tanda sesuatu yang disebutkan hingga aku melihat pohon besar yang daunnya
rontok.
Aku
melihat ke atas, dari pintu beranda yang terbuka terlihat seorang perempuan
berambut panjang berdiri. Dari sosoknya terlihat seperti Kirina Hazard. Di
belakangnya terlihat ada sesuatu yang hitam. Karena merasa ada yang tidak
beres, aku pun naik ke pohon besar di halaman depan kamarnya.
***
Keesokan
harinya, pada tanggal bulan kesembilan tembok kelas sudah mulai diperbaiki. Aku
berangkat lebih awal karena aku sudah bergadang sejak tadi malam. Karena rasa
kantuk yang sangat berat, aku akhirnya tertidur di bangkuku.
Terdengar
ada perempuan yang sedang berbicara padaku. Aku pun membuka mata dan bangun
dari tidurku. Aku masih belum bisa meresponnya dengan baik karena belum sadar
sepenuhnya. Setelah kulihat baik-baik, ternyata suara itu dari anak yang
bernama Kirina Hazard. Ia menanyaiku mengenai dirinya yang pernah menabrakku.
Karena wajahnya yang terlihat sangat kaku, bingung dan takut itu terlihat lucu.
Hingga aku hampir saja tertawa, untung aku bisa menahannya.
Perempuan
itu kemudian pergi keluar dengan wajahnya itu. Dari tadi, aku menahan tawaku,
namun bagaimana pun aku menahannya tawaku akhirnya lepas, “khukhukhu… sudah
lama sejak terakhir kali aku tertawa. Benar-benar perempuan yang menarik.
Khukhukhu…”
***
Tanggal
10 bulan ke seembilan terjadi peristiwa tidak biasa. Anak yang bernama Kirina
Hazard tidak hadir dan Guru sialan itu tidak mengajar hari ini. Ia digantikan
oleh seorang wanita tua berambut kemerahan. Ia berdiri di depan kelas dengan gaun
merah marun yang kainnya hampir mencapai lantai. Dari perkenalannya, wanita tua
itu mengaku sebagai seorang guru sejarah yang bernama Singi Saha.
Kelas
hari ini juga di lakukan dalam ruangan karena badai. Dan hari ini, tembok yang berlubang
itu sudah tidak ada. Suasana yang dibuat para murid hari ini juga tidak biasa.
Mereka terlihat lebih suram, apa mungkin itu hanya efek cuaca hari ini ya?
“Karena
saya adalah guru sejarah. Untuk hari ini, mari kita mempelajari mapel itu
saja,” ucapnya dengan nada khas nenek-nenek.
***
Banyak peristiwa bersejarah yang terjadi di Kerajaan
Weissle. Dari Dyon sang Raja Kegelapan, perburuan anak kembar, bahkan hingga pemusnahan
desa.
Pemusnahan desa sudah sering terjadi di berbagai
negeri setiap tahunnya. Namun, pada Kerajaan ini ada dua kejadian yang sangat
terkenal di mata masyarakat. Mereka menamai kedua peristiwa itu dengan
Keruntuhan Heimlich dan Malam Sunyi.
Malam sunyi terjadi pada enam tahun yang lalu,
sedangkan Keruntuhan Heimlich terjadi satu tahun setelahnya. Masih misterius
siapa pelakunya, namun yang pasti. Pada Keruntuhan Heimlich tercatat tidak ada
yang selamat darinya seperti pada penghancuran lainnya. Namun, keanehan terjadi
pada Malam Sunyi. Ada yang selamat dari
peristiwa itu. Akan tetapi, mayat yang ditemukan hanya seorang wanita.
Sedangkan yang lainnya dinyatakan hilang beserta isi desa. Untuk mengenang
peristiwa itu, dibangunlah sebuah tugu peringatan di jalan masuk hutan tempat
desa itu berada.
Dari mulut kemulut, warga desa sekitar hutan itu
mengatakan bahwa pelakunya adalah anak iblis. Ada juga yang mengatakan itu
dilakukan pria bertopeng, namun karena kesaksian itu dinyatakan oleh anak
berumur empat tahun. Warga pun tidak mempedulikannya dan menyebutnya sebagai
pembohong.
Sedangkan pada Kehancuran Heimlich ada orang yang
melihat anak di desa itu. Sayangnya dikarenakan tempat itu dipenuhi kabut,
ketika penyelamat datang untuk mengecek, tidak ditemukan tanda-tanda kehidupan
disana.
Ada juga seorang yang menyebutkan, kalau pernah ada
yang melihat pria berjubah memimpin sebuah pasukan besar hewan mistik. Namun,
ketika pihak kerajaan datang ke rumahnya untuk meminta keterangan lebih lanjut,
orang itu ditemukan sudah tewas dengan leher yang digorok di tempat tidurnya. Begitulah
yang dikatakan Guru tua itu.
“Lalu, bagaimana kau bisa mengetahui semua itu, Bu?”
ucap salah satu murid di kelas.
“Karena saat itu aku ada di sana,” ucapnya sambil
melihat kearahku dan bocah yang bernama Ami.
“Oh! Sudah hampir waktunya pulang, saya sudahi dulu
pelajaran hari ini. Sekian dan terimakasih,” tutupnya sambil berjalan cepat
keluar.
Karena aku masih penasaran dengan ceritanya, aku
berlari keluar mencarinya disusul Ami Hazard di belakangku. Aku menengok
sekitar, namun tidak ada tanda-tanda keberadaannya. Padahal harusnya mudah
untuk menemukan orang tua dengan pakaian merah marun seperti itu. Tapi, tidak
ada satu pun jejak tertinggal di lantai dibasahi oleh butiran hujan di seluruh
tempat.
Terpaksa, aku dan bocah ini pergi ke ruang guru
menanyakan pengajar yang bernama Singi Saha.
“Maaf. Tetapi tidak ada guru pengajar yang yang
memiliki nama itu. Aku belum pernah mendengarnya,” ucap seorang guru pria.
Seorang wanita muda berhak tinggi merah datang
sambil membenarkan rambut ekor kudanya, “Dia benar. Bahkan hari ini harusnya
kelas kalian kosong. Karena Pak Claudi sedang pergi ke suatu tempat. Dan tidak
ada guru yang menggantikannya.”
“Lalu sebenarnya siapa wanita itu?” ucap bocah yang
ikut denganku.
Keduanya hanya menaikan bahunya tanda tidak tahu dan
kembali pada kesibukan mereka sendiri. Kami berdua pun hanya bisa terdiam
dengan cahaya termaram di ruangan itu akibat badai yang masih belum reda sejak
tadi pagi.
Kami terdiam cukup lama. Ketika aku akan pergi, ada
seseorang yang memanggilku.
“Namamu Dellion Kriss kan? Ada sesuatu yang ingin
kutanyakan padamu,” ucap bocah itu dengan tiba-tiba.
“Mungkin ini tiba-tiba, tapi bisakah kau berhenti
menatap kakakku? Matamu itu sangat menganggu,” lanjutnya dengan nada yang
menekan dan wajah serius kearahku.
“Aku sedang tidak ingin bicara saat ini,” balasku
meninggalkan ruangan dan berjalan pelan dalam badai.
Aku pergi menuju toilet pria. Di hadapan cermin aku
melihat wajahku. Mata kuning keemasankuku sedikit bercahaya. Entah bagaimana, perasaanku
tercampur aduk. Rasanya ingin marah, tapi tidak bisa. Aku memejamkan mataku
dengan sangatt erat sampai merasa sakit.
“Siapa juga yang menginginkan mata ini… Ingin
rasanya tertawa, tapi….” ucapku yang kemudian berhenti, dan menatap sendu ke
bawah.
“Kau membencinya ya? Lalu kenapa kau tidak
membiarkanku memilikinya?” ucap bayanganku di cermin.
Matakau terbelalak kaget, aku baru menyadarii kalau
diriku sedang berada di hadapan cermin yang terpasang di tembok. Aku langsung
mundur dua langkah kebelakang.
“Ini bukan urusanmu! Enyahlah kau, Dullahan sialan!”
kataku dengan keras sambil memukul kaca itu hingga pecah bersamaan dengan suara
petir yang sangat keras.
Pecahan kaca yang terkena bercak darah tersebar di
mana-mana. Bahkan sampai ada pecahan yang menggores bola mataku. Darah yang
bercampur air mata tiba-tiba jatuh mengalir kemerahan.
Aku menggengan erat tanganku dan berkata, “ini juga
bukan kemauanku.”
***
Badai masih belum berhenti saat aku kembali ke
arama, sore itu. Aku berjalan di lorong, menuju lantai dua dengan pakaian basah
kuyup dan tangan yang berdarah. Pemilik asrama di lobi, terlihat cemas dengan
keadaanku itu. Namun, dia tidak berbuat apa-apa saat aku melihatnya dengan
tatapan suram yang berdarah-darah.
Jam di kamar menunjukan pukul tiga, aku menuju kamar
mandi untuk membersihkan diriku. Aku mencabut pecahan kaca yang tertancap di
tangan. Sesaat kemudian, luka itu langsung menutup seakan tidak pernah ada luka
di sana. Bahkan dari pantulan air, luka di bola mataku juga sudah menghilang
“Aku benci tempat ini”, gumamku.
***
Aku berlari riang melewati orang-orang desa yang
ditutupi dengan jubah-jubah panjang. Untuk melihat orang-orang itu, aku harus
mendongakkan kepalaku. Mereka berjalan tegap dengan di tubuh melakukan kegiatan
sehari-hari, seperti berdagang. Saat aku mencapai pinggir desa, aku dihadang
seorang wanita muda yang sangat familiar bagiku. Dia memanggilku saat aku
melewatinya, “Lion! Kamu mau kemana?”
“Bermain!”
Seorang pria berbadan tegap datang mendekat dan
membentakku, “Lion!!! Mau kemana kamu?! Cepat kembali!”
Pria itu melanjutkan perkataannya sambil
menuding-nudingkan jeri telunjuknya ke kepalaku, “Mau jadi apa kau kalau
bisanya hanya main! Kauini anak Pimpinan keluarga, seharusnya kau berlatih!”
“Ta-tapi, aku ingin bermain dengan para burung,”
keluhku pada pria itu.
“Tidak ada tapi-tapian! Cepat kembali ke rumah dan
latihlah juga adikmu!”
“Baik….”
Sesampainya di rumah, aku sudah ditunggu seorang anak laki-laki yang lebih kecil dariku. Anak itu berjalan ke arahku, menarik-narik pelan bajuku dengan senyum manisnya dan berkata dengan gaya anak kecil, “Ka On, cini.”
“Baik….”
Sesampainya di rumah, aku sudah ditunggu seorang anak laki-laki yang lebih kecil dariku. Anak itu berjalan ke arahku, menarik-narik pelan bajuku dengan senyum manisnya dan berkata dengan gaya anak kecil, “Ka On, cini.”
Aku menuruti anak itu. Kemudian, ia membawaku ke
sebuah lingkaran mekanisme rumit. Dia memintaku berdiri di tengahnya. Dari
lingkaran muncul gambar simbol aliran biru bercahaya.
Duuuaarrrrr!!!!!
Terdengar suara keributan besar dari desa.
Orang-orang berlarian, ada juga yang menyerang. Aku menarik tangan adikku dan bersembunyi
di balik pintu, adikku mulai ketakutan. Ia menangis tak henti-tentinya, walau
begitu aku menutupi mulutnya agar tidak bersuara sambil memeluknya erat dalam
pangkuanku.
Aku mengawasi keadaan di luar dengan telingaku.
Banyak langkah kaki berat disertai dengan suara orang berlari mendekat. Ada
juga suara pertarungan yang menggunakan logam. Tak lama setelah itu, langkah kaki kecil yang cepat datang dengan
serangan-serangan tidak jauh dari sini. Langkah itu berhenti, terdengar
teriakan wanita yang tidak asing bagiku. Suara itu milik wanita yang aku temui
di pinggir desa tadi.Ia berteriak histeris, “Pergi! Pergi! Jangan! Menjauhlah
dari rumah dan anak-anakku!”
“Tidak! Tidak!!! Lion! Xavi! Lari!”
Dari luar
seseorang menghancurkan pintu tempat kami bersembunyi. Sosok besar bertanduk
muncul di hadapan kami. Di belakangnya, ibuku terbaring di tanah dengan
pinggangnya yang ditancap sebuah besi panjang oleh makhluk jakung kurus. Meski
mulut ibu yang berdarah-darah bergerak, tidak terdengar sedikit pun suara
darinya. Bahkan makhluk jakung itu semakin memperdalam tusukannya.
Adikku yang melihat keadaan ibu, memberontak dariku.
kemudian bangkit dan berlari melepaskan genggamanku. Ia menangis
sejadi-jadinya. Tapi, sosok yang berdiri di hadapan kami itu justru
mengeluarkan dua bilah pedang. Ia mengayunkan pedangnya ke adikku. Tanganku
terulur mencoba meraihnya adikku. Namun aku terlambat, bersamaan dengan
ditebasnya leher adikku, sebuah pedang melayang kearahku. Tiba-tiba semuanya
berubah menjadi gelap. Sendirian dalam kegelapan tak berujung.
“Katakan, apa maumu disini!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar