Minggu, 28 Mei 2017



Chapter 2


Diriku dan Dirimu

“Matilah!” ucap seseorang tak dikenal.
Dalam kegelapan itu, aku melarikan diri dari sabit panjang yang datang. Aku menundukan kepalaku untuk mengindarinya. Hampir saja sabit itu mengenaiku. Tanpa melihat kebelakang, aku berlari ke sebuah cahaya terang di depan sana. Saat aku mencapai cahaya putih itu, leherku terasa perih.
Aku pun meraba leher kiriku. Terasa cairan hangat mengalir. Saat ku lihat, warna merah melumuri telapak tangan kiriku.
"Aaaaaaaa!!!!!!!"
***
Drrreessssss........
Hujan turun tak henti-henti menghitamkan langit fajar. Angin berhembus kencang menerbangkan dedaunan hijau. Suara pekakan gagak terdengar keras dari telinga kiri hingga menyadarkan lamunanku. Gagak itu bertengger di bahuku sambil mengibaskan sayapnya.
“Lion! Turun dari sana! Ketua memanggilmu," teriak seorang pemuda seumuranku yang menutupi kepalanya dengan tudung.
"Zen? Baik, aku akan kesana," jawabku.
Aku melompat turun dari dahan pohon ketapang dan beranjak ke tempat ketua berada. Aku melewati jalan setapak kecil di hutan dan memasuki sebuah gerbang hitam yang didalamnya terdapat lorong dengan lampu berisi kunang-kunang api abadi.
Setelah melewati puluhan pintu, akhirnya aku sampai di tempat ketua. Aku ketuk pintu ruangannya yang bermotif bunga lily. Dari dalam, dia menyuruhku untuk masuk.
Dalam ruangan itu, seseorang duduk dengan menyandarkan dagunya di atas meja yang kanan kirinya bertumpukan kertas. Ketika ia melihatku, ia bangun dan menyambutku dengan uluran tangannya yang seakan ingin memelukku.
"Oh, Kriss! Datang juga kau akhirnya," ucap seorang pria yang matanya tertutup topeng.
"Jangan panggil aku dengan nama itu! Bukankah sudah kubilang untuk tidak memanggilku dengan nama itu!” kataku dengan marah.
"Wo, wo, wo. Tenang, aku hanya bercanda. kau tahu? Bercanda," jawab pria itu dengan menegakkan telapak tangannya.
"Jadi, kenapa kau memanggilku?"
"Aku akan memberikanmu sebuah tugas. Tugas untuk memata-matai sebuah akademi. Dan untuk itu, aku sudah mendaftarkanmu di sana"
"Nama akademinya?" tanyaku.
Aku terdiam sejenak. Kemudian aku tersadar, amarahku meluap, “Apa?! Kau bilang kau mendaftarkanku dalam apa?”
“Akademi Styx. Kau hanya perlu mengirimkan laporannya sebulan sekali. Aku juga sudah menyiapkan seragam dan keperluanmu, jadi kau tinggal berangkat pagi ini,” ucapnya yang tersenyum licik.
Amarahku meluap-luap, ingin rasanya menghajar muka orang ini. Tapi aku harus menahannya. Apa boleh buat, bagaimana pun dia adalah seorang ketua bukan? Mau tidak mau aku harus menuruti perintahnya, “Baiklah.”
Aku segera meninggalkan tempat itu. Aku tidak bisa berlama-lama lagi di sana. Bisa-bisa aku malah jadi gila, terlebih dengan kepala dan tubuhku yang terasa panas. Tidak banyak berpikir lagi, aku langsung menuju ruanganku. Mengambil barang yang sudah disiapkan dan pergi ke akademi Styx.
“Jadi, kau mendapatkan tugas pengintaian di akademi Styx, ya?” ledek seorang bertudung di depan gerbang.
“Enaknya… Kau tau, Lion? Kau selalu mendapat tugas di luar. Andai aku juga,” lanjutnya sambil membuka tudungnya.
“Ini tidak seenak yang kau kira, Zen. Jika kau tidak siap kau akan kalah. Kalah, artinya mati,” ucapku kepada lelaki itu.
“Baik, baik. Aku tau. Jadi, pergilah. Jangan lupa ceritakan apa yang terjadi disana ketika kau kembali,” ucapnya sambil membenarkan rambut hitamnya ke atas hingga matanya yang coklat kekuningan terlihat.
Tanpa berucap lagi, aku segera pergi bersama gagakku meninggalkan Zen dan tempat itu. Aku menggunakan keahlianku sebagai mata-mata untuk mencapai ke akademi itu dalam waktu 15 menit. Meski jarak markas dan akademi itu sekitar lima puluh kilometer, aku sampai lima menit sebelum bel masuk.
Banyak murid berkerumun di depan sebuah papan pengumuman pembagian kelas. Tidak perlu mendekat, aku bisa melihat tulisan kecil yang menyatakan aku masuk Kelas Mimosa. Aku segera beranjak dari tempat ramai ini menuju kelas. Tapi, baru saja aku berbalik. Seorang anak perempuan menabrakku, sekilas wajahnya terlihat seperti Zen. Untuk memastikan, aku terus memperhatikannya, ia pun terlihat gelisah dan meminta maaf padaku. Padahal, ini bukan salahnya. Yah, tapi siapa peduli.
Tapi, lama-lama aku merasa ada yang aneh dengan anak itu. Seperti ada sesuatu yang lain darinya. Seakan terdapat kegelapan yang tidak terkendali, bahkan sampai aku sampai merinding.
Sesaat setelah anak itu pergi, ia seperti sedang berbincang dengan seseorang di pinggir kerumunan. Aku melewatinya, untuk memastikan perasaanku tadi. Ketika ia sedang sibuk dengan laki-laki berpakaian serba hitam, aku masih merasakannya samar.
Ketika kelas masih sepi, aku mencari bangku yang jarang mendapat perhatian. Ya, tempat itu adalah bangku depan pojok depan meja guru. Aku meletakan tasku di sana dan membenahkan kerahku dengan melipat dan agak menaikannya. Tidak lama kemudian murid lainnya datang dan duduk di bangku pilihan mereka. Lalu ada dua murid masuk dengan berlari. Salah satunya adalah perempuan yang kulihat tadi, ia duduk di meja sebelah. Sedangkan yang satunya duduk di sampingku dengan menundukkan kepalanya yang tertutup tudung jaket hitam gelap.
Kalau tidak salah, anak ini tadi adalah yang yang bersama perempuan itu. Aku bingung, apa dia tidak kepanasan dengan jaket bertudung dan pakaian serba panjang itu. Tapi biarlah, itu juga bukan urusanku. Pandanganku lebih tertuju pada anak perempuan yang datang bersamanya.
Tidak lama kemudian, seorang pria paruh baya masuk ke kelas dengan gelisah dan mulai memanggil arlesnya supaya menghancurkan dinding di samping meja guru. Banyak bongkahan yang berterbangan ke arahku dan orang di sampingku. Aku cukup diam dan menghindari bongkah-bongkah tersebut. Entah kenapa sesaat, suatu perasaan terhadap perempuan itu, yang kurasakan di tempat pengumuman tadi, tiba-tiba muncul sangat besar. Aku mulai merasa ada yang tidak beres dengan anak perempuan itu.
Guru itu mulai bicara, tapi aku tidak terlalu memperhatikannya. Lagi pula, aku tidak terlalu suka dengan guru yang satu ini. Dia cukup lama berbicara. Dan akhirnya kami pun sekelas pindah ke Hutan Nervilia yang terletak di belakang kelas. Aku suka ini, karena terasa seperti di rumah.
Pada hari kedua, aku berangkat lebih awal. Ketika aku hendak membuka pintu kelas, aku merasakan perasaan itu lagi. Sesuatu yang lain, lebih kuat dari yang kemarin. Tanpa pikir panjang aku langsung membuka pintu. Namun di dalamnya hanya ada perempuan yang kemarin itu.
Tidak lama kemudian, perasaan itu melemah. Tapi aku menjadi sangat yakin kalau asal perasaan mengerikan tadi dari perempuan ini. Sebenarnya siapa anak ini?! Dia berbahaya. Aku harus tetap mengawasinya.
Baru lima belas menit aku memperhatikannya, anak itu mendekatiku. Dia terlihat agak gugup.
“Maaf, apakah ada yang salah dengan diriku?” ucapnya.
Perlahan perasaan mengerikan dari perempuan ini menghilang. Hal ini membuatku agak terkejut. Apa perasaanku tadi itu salah? Tapi, aku juga merasakannya kemarin. Untuk amannya aku lebih baik terus mengawasinya.
Kemudian aku memalingkan muka dan menjawab pertanyaannya, “Ini bukan urusanmu.”
“Kalau begitu, mari berkenalan. Namaku Kirina Hazard. Kau bisa memanggilku Rina. Kalau kamu?” ucapnya.
“Dellion Kris. Terserah kau mau memanggilku apa,” jawabku datar tanpa melihat ke arahnya.
Perempuan itu kembali ke tempat duduknya ketika murid lainnya satu-persatu berdatangan. Dari perempuan itu, sudah tidak terasa lagi aura itu.
Namun, aku tidak menyangka akan bertemu dengan keluarga Hazard yang terkenal itu karena umumnya mereka jarang keluar dari kediaman atau perusahaan mereka. Juga, apa mereka tidak curiga dengan anak ini? Setahuku, orang-orang Hazard itu memiliki kepekaan yang sangat tinggi dengan suatu hawa keberadaan.
Ketika aku sedang berpikir, guru gila itu datang dan murid-murid mulai pergi menuju ke Hutan Nervilia. Saat aku memperhatikannya anak yang bernama Kirina Hazard, masih tidak ada tanda-tanda munculnya perasaan itu lagi.
Karena penasaran, aku tidak pernah melepaskan pandanganku padanya setiap di sekolah. Bahkan hampir sebulan aku memperhatikannya, tidak ada tanda-tanda kemunculan aura itu . hanya saja, terkadang muncul dalam skala yang sangat lemah.
Hari ini, guru gila itu memberitahukan bahwa akan ada murid baru besok. Lalu ia memberiku kartu yang bertuliskan Asrama Putra Varun dengan angka enam puluh Sembilan di bawahnya. Sedangkan anak yang ada di sampingku, yang mendapatkan baju serba hitam, mendapatkan nomor tujuh puluh.
“Kalian boleh pulang sekarang, untuk bersiap dan melakukan salam perpisahan kepada keluarga. Hari ini,” ucap guru itu.
Sekelas kecuali aku serentak berteriak dan bertanya mengapa dia berkata seperti itu. Jawabannya pun sungguh tak disangka.
“Karena bapak lupa memberi tahu kalian minggu kemarin. Jadi kalian harus sudah pindah besok. Bagi yang tidak epat waktu akan ada hukuman. Hehe,” ucapnya enteng dengan tawa kecil khasnya.
Anak-anak kelas langsung heboh. Hal ini sangat menggangguku, lebih baik aku langsung pulang. Lagi pula, tidak ada bedanya tinggal di asrama atau pun markas.
Sesampainya di markas aku bertemu dengan Zen yang sedang duduk santai di dahan pohon mangga. Aku menceritakan kepadanya mengenai perempuan bernama Kirina Hazard yang terkadang mengeluarkan hawa mengerikan.
“Menurutmu, apa aku harus melaporkan ini pada ketua?”
“Untuk saat ini, lebih baik jangan dulu. Lagi pula ini baru perasaanmu saja. Belum ada bukti nyata yang terlihat kan?” ucapnya sambil memakan sebuah manga matang.
“Tapi, perasaanku belum pernah salah menilai.”
“Jika kau masih bersikeras untuk melaporkannya. Kau harus mencari bukti nyata atau pun saksi. Yah, walaupun kau mungkin tidak akan menemukan saksi jika dilihat dari kepribadianmu,” ucapnya dengan nada mengejek.
Aku menghela nafas panjang dan berkata, “Baiklah, akan ku terima saranmu itu.”
“Oh iya, hampir lupa. Mulai besok, kita mungkin akan jarang bertemu. Karena wajib asrama,” lanjutku.
“Apa? Asrama? Jangan bercanda. Bagaimana aku akan menghilangkan kebosananku disini?” keluhnya sambil bersandar lemas pada batang pohon itu.
“Kau bisa salahkan pihak sekolah dan ketua. Sudah dulu, aku harus segera melapor dan bersiap pindah. Untuk komunikasi, kau bisa gunakan ularmu untuk mengirim surat.”
***
Malam hari, aku siap berangkat menuju asrama. Untungnya, pihak pengelola asrama sudah menyediakan barang-barang besar seperti meja, kasur, dan almari Sehingga aku hanya perlu membawa pakaian ganti dan barang seperlunya saja.
Di depan asrama, ada gapura tinggi yang bertuliskan Akademi Putra Varun. Di sana berdiri seorang pria berumur sekitar empat puluhan berpakaian biru panjang. Ia melihatku, dengan matanya yang lebar dan tersenyum ramah.
“Baru sampai?” tanyanya padaku.
“Ya,” ucapku datar tanpa melihatnya.
Saat aku berjalan menuju kamarku di lantai dua,seorang laki-laki bertudung hitam berusaha membuka pintunya. Ia sedikit menoleh dan mulai panik hingga tudung jaketnya terjatuh. Ia semakin panik. Saat pintunya mulai terbuka, ia langsung bergegas masuk dan mengebrak pintunya dengan keras. Anehnya, sesaat sebelum ia menutup pintu, ada sesuatu yang bergerak-gerak di punggungnya.
Dari pintu kamarnya terdapat tulisan Andrian Flos yang dibawahnya terukir nomor tujuh puluh. Kalau ingatanku benar, nomor itu adalah milik orang yang duduk di sebelahku. Tak kusangka kalau dia orang Flos. Tapi, dia terlihat cukup aneh untuk orang Flos.
***
Aku sampai ke dalam kamarku ketika jam menunjukan pukul 02.30. Aku berbaring di kasur karena lelah dan tertidur dengan barang bawaan yang masih berserkan dimana-mana.
Keesokan harinya, di kelas muncul anak baru yang terlihat lebih muda dariku. Tingginya sekitar seratus empat puluh sentimeter, mata biru langit, rambut coklat muda lurus panjang di kucir separuh di belakang.
“Hai, semua! Aku Ami Hazard. Umurku sepuluh tahun. Aku adiknya Kirina Hazard. Mohon bantuannya!” ucap bocah itu kepada murid kelas degan ceria.
Aku sangat terkejut dengan umurnya itu. Di umurnya itu, seharusnya dia masih berada di tingkat dasar dengan gelar sebagai Cirrus. Hebat juga bocah yang bernama Ami itu. Aku jadi penasaran sebesar apa kemampuannya dan apa cara yang ia gunakan untuk masuk akademi ini. Yah, bisa saja dia menggunakan konksinya untuk masuk.
Setelah perkenalannya, bocah itu kemudian duduk di bangku depan nomor tiga dariku. Baru saja duduk di sana, guru pun menyuruh kami supaya bergegas ke Hutan Nervilia itu.
Seperti biasanya, hari ini aku masih mengawasi anak yang bernama Kirina. Masih tidak ada tanda-kemunculan hawa keberadaan sesuatu itu. Tapi, aku malah merasakan hawa membunuh dari tatapan bocah itu. Menarik sekali, sudah lama aku tidak merasakan hawa tersebut. Sepertinya, sekarang aku mendapatkan dua hal menarik di akademi ini.
“Ami dan Kirina Hazard ya? Keluarga yang menarik,” batinku.
Tunggu, rasanya ada hawa mencekam di sekitar sini. Aku melihat sekeliling, namun tidak ada yang aneh hingga aku melihat ke arah guru gila itu. Dia tersenyum!
Sebenarya apa yang sedang dipikirkan guru itu?! Senyumnya itu mengerikan, ia terlihat seperti binatang yang haus darah. Benar-benar aneh, terlebih dengan poni sampingnya yang turun menutupi kedua mata kelabunya itu.
Pukul Sembilan malam, hujan turun deras diiringi dengan suara petir yang menggelegar. Pada meja belajarku, ada ular putih yang tidur melingkar dengan sebuah tabung terikat di lehernya. Aku membuka tabung itu dan mendapat sebuah surat hitam bergaris  putih yang tak lain adalah dari ketua. Isinya mengatakan supaya aku melaporkan apakah ada mahluk aneh yang berbentuk bayangan manusia tanpa kepala yang muncul di akademi. Dalam surat ini juga dijelaskan bahwa makhluk itu bisa juga berkepala, bermata, dan berkuku panjang yang tajam.
Namun dalam surat itu, ketua tidak menuliskan supaya aku melenyapkan mahkluk itu. Malah, aku diminta agar tidak mendekati makluk itu dan jangan ikut campur dengan apa yang dibuatnya.
Setelah memahami isi surat itu, aku langsung berkeliling Asrama Putra Varun selama hampir satu jam. Namun tidak ada makhluk aneh yang dijelaskan ketua. Setelah itu, aku pergi menuju Asrama Putri Aileen. Aku sudah melihat sekelilingnya. Dari kebun, halaman depan dan samping, bahkan dari jendela-jendela kamar tidak ada tanda-tanda sesuatu yang disebutkan hingga aku melihat pohon besar yang daunnya rontok.
Aku melihat ke atas, dari pintu beranda yang terbuka terlihat seorang perempuan berambut panjang berdiri. Dari sosoknya terlihat seperti Kirina Hazard. Di belakangnya terlihat ada sesuatu yang hitam. Karena merasa ada yang tidak beres, aku pun naik ke pohon besar di halaman depan kamarnya.
***
Keesokan harinya, pada tanggal bulan kesembilan tembok kelas sudah mulai diperbaiki. Aku berangkat lebih awal karena aku sudah bergadang sejak tadi malam. Karena rasa kantuk yang sangat berat, aku akhirnya tertidur di bangkuku.
Terdengar ada perempuan yang sedang berbicara padaku. Aku pun membuka mata dan bangun dari tidurku. Aku masih belum bisa meresponnya dengan baik karena belum sadar sepenuhnya. Setelah kulihat baik-baik, ternyata suara itu dari anak yang bernama Kirina Hazard. Ia menanyaiku mengenai dirinya yang pernah menabrakku. Karena wajahnya yang terlihat sangat kaku, bingung dan takut itu terlihat lucu. Hingga aku hampir saja tertawa, untung aku bisa menahannya.
Perempuan itu kemudian pergi keluar dengan wajahnya itu. Dari tadi, aku menahan tawaku, namun bagaimana pun aku menahannya tawaku akhirnya lepas, “khukhukhu… sudah lama sejak terakhir kali aku tertawa. Benar-benar perempuan yang menarik. Khukhukhu…”
***
Tanggal 10 bulan ke seembilan terjadi peristiwa tidak biasa. Anak yang bernama Kirina Hazard tidak hadir dan Guru sialan itu tidak mengajar hari ini. Ia digantikan oleh seorang wanita tua berambut kemerahan. Ia berdiri di depan kelas dengan gaun merah marun yang kainnya hampir mencapai lantai. Dari perkenalannya, wanita tua itu mengaku sebagai seorang guru sejarah yang bernama Singi Saha.
Kelas hari ini juga di lakukan dalam ruangan karena badai. Dan hari ini, tembok yang berlubang itu sudah tidak ada. Suasana yang dibuat para murid hari ini juga tidak biasa. Mereka terlihat lebih suram, apa mungkin itu hanya efek cuaca hari ini ya?
“Karena saya adalah guru sejarah. Untuk hari ini, mari kita mempelajari mapel itu saja,” ucapnya dengan nada khas nenek-nenek.
***
Banyak peristiwa bersejarah yang terjadi di Kerajaan Weissle. Dari Dyon sang Raja Kegelapan, perburuan anak kembar, bahkan hingga pemusnahan desa.
Pemusnahan desa sudah sering terjadi di berbagai negeri setiap tahunnya. Namun, pada Kerajaan ini ada dua kejadian yang sangat terkenal di mata masyarakat. Mereka menamai kedua peristiwa itu dengan Keruntuhan Heimlich dan Malam Sunyi.
Malam sunyi terjadi pada enam tahun yang lalu, sedangkan Keruntuhan Heimlich terjadi satu tahun setelahnya. Masih misterius siapa pelakunya, namun yang pasti. Pada Keruntuhan Heimlich tercatat tidak ada yang selamat darinya seperti pada penghancuran lainnya. Namun, keanehan terjadi pada Malam Sunyi.  Ada yang selamat dari peristiwa itu. Akan tetapi, mayat yang ditemukan hanya seorang wanita. Sedangkan yang lainnya dinyatakan hilang beserta isi desa. Untuk mengenang peristiwa itu, dibangunlah sebuah tugu peringatan di jalan masuk hutan tempat desa itu berada.
Dari mulut kemulut, warga desa sekitar hutan itu mengatakan bahwa pelakunya adalah anak iblis. Ada juga yang mengatakan itu dilakukan pria bertopeng, namun karena kesaksian itu dinyatakan oleh anak berumur empat tahun. Warga pun tidak mempedulikannya dan menyebutnya sebagai pembohong.
Sedangkan pada Kehancuran Heimlich ada orang yang melihat anak di desa itu. Sayangnya dikarenakan tempat itu dipenuhi kabut, ketika penyelamat datang untuk mengecek, tidak ditemukan tanda-tanda kehidupan disana.
Ada juga seorang yang menyebutkan, kalau pernah ada yang melihat pria berjubah memimpin sebuah pasukan besar hewan mistik. Namun, ketika pihak kerajaan datang ke rumahnya untuk meminta keterangan lebih lanjut, orang itu ditemukan sudah tewas dengan leher yang digorok di tempat tidurnya. Begitulah yang dikatakan Guru tua itu.
“Lalu, bagaimana kau bisa mengetahui semua itu, Bu?” ucap salah satu murid di kelas.
“Karena saat itu aku ada di sana,” ucapnya sambil melihat kearahku dan bocah yang bernama Ami.
“Oh! Sudah hampir waktunya pulang, saya sudahi dulu pelajaran hari ini. Sekian dan terimakasih,” tutupnya sambil berjalan cepat keluar.
Karena aku masih penasaran dengan ceritanya, aku berlari keluar mencarinya disusul Ami Hazard di belakangku. Aku menengok sekitar, namun tidak ada tanda-tanda keberadaannya. Padahal harusnya mudah untuk menemukan orang tua dengan pakaian merah marun seperti itu. Tapi, tidak ada satu pun jejak tertinggal di lantai dibasahi oleh butiran hujan di seluruh tempat.
Terpaksa, aku dan bocah ini pergi ke ruang guru menanyakan pengajar yang bernama Singi Saha.
“Maaf. Tetapi tidak ada guru pengajar yang yang memiliki nama itu. Aku belum pernah mendengarnya,” ucap seorang guru pria.
Seorang wanita muda berhak tinggi merah datang sambil membenarkan rambut ekor kudanya, “Dia benar. Bahkan hari ini harusnya kelas kalian kosong. Karena Pak Claudi sedang pergi ke suatu tempat. Dan tidak ada guru yang menggantikannya.”
“Lalu sebenarnya siapa wanita itu?” ucap bocah yang ikut denganku.
Keduanya hanya menaikan bahunya tanda tidak tahu dan kembali pada kesibukan mereka sendiri. Kami berdua pun hanya bisa terdiam dengan cahaya termaram di ruangan itu akibat badai yang masih belum reda sejak tadi pagi.
Kami terdiam cukup lama. Ketika aku akan pergi, ada seseorang yang memanggilku.
“Namamu Dellion Kriss kan? Ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu,” ucap bocah itu dengan tiba-tiba.
“Mungkin ini tiba-tiba, tapi bisakah kau berhenti menatap kakakku? Matamu itu sangat menganggu,” lanjutnya dengan nada yang menekan dan wajah serius kearahku.
“Aku sedang tidak ingin bicara saat ini,” balasku meninggalkan ruangan dan berjalan pelan dalam badai.
Aku pergi menuju toilet pria. Di hadapan cermin aku melihat wajahku. Mata kuning keemasankuku sedikit bercahaya. Entah bagaimana, perasaanku tercampur aduk. Rasanya ingin marah, tapi tidak bisa. Aku memejamkan mataku dengan sangatt erat sampai merasa sakit.
“Siapa juga yang menginginkan mata ini… Ingin rasanya tertawa, tapi….” ucapku yang kemudian berhenti, dan menatap sendu ke bawah.
“Kau membencinya ya? Lalu kenapa kau tidak membiarkanku memilikinya?” ucap bayanganku di cermin.
Matakau terbelalak kaget, aku baru menyadarii kalau diriku sedang berada di hadapan cermin yang terpasang di tembok. Aku langsung mundur dua langkah kebelakang.
“Ini bukan urusanmu! Enyahlah kau, Dullahan sialan!” kataku dengan keras sambil memukul kaca itu hingga pecah bersamaan dengan suara petir yang sangat keras.
Pecahan kaca yang terkena bercak darah tersebar di mana-mana. Bahkan sampai ada pecahan yang menggores bola mataku. Darah yang bercampur air mata tiba-tiba jatuh mengalir kemerahan.
Aku menggengan erat tanganku dan berkata, “ini juga bukan kemauanku.”
***
Badai masih belum berhenti saat aku kembali ke arama, sore itu. Aku berjalan di lorong, menuju lantai dua dengan pakaian basah kuyup dan tangan yang berdarah. Pemilik asrama di lobi, terlihat cemas dengan keadaanku itu. Namun, dia tidak berbuat apa-apa saat aku melihatnya dengan tatapan suram yang berdarah-darah.
Jam di kamar menunjukan pukul tiga, aku menuju kamar mandi untuk membersihkan diriku. Aku mencabut pecahan kaca yang tertancap di tangan. Sesaat kemudian, luka itu langsung menutup seakan tidak pernah ada luka di sana. Bahkan dari pantulan air, luka di bola mataku juga sudah menghilang
“Aku benci tempat ini”, gumamku.
***
Aku berlari riang melewati orang-orang desa yang ditutupi dengan jubah-jubah panjang. Untuk melihat orang-orang itu, aku harus mendongakkan kepalaku. Mereka berjalan tegap dengan di tubuh melakukan kegiatan sehari-hari, seperti berdagang. Saat aku mencapai pinggir desa, aku dihadang seorang wanita muda yang sangat familiar bagiku. Dia memanggilku saat aku melewatinya, “Lion! Kamu mau kemana?”
“Bermain!”
Seorang pria berbadan tegap datang mendekat dan membentakku, “Lion!!! Mau kemana kamu?! Cepat kembali!”
Pria itu melanjutkan perkataannya sambil menuding-nudingkan jeri telunjuknya ke kepalaku, “Mau jadi apa kau kalau bisanya hanya main! Kauini anak Pimpinan keluarga, seharusnya kau berlatih!”
“Ta-tapi, aku ingin bermain dengan para burung,” keluhku pada pria itu.
“Tidak ada tapi-tapian! Cepat kembali ke rumah dan latihlah juga adikmu!”
            “Baik….”
            Sesampainya di rumah, aku sudah ditunggu seorang anak laki-laki yang lebih kecil dariku. Anak itu berjalan ke arahku, menarik-narik pelan bajuku dengan senyum manisnya dan berkata dengan gaya anak kecil, “Ka On, cini.”
Aku menuruti anak itu. Kemudian, ia membawaku ke sebuah lingkaran mekanisme rumit. Dia memintaku berdiri di tengahnya. Dari lingkaran muncul gambar simbol aliran biru bercahaya.
Duuuaarrrrr!!!!!
Terdengar suara keributan besar dari desa. Orang-orang berlarian, ada juga yang menyerang. Aku menarik tangan adikku dan bersembunyi di balik pintu, adikku mulai ketakutan. Ia menangis tak henti-tentinya, walau begitu aku menutupi mulutnya agar tidak bersuara sambil memeluknya erat dalam pangkuanku.
Aku mengawasi keadaan di luar dengan telingaku. Banyak langkah kaki berat disertai dengan suara orang berlari mendekat. Ada juga suara pertarungan yang menggunakan logam. Tak lama setelah itu,  langkah kaki kecil yang cepat datang dengan serangan-serangan tidak jauh dari sini. Langkah itu berhenti, terdengar teriakan wanita yang tidak asing bagiku. Suara itu milik wanita yang aku temui di pinggir desa tadi.Ia berteriak histeris, “Pergi! Pergi! Jangan! Menjauhlah dari rumah dan anak-anakku!”
“Tidak! Tidak!!! Lion! Xavi! Lari!”
 Dari luar seseorang menghancurkan pintu tempat kami bersembunyi. Sosok besar bertanduk muncul di hadapan kami. Di belakangnya, ibuku terbaring di tanah dengan pinggangnya yang ditancap sebuah besi panjang oleh makhluk jakung kurus. Meski mulut ibu yang berdarah-darah bergerak, tidak terdengar sedikit pun suara darinya. Bahkan makhluk jakung itu semakin memperdalam tusukannya.
Adikku yang melihat keadaan ibu, memberontak dariku. kemudian bangkit dan berlari melepaskan genggamanku. Ia menangis sejadi-jadinya. Tapi, sosok yang berdiri di hadapan kami itu justru mengeluarkan dua bilah pedang. Ia mengayunkan pedangnya ke adikku. Tanganku terulur mencoba meraihnya adikku. Namun aku terlambat, bersamaan dengan ditebasnya leher adikku, sebuah pedang melayang kearahku. Tiba-tiba semuanya berubah menjadi gelap. Sendirian dalam kegelapan tak berujung.
“Katakan, apa maumu disini!”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar