Rabu, 28 Juni 2017

Chapter 4


“Masih kurang jelas? Bapak bilang, KELUAR SEKARANG!”

Pak Claud membawa kami menuju Lapangan.Tidak hanya kami, namun kelas senior pertama juga ada di sana. Kelas kami dan mereka dibatasi sebuah garis batu di tanah. Di tengah wilayah kami, terdapat lingkaran logam rumit yang sudah biasa kulihat. Di sekitar lingkaran itu dipenuhi logam lain seperti akar di permukaan yang bahkan sampai menjalar ke bawah kaki kami..

Di lapangan, kami berdiri dibawah pohon yang cukup rindang. Melihat Pak Cloud, berjalan  memutar. Tangannya dilipat ke belakang. Wajahnya yang tadi menunduk pun mulai diangkat. Wajah geram terlihat jelas. Kami menunduk, seakan menyesal. Sedangkan kelas senior, melihat kami dari kejauhan.

“Mereka mendapat Pak Claud ya? Kasihan…”

“Tapi, bukankah pembelajarannya enak?”

“Ssst!!!”

Walau kakak kelas itu hanya bicara pelan, suara mereka masih terdengar jelas. Aku mencoba memberanikan diri dengan mendongak. Aku melihat Pak Claud yang berdiri tegap di depan kami. Kemudian, ia mengeluarkan papan yang di atasnya terdapat kertas yang dijepit.

“Hari ini, kita akan ujian,” ujarnya.

Sekelas teman sekelasku mulai heboh. Mereka mengajukan protes berat terhadap Pak Claud tanpa rasa takut sedikit pun. Bahkan murid yang tadinya diam pun ikut buka mulut. Protes mereka terdengar cukup pedas untuk diucapkan kepada seorang guru.

Pak Claud hanya diam mendengarkan protes mereka. Ketika ada ruang untuk bicara, Pak Claud pun berkata dengan suara tegas, “Yang tidak tuntas,  nanti tidak boleh pulang"

Mereka mendadak bisu, dari wajah mereka terlihat kalau mereka mulai memucat takut. Pak Claud mengabaikan mereka, menuju ke atas lingkaran logam itu.

“Bapak akan mencontohkannya sekali. Perhatikan baik-baik.”

Di atas lingkaran, Pak Claud memejamkan matanya. Perlahan muncul simbol-simbol coklat kehitaman. Lalu, ia menggerakkan tanah, seolah tanah itu sungai yang menggelombang . Tangannya dimajukan kedepan, dari tanah muncul pedang berwarna perak. Pak Claud mengambilnya dan memanggil arlesnya.

“Hornfels!”

Pencontohan Pak Claud membuat kami berdecak kagum.

“Wah hebat!”

“Tahap pertama konsentrasi untuk memunculkan simbol. Kedua, keluarkan elemen. Ketiga, kendalikan elemen sesuka hati kalian. Keempat, buatlah elemen itu menjadi senjata. Kemudian tahap terakhir, keluarkan arles kalian.”

Pak Claud terdiam sejenak sebelum melanjutkan penjelasannya, “Sebenarnya, tahap yg paling sulit adalah tahap keempat. Karena ditahap ini, dibutuhkan konsentrasi yang tinggi dan pengetahuan terhadap kemampuannya sendiri. Jika kalian memperhatikan penjelasan bapak, kalian bisa dengan mudah mengeluarkannya. Namun, jika kalian hanya sedikit mendengar dan tidak mempelajari materi itu lagi, bapak yakin, kalian gagal.”

Pak Claud berjalan mendekati kami dan berkata, “Karena tidak semua orang memiliki arles, untuk tahap kelima ini, bapak tidak mewajibkannya.”

Seseorang mengangkat tangannya dengan ragu,“Pak?”

“Ya?”

“Bagaimana cara kita mengetahui kalau kita memiliki atau tidaknya arles?”

“Pertanyaan bagus. Kalian bisa melihatnya pada tahap pertama. Lihatlah dari simbol yang muncul di dalam ligkaran () ini. Lalu, apakah masih ada yang mau bertanya?”

Pak Claud menunggu jawaban daari muridnya. Namun tidak ada yang bersuara, “Tidak ada yang mau bertanya lagi? Kalau begitu, kita mulai ujiannya. Seperti kata bapak sebelumnya. Yang gagal tidak boleh pulang,” ucap Pak Claud dengan wajah yang mulai terlihat ramah dan dihiasi senyuman.

Pak Claud memanggil satu-persatu muridnya secara acak. Yang pertama Jordan Vincent, namun dia hanya bisa mencapai tahap pertama. Hal ini membuat Pak Claud sangat kecewa, terlebih lima belas dari dua puluh empat muridnya, tidak ada tidak bisa mencapai tahap empat. Bahkan kebanyakan hanya bisa melakukannya hingga tahap kedua.

Murid yang gagal hanya terdiam menyesali kemampuannya, begitu juga murid yang belum dipanggil pun diam karena gugup. Namun, semuanya berubah ketika seseorang pria berjubah lab putih berteriak dari lantai dua sambil melambaikan tangan kirinya.

“Kirina!!!!!!!!!! Ami!!!!!!!!!!! Bersemangatlah! Kalian berdua pasti bisa! A-----” ucapannya terhenti ketika tatapan seluruh murid di lapangan tertuju kearahnya dengan terkejut sekaligus heran dengan ucapannya.

“Berjuanglah!!!!!!”lanjutnya.

Ami membalikan badannya, tak menanggapi teriakan pria itu sambil menutupi sebelah mukanya dengan tangan. Dari sikapnya itu ia seolah tidak mengenal pria tersebut. Tapi tetap saja, tatapan curiga yang lain sudah tertuju padanya.

Mereka pun juga menatap kearahku sambil mengeluarkan kata-kata yang tidak mengenakan, seperti “Lancang sekali! Dia anggap dirinya siapa?? Bagaimana bisa Tuan Mikael terlihat akrab dengan mereka? Terlebih anak kecil itu, sikapnya seolah tidak menghargai perhatian yang diberikan Tuan Mikael. Bisa-bianya dia melakukan itu.”

Aku pun mendekati Ami dan memelukanya hingga ia bisa menutupi wajahnya. Kemudian, aku pun membalas teriakan pria di lantai dua tersebut, "Tuan Mikael. Maaf sekali dan harap dimaklumi adik saya karena ia hanya malu."

Pria yang namanya dikenal sebagai Mikael Hazard itu pun menurunkan tangannya dan menggaruk pelan kepalanya dengan wajah menyesal. Mata biru terangnya terlihat sendu, rambut hitam yang agak panjang pun bergoyang-goyang melewati matanya.

“Tidak apa. Bersemangatlah!” ucapnya lagi dengan senyuman canggung.

Tanpa diduga, guru kami, Pak Claud pun angkat bicara dengan nada yang tegas seolah membentak, "Bapak yg disana, harap diam!!"

"APA?! DASAR KAU BPPPPHHHHHh…!!” ucapan pria itu dihentikan kedua pria berseragam hitam di belakangnya yang sudah dari tadi ikut bersamanya. Mereka tidak lain adalah para bodyguard yang menahan pria itu dengan menyumbat mulut dan menarik pria itu mundur. Sedangkan, pria yang ditahan itu mengangkat satu kaki dan tanganya ke atas seolah protes.

Batinku berkata, “Terimakasih Pak Fii, Pak Lee. Seperti biasa, kalian sangat membantu.”

Aku kemudian menunduk melihat Ami yang ternyata dari tadi menatap sinis ke lantai dua.

“Kurasa hal ini bisa kumaklumi,” gumamku dengan tersenyum kaku.

Setelah keributan itu berakhir, Pak Claud pun melanjutkan ujian, "Mari kita lanjutkan.... Dellion!"

Dellion pun maju ke depan. Dari tadi aku tidak terlalu memperhatikannya, sehingga aku tidak tahu apakah ia menatapku seperti biasa atau tidak. Namun, yang pasti, saat ini, dia sedang menatapku. Yah, ini sanggat mengganggu. Tapi, aku hanya bisa terus memasang senyum kaku ke arahnya.

Dellion berdiri di atas lingkaran. Tidak sampai sedetik, ia sudah bisa memunculkan cahaya simbol yang terbang di atas lingkaran. Air, itulah simbol yang muncul di hadapannya dengan menggelombang kebiruan. Sedangkan disampingnya, terlihat simbol cahaya biru burung.

Ia juga dapat menyelesaikan tahap dua dan tiga. Anehnya, saat ia menuju tahap keempat ia, tidak banyak perubahan pada bentuk kendali elemennya. Air melenkung pagjang pipih mulai terbentuk dari air yang sebeumnya melayang-layang di udara. Namun, kami sangat terkejut ketika ia melancarkan serangan elemennya itu dengan cepat ke  arah pohon tempat kami berada.

SRASSSHHHHH!!!!

BRUK!!

Sebuah cabang bohon berdiameter tiga puluh senti terjatuh dengan potongan rapi di pangkalnya. Untungnya tidak ada yang berada di bawah cbang itu ketika jatuh, jadi tidak ada yang terluka. Namun, yang lebih mengejutkan lagi adalah, batu besar dibelakang cabang itu. Mungkin tidak ada yang berubah dengan batu besar berukuran bola basket di tanah selain garis lurus dari atas hingga tanahnya yang agak basah.

Murid yng lain menyingkir dari tempat kedua benda itu berada, sedangkan Pak Claud justru mendekat dan menarik salah satu pecahan batu yang juga terbelah lurus. Kemudian, Pak Claud menggerakan penanya di atas kertas yang ia bawa di papan.

“Kau bisa memanggilnya?”

“Ya……. Icarus!” panggil Dellion dengan tangan kiri yang diangkat sejajar bahunya di samping.

Dari pergelangan tangannya samar muncul sosok bayangan yang bercahaya biru. Perlahan cahaya itu mulai terbentuk menjadi seekor burung gagak kecil. Ya, hanya burung gagak biasa. Tidak ada yang aneh dengan anak gagak tersebut hingga orang mulai mengoceh tiada hentinya.

“Kukira arlesnya adalah sesuatu yang mengerikan.Ternyata, hanyalah bayi burung,” ejek seseorang lelaki yang bernama () dari kelasku. Aku mengetahui namanya dari saat ia dipanggil pertama kali oleh Pak Claud.

"Kakak!" terdengar suara samar anak laki-laki dengan intonasi cepat.

Murid-murid mulai bingung, "Apakah arles itu berbicara?"

"Itu tidak mungkin," ucap seorang perempuan berambutt biru yang diikat dua.

"Bukankah itu lebihh terdengar seperti suara gagak? Gagak kan suaranya seperti itu? Kak! Kak! Hahahhaha!!!” ejek () dengan tatapan sinis ke arah Dellion.

Tiba-tiba gagak itu terbang dan membesar, hingga memenuhi lebar  lapangan wilayah kami berada. Pekakaknya pun sangat keras, memecahkan kaca jendela di sekitar. Pecahan kaca pun sampai ada yang terlempar ke tengah lapangan. Gagak itu terlihat marah, sikapnya terlihat  hendak menyerang orang yg menghina dirinya dengan paruh raksasa yang ia miliki.

"Kraaaaaak!!!!!!!! Kraaaaaakkk!!"

"Hentikan itu! Abaikan mereka!"

Dellion langsung  pergi menjauh, diikuti juga dengan anak gagak yang sudah mengecil seperti semula. Dan bertengger di bahu dellion seolah bahunya itu adalah ranting kesukaan gagak tersebut.

“Yah… Berikutnya, Kirina,” panggil Pak Claud.

“Baik!” ucapku dengan ceria menuju linngkaran ().

Dengan mudah aku bisa memunculkan simbol api dan bintik kecil berwarna biru. Aku sangat bersyukur karena sejak kecil sudah dilatih ayah mengendalikan elemenku, sehingga akuu dapat melewati tahap kedua dan ketiga. Selanjutnya, pada tahap keempat, aku menepok jidat pelan. Berjalan ke tempat Pak Claud, meminta ijin ke kelas untuk mengambil sebuah barang di tas yang tertinggal.

Untunglah Pak Claud mengijinkan. Aku pun segera berlari menuju kelas dan menarik sebuah pegangan coklat yang agak mencuat di tasku. Setelah itu, aku pun kembali. Dengan sebuah pedang.

***

            Teman-teman sekelasku sepertinya sudah kebingungan dengan sikapku yang tiba-tiba meminta izin kembali kekelas. Namun, mereka lebih terkejut melihatku kembali ke lapangan dengan sebuah pedang dengan panjang lima puluh senti. Sampai-sampai ada yang menganga kaget.

            “Maaf, tapi aku harus melakukannya dengan pedang ini. Karena, elemen api di keluarga Hazard itu sangat jarang. Dan pemilik elemen api di keluarga Hazard itu sangat lemah, sehingga tidak mungkin untuk membuat api yang kuat. Mohon dimaklumi,” jelasku kepada yang teman sekelasku dengan agak menunduk serta memejamkan mata.

“Tidak apa Nak Kirina. Bapak sudah diberitahu oleh orangtuamu. Jadi, lanjutkanlah,”  kata Pak Claud sambil menepuk pundakku pelan.

Setelah itu aku pun membuka mata dan berjalan menuju sebelah kiri lingkaran (). Aku mengaliri pedang itu dengan api biru. Kemudian, mengayunkannya ke batang pohon yang sebelumnya dijatuhkan Dellion. Batang pohon itupun terbelah dua dengan api biru kecil membakar di sekeliling belahan kayu.

“Maaf, Pak. Bukankah, membawa senjata tajam di sekolah itu dilarang?”

“Pedang yang dibawa Nak Kirina itu tumpul. Bahkan untuk memotong secarik kertas saja tidak bisa.”

“Lalu, bukankah kata Kirina, keluarga Hazard yang memiliki elemen api itu lemah? Tapi, kenapa bisa membelah kayu itu?”

“Yah, itu karena pedang itu dibuat khusus untuknya.”

“Siapa orang yang memberinya, Pak?”

“Seseorang yang kukenal baik, Mikael.”

Pak Claud terdiam sejenak sebelum melanjutkan perkataannya, “Nak Kirina, kau bisa memanggilnya?”

“Seperrtinya begitu,” ucapku sambil berkonsentrasi.

“Lucidum!”panggilku dengan tangan kiri, atau lebih tepatnya telunjuk dan jari tengah ke atas.

Dalam sekejap, cahaya biru muncul dan membentuk titik di ujung jari tengah Kirina. 

Saat aku sedang tersenyum-senyum melihat Jordan, tiba-tiba terdengar suaraa samar menyuruhku untuk memanggil nama yang tidak jelas, tapi karen suasana lapangan yang cukup ramai akibat pembicaraan murid-murid pun membuatkuu berpikir, kalau aku mngkin salah dengar.

“Kerja bagus,” puji Pak Claud kepadaku dengan senyumnya yang ramah memecahkan lamunanku.

“Terimakasih Pak Claud!” ucapku dengan senyum dan memejamkan mata senang.

“Cuma serangga ternyata. Huh!” ejek Jordan.

Aku pun mundur bersama arlesku. Karena, sekarang nama Ami dipanggil oleh Pak Claud.

Ia melewati tahap pertama dengan memunculkan simbol batu dan simbol tunas kecil berdaun dua. Pada tahap kedua dan tiga ia lewati dengan membuat boneka batu yang bisa berjalan. Dan pada tahap keempat, ia berdiri tegak dengan wajah datar yang tidak senang. Ia Ami melebarkan kedua tangannya ke samping. Tanah pun mencuatkan pedang dan pemukul. Keduanya terbentuk dari batu. Perasaanku pun mulai tidak enak.

Ami mengambil keduanya dan melemparkan kedua senjata itu kea rahJordan Untungnya senjata itu hanya melewati kedua sisi Jordan. Walau, ada sedikit rambut yang terpotong oleh pedang sebelum tertancap dan menghancurkan batu pembatas lapangan. Ami mengangkat kakinya dan menghentakannya. Aku tahu sebesar apa kekeuatan Ami. Dan serangan yang satu ini sudh terlalu berlebihan.

Aku melompat depan Jordan yang masih berdiri mematung karena kaget. Batu-batuan besar meuncing mencuat dari tanah, namun berhenti di depanku, setelah Ami terkejut melihatku ada di hadapan Jordan.

“Ami, mungkin kau sebal dengan Jordan. Tapi, bukankah ini terlalu berlebihan? Dia bisa terbunuh,” ujarku kepada Ami.

Ami mulai ragu dan menggaruk pipinya dengan telunjuk kiri. Namun ia memenghentikan kakinya lagi ke tanah. Cuatan batuan pun menyusup ketanah yang kembali seperti sedia kala.

Aku pun kembali ke tempatku sebelumnya. Sedangkan Pak Claud mengabaikan kelakuan Ami, kemudian menanyakan pada Ami pertanyaan yang sama denganku. Ami mengangguk pelan.

Ia mengulurkan tangan kanannya sejajar kedepan dan memanggil,“Dryad!”

Dari tanah, keluar pohon kecil. Ami tersenyum simpul.

“B-bisa-bisanya kau menyerangku padahal arlesmu cuma tanaman, hah?! Aku yakin dalam sekali injak, pohon itu akan mati!” ucap Jordan dengan nada tinggi di akhir.

“Hetikan! Kau membuat Nimph itu marah!...... Terlambat,” desah Pak Claud di kejauhan dengan tangan kanan di wajah.

“Sepertinya, Dryad akan berubah wujud. Perhatikan baik-baik, Tuan Vincent. ”

“Jadi, kau menghinaku?”ucap suara tak dikenal.

Pohon kecil yang sebelumnya pun berubah, membesar membentuk seorang wanita. Kemudian, keluarlah wanita cantik bergaun hijau daun dengan hiasan bunga dan tanduk ranting di kepalanya. Ia mengulurkan tangannya ke depan, “Sekali injak, mati? Justru kaulah YANG AKAN MATI!!!!!!”

Akar dan cabang-cabang ranting runcing menjalar ke arah (). Ami hanya diam dengan tangan bersedekap melihat kea rah ().

“Ami, HENTIKAN!” teriakku pada Ami yan sudah kelewat batas.

“Dryad, berhenti!”

Serangan Dryad pun berhenti. Pipi () tergores hingga berdarah. Sedangkan di depan dahi, dada kiri, perut, dan kedua bahu cabang ranting berhenti. Sedangkan kedua anggota geraknya sudah terlilit akar.

“Ami, lepaskan dia!”

“Huft, baiik,” ucapnya kesal sambil mengerakan matanya ke samping.

 “Dryad, lepaskan dia. ”

“Dia menghinaku!” tolak Dryad dengan rambut coklat kehijauan di ujung rambut melambai tertiup angin.

“Lepaskan saja. Kakak sudah menyuruhku untuk melepaskan laki-laki kurang ajar itu. Jadi, lepaskn saja dia,” jelas Ami dengan malas.

Dyad masih diam menatap Ami. Ia menggerak-gerakkan  jemarinya di pinggul seakan sedang berpikir.

“Baiklah kalau begitu,” ucap Dryad sambil menunduk hormat kepada Ami.

Seluruh cabang dan akar itu pun bergerak kembali hilang. Dryad pun berjalan karah Ami yang berdiri di dekatku. Dryad tersenyum senang dan memeluk serta mengelus pipi dari antara Aku dan Ami. Yah, dari dulu, Dryad sudah sangat dekatt denganku.

Dulu, Dryad sering membuat anak-anak tetangga menangis ketakutan karena ancaman ranting dan pohonnya itu kalau ada yang merusak tanaman atau ada yang mengina dirinya dan Ami. Walau dulu ia tidak separah ini.

Aku melihat sekeliling, semuanya memasang wajah takut dan terkejut, tidak terkecuali kakak kelas yang ada di lapangan sebelah.Namun, Kak Shura di sana mulai tersenyum dan memberikan jempol kea rah kami.

“kak Shura….” gumaku dengan dengan agak meninggi pelan.

SRRRRAAAAA!!!!!!!

Butiran-buitran baja hitam mengkilat keluar dari pakaian (). Saat butiran itu kembali masuk ke dalam tanah, () tersadar dari ketakutannya yang bebelumnya. Pak Claud pun mendekati (), “Kurasa, untuk seranngan di pipimu, bapak tidak menduganya.”

“Dengarkan bapak baik-baik. Kalian tidak seharusnya untuk menghina orang lain atau arles. Terlebih untuk arles yang baru saja dipanggil. Mereka tentu saja akan tersinggung saat, mereka muncul dan tiba-tiba saja ada yang menghinanya.bukankah kalau kita berada di posisi arles itu, kita juga akan marah? Kita yang baru saja bertemu dengan arles itu, tentunya tidak tau sehebat apa arles itu. Jadi, untuk keamanan kalian, sebaiknya kalian tidak melakukan hal itu. Bukankah hal ini sudah bapak terangkan dua minggu yang lalu? Untungnya, arles milik mereka bertiga dapat mereka kendalikan dengan baik. Kalau begitu, bapak akan lanjutkan ujiannya lagi.”

“Sebentar, Pak. Saya mau bertanya.”

“Oh, apa yang mau kau tanyakan?”

“Kenapa bisa ada arles yang berwujud manusia? Aku biasanya hanya menemui arles hewan atau monster. Tapi tidak ada yang berbentuk menyerupai manusia.”

“Mereka disebut Nimph. Mereka adalah arles tipe kedua. Tidak banyak Nimph di dunia ini. Dan mereka memiliki kelebihan dapat berbicara dan bisa kita rasakann emosinya. Sedangkan arles biasa hanya bisa kita rasakan emosinya.”

“Apakah semua Nimph itu kuat?”

“Tidak semuanya. Ada juga yang lemah. Tapi kita tidak bsa membedakannya seperti arles lainnya.”

            “Oh ya, Nak Ami. Bapak tahu kau bisa mengendalikan arles dan elemenmu, tapi kamu seharusnya mencegahnya untuh menyerang seperti tadi."

"Tapi dia yang mulai duluan."

"Walau begitu. kamu seharusnya lebih bertanggung jawab."

Ami mengabaikan perkataan Pak Claud dan memasang wajah kusut. Mata hijau emeraldnya menyipit sebal. Sesekali ia juga mendengus pelan sambil mengejapkan mata.

"Maaf Pak Claud, Ami memang seperti itu. Ami, cepat minta maaf," ucapku sabil berlar kecil mendekati Ami

Ami mengalihkan pandangan, tangannya bersedekap. Dengan tidak ikhlas ia berkata, "Maaf."

“Baiklah. Mari kita lanjutkan ujiannya.”

Murid yang tersisa semuanya gagal kecuali satu. Seorang perempuan manis berambut pendek biru yang dikucir dua. Ia menyelesaikan tahap empat dengan cara yang sama denganku. Walau bedanya ia menggunakan ranting pohon yang ada di lapangan.

Setelah itu, Pak Claud menyuruh semua muridnya ke ruangaannya selain AMi, Dellion, Rian, Melody.

“Pak. Bukankah lelaki yang bernama Rian itu tadi tidak melakukan ujian tahap keempat dan lima?” ucap seorang bertubuh gemuk dengan nada malas.

“Sederhnanya, bapak sudah mengetes Nak Rian sebelum ini. Jadi, jangan dipikirkan. Sekarang, pergilah ke ruangan bapak. Lalu kalian yang lolos, silakan berlatih dengan Nak Shura di sana. Dia sudah menunggu. ”

Sesaat setelah Pak Claud pergi, anak perempuan berambut biru memanggilku dengan heboh, “Kirna!Kirina! Ajari aku. Bagaimana kau bisa melakukan semua tadi. Maksudku, memanggil arles!"

“Caranya mudah. Kau hanya harus berkonsentrasi dan mencari wujud roh arles dalam dirimu. Kemudian, bacalah nama yang tertulis disana, atau sebutkan nama yang merek sebutkan.”

“Begitu ya?” tanyanya untuk meyakinkan.

“Ya,” sahut Kak Shura dengan senyuman.

“Kak Shura!” panggil Ami yang berlari mendekat bersama Dryad.

“Kau hebat Ami, tapi sebaiknya kau hati-hati. Karena kau bisa membunuh seseorang,” ucap Kak Shura dengan senyum kaku nanti disini mereka diajari lalu ada yg nanya apa arlesnya Ashura.

“Ngomon g-ngomong, Kak. Apa arles Kak Shura? Aku ingin tahu,” kata Ami.

“Hmmm, gimana ya…..” ucapnnya dengan perhitungan.

“Tunjukan saja, Kak. Aku juga ingin melihatnya,” pintaku ke Kak SHura sebagai penjelas permintaan Ami.

“Kalau sudah ada dua orang yang minta gini, sepertinya aku harus menunjukannya. Kalau beitu, kalian semua mundurlah lagi hingga ke pinggir lapangan,” pinta Kak Shura  percaya diri sambil mengayunkan telapak tangannya ke atas dan bawah berulang dan melangkah mundur.

“Tapi kenapa?” tanya kami berlima.

“Mundur saja dulu. Kalian akan tahu nanti.”

“Baiklah,” ucap Ami sambil diikuti yang lainnya menuju ke pinggir lapangan.

Kak Shura mengangkat tangannya kirinya tinggi ke atas dan berteriak, “Jotunheim!”

Tiba-tiba, api merah besar membakar selebar lapangan dan terus meninggi. Kemudian api itu memadat membentuk makhluk raksasa.

“HAAAALLOOOO!” kepala kemerahan tiba-tiba turun ke bawah menyapa kami.

_______________________________________...__________________________________

Perempuan berambut pirang panjang  diikat samping atas kanan

            Aku sedang berjalan-jalan saat bosan mendengar penjelasan guru. Meski aku sudah sering membolos, merekaa tidak menghukum atau melaporkan hal ini kepada orangtuaku. Hal ini pun jelas membuatku semakin bosan dengan sekolah.

Perjalanan santaiku terhenti di lapangan samping tempat berkumpulnya dua kelas yang sepertinya salah satunya sedang ujian. Aku berjalan mendekat, mengintip dari sudut tembok.

SRAAK!!!

Ranting dan akar pohon menjalar hingga ke seorang pria berambut pirang yang kukenal, () Vincent. Dia adalah anak pamanku.

“Waw, itu keren sekali.”

Aku sangat terkesan dengan kekuatan anak kecil yang memiliki Nimph itu. Namun, aku lebih terkesan dengan seorang gadis berambut panjang yang diikat kebawah, ia dapat menyuruh anak itu menghentikn Nimph. Lalu juga, sepertinya mereka sangat akrab. Nimphnya juga.

“Seandainya, aku juga bisa seakrab itu dengan orang-orang. Terlebih, kelas mereka sepertinya menarik,” gumamku.

“Aku tahu! Aku akan mengajukan permintaan perpindahan kelas kepada Pak Kepala Sekolah!” ucapku dengan yakin sebelum berlari menuju ruang kepala sekolah.

***

            BRAK!!!

            Aku membuka pintu ruangan dengan sangat keras saking semangatnya. Di hadapanku seorang pria paruh baya dengan wajah berkerut membenarkan kacamatanya saking kagetnya.

“Pak! Pindahkan aku ke Kelas Mimosa! Mulai lusa, saya ingin belajar di sana. Titik!” ucapku to the point tanpa penjelasan yang jelas ke kepala sekolah.

“Tapi, Nona Vero------”

Aku langsung kabur sebelum mendengar perkataan Pak Kepala yang pasti tanya alasannya. Setelah itu aku pun kembali ke tempatku tadi. Di sana, murid-murid sudah mulai bubar. Hanya tersisa enam murid di lapangan dengan tiga arle. Dua diantaranya adalah anak yang kulihat sangat akrab itu.

Aku teriak peln histeris senang, “Aaa! Aku tidak sabar pengen pindah!”

 “Kirna!Kirina! Ajari aku. Bagaimana kau bisa melakukan semua tadi. Maksudku, memanggil arles!" ucap seseorang dengan hebohnya.

Orang yng akrab itu pun menjelaskan, “Caranya mudah. Kau hanya harus berkonsentrasi dan mencari wujud roh arles dalam dirimu. Kemudian, bacalah nama yang tertulis disana, atau sebutkan nama yang merek sebutkan.”

Aku sangat terkejut, aku tidak menyangka kalau alasan aku tidak pernah bisa memanggil arles adalah ini. Wajah kagetku pun mulai berubah menjadi gembira. Mungkin sebaiknya aku praktekan ini nanti di rumah.

“Jotenheim!”

Aku langsung mengarahkan pandangnku ke lapangan. Raksasa merah muncul disana! Sontak, aku pun jatuh terduduk di lantai dengan keringat dingin.

Tubuhku pun gemetar bahkan sampai ke suaraku, “S-Shura ada di sana……..”

_______________________________________...__________________________________

Dellion

            Setelah menjalani pelatihan yang melelahkan dengan perempuan yang bernama Shura itu membuatku cukup kuwalahan. Aku terus berjalan menuju kelas dan bergumam, “Terlebih arlesnya itu. Kenapa bisa sebesar itu? Huft…”

Selasa, 20 Juni 2017

Chapter 3



 Chapter 3
Sudah Menjadi Takdir

Pagi itu,  hujan disertai badai turun dengan guntur  dan angin kencang. Aku sedang bersiap untuk berangkat ke sekolah.  Seperti biasanya, aku hendak keluar kamar dan menunggu Ami di luar. Namun ketika aku mencapai gagang pintu kamar, aku roboh. Entah bagaimana, tubuhku rasanya sangat lemas. Ami yang melihatku sontak menangkap dan membopongku ke tempat tidur. Ia menyuruhku agar tidak kemana-mana, tetap istirahat, dan tidak melakukan apa pun selain tidur.
                “Kakak tidur saja. Aku akan bilang pada Bibi Asrama untuk menjaga kakak.”
                “Tapi hari ini ada sekolah kan?”
                “Tidak perlu. Pokoknya kakak ga boleh kemana-mana. Titik,”
                “Ami! Ami, tunggu!”
                Ia tidak mendengar perkataanku. Ia bahkan mengambil kedua kunci kami di meja. Kemudian, ia mengurungku dalam kamar sendirian dengan meninggalkan buah-buahan dan air mineral dalam botol di atas meja samping kiri tempat tidurku.
Hujan disertai badai dan guntur ini membuatku berpikir kesana kemari. Bahkan hal ini membuatku semakin sedih ketika aku mengingat kejadian adikku yang hilang malam itu. Meski pun Papa dan Ami menganggap kalau ia sudah tewas atau tak akan bisa ditemukan, aku hanya pasrah berharap ia akan kembali ke kehidupan kami. Sebenarnya aku ingin mencarinya sendiri, tetapi aku tidak memiliki petunjuk.  Papa juga melarang ideku ini tanpa memberi tahu apa sebabnya. Tapi yang jelas aku tahu kalau Papa sangat khawatir terhadap diriku dan Ami, terlebih sejak kematian Mama. Sehingga aku tidak dapat membantah larangannya.
Sudah tiga jam sejak keberangkatan Ami ke akademi, badai masih belum reda. Malahan badai hari ini semakin menjadi-jadi. Hal itu bisa dilihat dari pintu kaca berandaku, banyak dedaunan  dan ranting pohon beterbangan kesana-kemari. Bahkann pot-pot kecil yang digantung di sana sampai jatuh di lantai. Untuk amannya, aku mematikan lampu kamarku. Aku khawatir lisriknya akan bermasalah dan mengakibatkan kebakaran. Tapi sebelum itu, aku menutup gorden yang diikat di antara pintu kaca dan jendela. Setelah itu aku kembali berbaring di kasur dengan sprei bercorak cabang ranting berdaun kehijauan.
Suara berdesis angin kencang disambut gelegar guntur yang cahayanya mengkilat masuk hingga kekamar membuatku kaget dan sembunyi dibalik selimut. Aku meringkuk ketakutan, karena diluar ada suara ketukan berderit. Suaranya pelan dan berurutan, seperti ada benda runcing yang mengetuk-ngetuk pintu kaca.
Meskipun aku merasa sangat ketakutan, rasa lelah tiba-tiba ini membuat mataku terpejam. Kemudian, aku tertidur tanpa mempedulikan suara-suara yang ada.
Ruangan gelap tanpa batas, hawa dingin menusuk hingga melewati kulit. Sunyi, tidak ada suara. Aku berpikir kalau aku mungkin sedang bermimpi, namun suhunya yang terasa nyata ini membuatku ragu. Aku berjalan pelan tanpa arah hingga menemukan sosok bayangan anak kecil berambut panjang. Kedua tangannya  menggenggam satu sama lain di belakang tubuhnya. Namun, baru selnagkah aku mendekat, ia menoleh dan menghilang seperti asap yang tertiup angin. Tiba-tiba rasanya ada sesuatu sedingin es di belakang tekukku. Aku berbalik, namun tidak menemukan apa-apa selain kegelapan.
Saat aku berbalik hendak melanjutkan perjalanan, aku dihadang seseorang yang tinggi. Orang itu pun membungkukkan tubuhnya, hingga aku bisa melihat wajah mengancamnya secara samar. Rambutnya bergelombang panjang bergoyang-goyang membuatku kurang fokus untuk melihat wajahnya. Namun aku sangat terkejut lagi saat ia tiba-tiba memajukan wajahnya dan berkata kepadaku dengan nada tinggi,  “Panggil aku!”
                Aku terbangun, menoleh ke kanan dan kiri, mencari apakah ada orang disekitar. Kemudian aku mulai lega saat melihat tidak ada siapa pun. Untungla semua tadi iu hanya mimpi. Meski begitu, aku masih penasaran dengan dua sosok yang aku lihat tadi. Tetapi, pikiranku pecah saat mendengar suara ketukan berderit dari luar yang semakin keras. Suaranya disertai suara lirih yang tidak jelas berulang-ulang. Aku pun memberanikan diri untuk mengecek. Membuka pelan bagian bawah gorden dengan tangan gemetar.
Miaw!!!!
Aku terkejut hingga jatuh terduduk di lantai. Namun, aku kembali bangkit saat melihat kalau yang tersembunyi di balik pintu adalah seekor anak kucing berwarna hitam pekat dengan mata kuning keemasan yang menyala akibat pantulan cahaya. Ia duduk  denan dua kaki belakangnya terlipat dan kedua kaki depannya yang menggaruk-garuk kaca. Ia mengeong-ngeong meminta masuk.  Bulunya menelungkup karena basah, binar matanya yang memelas membuatku  tidak bisa membiarkannya diluar dengan badai besar yang mengerikan itu.
                Setelah aku mengeringkan badannya, aku memberikan semangkuk  susu hangat kepada kucing itu. Kucing itu terlihat sangat menikmati minumannya.  Aku mengelus-elus bulu halusnya yang pendek. Dan aku pun menyadari kalau tidak da kalung. Sehingga aku pun berpikir kalau anak kucing ini sendirian.
Umumnya, hewan peliharaan aka diberi kalung untuk menandai kalau hewan itu ada pemiliknya.  Sehingga orang yang menemukan hewan itu tidak akan sembarangan membawanya pergi.
Selesai minum, kucing itu kemudian melangkah pelan menuju kakiku. Ia mengeluskan bulu lembutnya. Ekornya naik ke atas agak membengkok. Kelakuanya yang manis itu membuatku ingin memeliharanya.
“Nanti akan kutanyakan pada Ibu asrama,” ucapku senang.
__________________________________________.....________________________________________
Ami
                Murid-murid stratus saling mengobrol dalam kelas yang sudah diperbaiki. Mereka terlihat biasa saja dan nyaman dengan pembicaraan mereka yang tercampur aduk dengan suara lain, mengabaikan badai yang semakin memburuk. Kak Rian mendatangi mejaku yang berjarak 1 bangku di samping kanannya. Ia berdiri kaku dengan pakaian serba hitam, menggaruk pelan lengan kirinya seakan ragu dengan apa yang dilakukan.
“Dimana Kirina?”
                “Kakakku……”
Aku terdiam sejenak, kemudian kembali menjawab, “Ia sedang tidak enak badan.”
“Begitu ya…. Kuharap ia lekas sembuh. Ngomong-ngomong, aku dapat kiriman salep bunga zavela dari ibuku. Jumlahnya terlalu banyak. Mungkin kalian akan membutuhkannya, jadi kuberi satu. Lalu, tolong berikan ini pada Kirina,” ucapnya sambil memberikan sebuah salep dan kantong kecil yang isinya terlihat banyak.
                “Terimakasih”
                Rian kembali ke tempat duduknya. Ia membolak-balik buku tulisnya yang dipenuhi tulisan dan pola-pola tidak jelas. Di samingnya, Dellion Kriss, ia sedikin menunduk di hadapan meja. Sesekali ia melihat ke arahku. Tapi, aku mengabaikannya dan kembali pada kesibukanku mengeringkan rambut serta seragam coklat mudaku yang agak basah.
                Tidak sampai semenit, bel tanda mulai pembelajaran berbunyi. Suaranya sangat nyaring, bahkan sampai mengalahkan suara badai berangin yang disertai guntur. Dari balik pintu kelas, muncul gerakan kain merah marun dari kiri pintu kelas. Aku mulai mengetahui sosoknya ketika ia sudah sepenuhnya masuk dengan badannya yang kurus nan tinggi, rambut kemerahan diikat sanggul di belakang, dan wajah yang sedikit berkeriput. Ia berjalan santai menuju meja guru. Gaun merah panjangnnya itu berkibar ke depan  dan belakang, terkadang juga bergerak tidak karuan saat angin menghembusnya.
                Meskipun aku tidak pernah melihatnya, aku merasa tidak asing dengan aura wanita tua itu. Ia memperkenalkan dirinya, wajahnya tersenyum ramah. Aku mencoba menghilangkan perasaanku itu dan memperhatikan penjelasan sejarahnya.
                Ia menjelaskan sejarah awal kerajaan. Aku mendengarkannya dengan seksama, menulis apa yang dianggap penting bagiku. Namun, gerakan tanganku berhenti saat wanita yang bernama Singi Saha itu mengatakan sesuatu mengenai “Malam Sunyi”. Mataku terbelalak kaget, bingung karena ia mengaku ad di tenpat itu saat kejadian.
                Aku perlahan mendongak menatap wanita itu. Ia tersenyum! Siapa sebenarnya wanita itu?! Samar-samar aku mulai ingat, tapi itu tidak mungkin. Karena, wanita yang aku pikirkan ini sudah diyatakan hilang, dan jika ia meman berada di tempat itu, seharusnya ia sudah mati!
                Tunggu, tunggu, aku harus menenangkan diriku. Mungkin aku hanya panik. Maksudku, dari wajahnya Saha itu berbeda dengan orang dulu kutemui. Ya,  pasti Singi Saha hanya kebetulan mirip saja.
                Ketika aku sadar dari lamunanku, wanita tua itu berjalan pergi. Aku menggebrak meja dan berlari mengikuti Dellion Kriss yang menoleh kekanan-kiri di depan pintu. Tapi, tidak ada siapa pun. Angin berhembus kencang dari arah kanan pun membuat suasana menjadi mencekam.
                “Aku harus ke ruang guru. Mungkin akan ada petunjuk,” batinku.
                Namun, apa yang kuharapkan itu hasilnya nihil. Dua guru yan g ada di sana tidak pernah mengetahui mengenai Singi Saha. Bahkan aku juga ragu kalau ada nama keluarga Saha dikerajaan ini. Apa wanita tua tadi itu hanya orang kurang waras yang mengaku pernah ada di tempat itu? Tapi, terlalu banyak yang mengganjal. Lebih baik aku abaikan saja, lama-lama kepalaku bisa sakit.
                Aku terdiam cukup lama, namun aku segera beranjak dari ruang guru karena teringat kakakku yang berada di asrama. Baru melaju beberapa langkah, aku baru sadar kalau saat ini hanya ada aku dan Dellion sendiri. Mengingat kejadian yang lalu, aku berbalik dan menghadap kepadanya.
                “Namamu Dellion Kriss kan? Ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu,” kataku dengan tegas.
“Mungkin ini tiba-tiba, tapi bisakah kau berhenti menatap kakaku? Matamu itu sangat menganggu,” lanjutku dengan wajah yang serius dan menekan suasana menjadi lebih tegang.
                Wajah dellionyang sebelumnya serius berpikir, berubah. Matanya yang terbuka lebar itu perlahan menutup. Kemudian ia langsung pergi ke dalam guyuran hujan setelah mengatakan sesuatu kepadaku.
                Aku mulai merasa tidak enak terhadapnya. Tapi mau bagaimana lagi, aku tidak bisa membiarkannya terus-terusan melakukan hal itu terhadap kakakku. Semuanya juga akan lebih kacau kalau dirinya semakin mengetahui lebih dalam mengenai kami.
***
                Setibanya aku di asrama, aku langsung berjalan cepat menuju kamar. Kilat-kilatan petir menghiasi ruangan dengan bayangan-bayangan gelap perabotan di lorong. Bibi asrama sebelumnya juga tidak terlihat di lobi. Apakah dia sedang pergi ke suatu tempat?
                Langkahku mulai kuperlambat saat mencapai tangga. Sambil mengingat-ingat tentang Singi Saha dan Dellion, aku terhenti saat sudah mencapai pintu kamarku.
                “Semoga, dia menghentikan kelakuannya itu…” ucapku lirih.
Tiba-tiba dari bealakang muncul suara yang tidak asing bagiku,"Tidak bareng kirina lagi ya?"
Aku kaget sampai bingung mau bicara apa dengan situasi yang mendadak itu, "A..Itu…kakak sedang sakit"
“Rina sakit?! Sejak kapan? Bukankah kemarin dia sehat-sehat saja?” ucap seorang yang tak lain adalah Kak Shura.
“Ya begitulah, Kak.”
“kalau begitu, boleh aku menjenguknya?”
“Tentu saja. Jangan sungkan. ” ucapku kepada Kak Shura.
Aku segera membuka kunci kamar. Pintu terbuka pelan, dan di saat yang sama kilatan petir menyambar dari jarak dekat memunculkan sosok bayangan wanita berambut panjang tepat dihadapanku. Akusaja  hampir berteriak dengan lengkingan tinggi, namun tidak jadi karena sosok yang kulihat itu adalah kakakku yang sedang mengangkat seekor kucing.
Kak Shura yang ada di belakangku tertawa kecil, mukaku memerah karena malu. Aku menahan Maluku dengan memukul-mukul pelan kakakku. Kakakku pun jadi ikut tertawa.
Ia meminta maaf padaku, tapi aku berpaling dan menyedekapkan kedua tangan. Berpura-pura marah supaya mendapatkan perhatian kakakku. Kakakku terus merayuku, ia bahkan sampai menawarkan jatah pudingnya kepadaku. Aku pun akhirnya menyerah dan memaafkan kakaku, karena tergoda dengan tawaran makanan favoritku.
“Oh iya. Kenapa kakak tidak berada di tempat tidur? Kakak kan sakit,”kataku tiba-tiba.
“Aku sudah baikan. Jadi jangan pikirkan,”
“Lebih baik, coba lihat ini Ami. Aku menemukannya di beranda. Ayo kita pelihara!”  lanjutnya sambil menyodorkaan anak kucing hitam kepadaku.
Aku mengambilnya dengan mengangkat leher belakang kucingg itu. Ia menatap mataku lekat-lekat. Ada satu hal yang aku tidak sukai dari kucing ini. Matanya kuning keemasan, persis seperti milik Dellion Kriss.
"Memangnya Pemilik asrama bakal bolehin?"
"Boleh, yang penting kalian harus bertanggung jawab jika hewan itu melakukan masalah,” ucaap wanita paruh baya yang ku kenal baik.
"Bi Elina?!"
"Elina?" ucap kakaku bingung.
"Oh wakt itu bibi belum mengenalkan diri ya. Namaku Elina Aileen. Panggil Bibi Elina saja,"
"kudengar kamu sakit. bagaimana kondisimu sekarang?"
"sudah baiikan"
"Baguslah. Kalau begitu bibi permisi dulu. Ngomong-ngomong, bibi bawa susu buatmu, Dik Rina. diminum ya~. mumpung masih panas" ucapnya dengansenyum ebelum meninggalkan kami
Melihat Bibi Elina pergi melewati pintu membuatku sadar kalau aku sudah melupakan Kak Shura yang hendak menjenguk. Kemudian aku menjelaskan situasinya ke kakaku mengenai Kak Shura. Dan ia pun segera menyapa Kak Shura dengan senyuman ramah.
Kak SHura masuk kamar dan mengatakan perihal datangnya kemari, "Rina, aku datang untuk menjengukmu. aku baru saja dengar dari Ami tadi,"
"Tidak apa kok. lagi pula ini tidak parah"
"Tapi kudengar kamu sampai jatuh"
"Ah, yah..."
                Aku meninggalkan kakakku mengobrol dengan Kak Shura. Rasanya aku ingin membuang kucing ini, tapi aku ragu karena kakakku sudah memutuskan untuk memeliharanya. Bimbang dan dilemma in pun membuatku tidak sengaja menjatuhkan kuing itu. AKu melangkah mundur, tapi tanganku ta sengaja menyenggol segelas susu yang ditinggalkan Bibi ELina di meja. Gela situ menumpahkan isinya tepat ke kucing yang sedang mencoba berdiri itu. Bulunya yang tadi terliha cukup tebal mengkerut lemas. Kemudian gelas yang tadi menggelinding pun akhirnya jatuh ke lantai dan pecah.
                Kakakku dan Kak Shura berbalik melihat ke arahku dan mengatakan seruan dengan bersaamaan, “Awas!”
                Aku hanya berdiri diam melihat mereka berdua. Tanpa sadar kucing yang tadinya berdiri di atas lantai, melompat naik dan mencakar lenganku dan melorot kebawah. Hal ini menimbulkn luk goresan yang cukup panjang.
Kucing itu masi mencoba mencakarku, tapi Kak Shura mengangkat dan menjauhkan anak kucing  itu yang kaki depannya maih berusaha mencakarku. Kakakku segera mengambil kotak obat. Mengobati luka dan meniupinya supaya cepat kering.  
“Apa ada yang salah, Ami? Biasanya kau ebih hati-hati.”
“Sebenarnya…….”
“Kirina, sebaiknya kita mndikan kucing ini dulu. Dia terus-terusan mengamuk.”
“Kita lanjutkan nanti, Ami”
Kakakku bergegas menghampiri kucing itu. Bersama Kak Shura, ia memandikan kucing itu di kamar mandi dengan shower. Kucing itu melirik tajam kepadaku, mengeluarkan cakar seakan hndak menerkamku. Tapi ia tak bisa apa-apa, akibat tubuhnya dpegangi Kak Shura.
Ak duduk di kursi, mengabaikan ancaman kucing itu, dan berpikir mengenai kejadian tadi  pagi. TAku ingin menceritakannya pada kakak. Tapi, karena situasinya menjadi seperti ini, aku menjadi ragu.
________________________________________.......______________________________________
Kirina
                “Apa ada yang salah Ami?”, ujarku pada adikku.
Sejak dia masuk kamar, wajahnya terlihat muram. Sebenarnya apa yang mengganggu pikirnanya?Dari kamar mandi aku sekilas melihat Ami, wajahnya terlihat muram seperrti ada masalah.
Saat ia akan menjawabnya, ia terlihat ragu. tapi, karena aku dipanggil Kak Shura, aku pun eninggalkan Ami dan memintanya untuk melanjutkan permbicaraan ini nanti.
Setelah aku memandikna kucing itu. Aku hendak menamainya, tapi aku bingung. Jadi, aku pun meminta pendapat Ami dan Kak Shura untuk ini.
“Untuk pemberian nama, kita bisa menggunakan karakteristik yang dimiliki kucing itu,” saran Kak Shura.
“Trouble saja. Karena dia itu si pembuat masalah,” saut Ami dengan wajah malas dan kepala yang di tumpu tangan kanan.
Kucing kecil itu pun mengeram dan melompat ke wajah Ami. Aku segera menangkapnya dan menasehati Ami, “Jangan begitu.”
“bagaimana kalau Blackie,” ujar Kak Shura.
Kucing itu pun masih tidak suka dan menargetkan kemarahannya kepada Ami. AKu yang memegangnya pun hampir terlepas.
“Namai saja dia Keparat”
“Ami?!”
Wraooooooo!!!!
Kucing itu pun mencakar-cakar Ami dengan membabi buta dan menggigiti seragamnya. Kak Shura langsung menjulurkan tangannya. Dari jeri telunuknya muncul api jingga kemerahan yang membentuk tali. Api itu menjulur, menjauhkan kucing itu dari Ami.
“Elemen kakak api ya?”
Kak Shura tersenyum, “Itu sudah menjadi ciri khas keluarga kami. Ayo kita lanjutkan pemberian namanya. Kau belum memberi saran kan?”
“Sebenarnya aku ingin menamainya dengan Kisa. Tapi, itu terlihat terlalu simple. Jadi aku meragukannya,”
“Gunakan saja nama itu. Sepertinya KIsa menyukainya. Lihat dia menggesekkan tubuhnya kepadamu, Kirina.”
Aku mengangkat kucing itu dan memeluknya, “Kalau begitu, sudah diputuskan.”
"Ngomong2 kalian waktu itu tidak terlambat pindah ke asrama kan?"
"Memangnya kenapa"
"Kalian akan tahu sendiri besok"
"oh iya, aku punya bekas mainan kucingku dulu. apa kau mau?"
"Bolehkah?"
"Tentu. Aku akan meminta pamanku untuk mengirikannya. Kalau barangnya sudah sampai, akan ku beritahu. Aku pergi dulu ya, besok aku ada tes. Daa.."
“Iya. Terimakasih sudah menjenguk, Kak Shura."
"Shura saja"
                Setelah Kak Shura menutup pintu, suasana menjadi sepi kembali. Ami hanya duduk diam, badai pun masiih beum berhenti. Suara gemericik hujan dan guntur tedengar sangat jelas. Aku menurunkan Kisa, kemudian mendekati Ami.
                “Mau kita lanjutkan yang tadi?”
                Ami hanya diam. Beberapa saat kemudian ia menggeleng dan pergi menuju kamar mandi. Dilihat dari sikapnya, sepertinya Ami tidak ingin membahasnya lagi.
                Mengingat perkataan Kak Shura yang aka nada tes, aku pun menuju meja belajarku. Membuka buku catatan dan membacanya. Sesekali aku mempraktekan apa yang ada di buku itu. Seteah satu jam memmbaca , aku berjalan menuju kasur mematikan lampu. Ami sudah berbaring pada kasurnya, sedangkan Kisa tidur melingkar di tepi bantalku. Aku tersenyum. Namun, aku terigat dengan wajah Ami tadi, wajah yang sedih dan muram. Aku mendekati Ami dan mengelus rambutnya. Kemudian aku berkata pada Ami yang mungkin sudah tertidur, “Jika kau ada masalah, janganlah sungkan bicara padaku. Kita ini saudara.”
Saat aku kembali ke tempat tidur, aku melihat liontin bungaku. Meski pun saat ini gelap, aku masih bisa melihatnya dengan jelas bahwa warna kalun itu jingga. AKu langsung mengambilnya, mengira kalau ada yag menukar kalungku. Tapi, setelah dilihat dengan seksama, kalung itu asli. Dari perkataan Mama dulu,  tidak ada liontin lagi yang seperti ini. Karena batu yang dibuat sebagai bahan, hanya ada satu di dunia ini.
"Ada yang melepasnya"
Aku menoleh ke belakang. Ami mulai bangun dan duduk. Aku pun bertanya pada Ami dengan agak panik," Ami, kau masih bangun? Apa yang kamu maksud dengan melepasnya?”
Ami hanya berpaling dan kembali tidur, seakan ia mengelak dari pertanyaanku itu. Aku menggoyang-goyangkan tubuh Ami. Menanyakan apa maksudnya. Tapi ia tidak merespon.
Keesokan harinya, badai masih belum reda. Bibi Elina mengumumkan sekolah diliburkan sehari karena badai yang semakin besar. Aku yang tadinya sudaha bersiap ke sekolah pun mengganti seragam dengan baju harian. Dan berjalan menuju dapur, membuat dua gelas coklat panas.
“Pagi, Kak”, ucap Ami di belakangku sambil mengucek matanya.
“Ami?! Kau sudah baikan?” tanyaku.
“Ya. Kemarin aku hanya sedang ada pikiran. Maaf membuatmu khawatir, Kak.”
“Tak apa. Ini minumlah” ucapku sambil memberikan Ami segelas coklat panas buatanku.
Aku duduk di meja makan dan menyeruput minumanku, “Kata Bi Elina, hari ini kita libur.”
“Ya, aku tadi mendengarnya,” kata Ami.
Kemudian, kami terdiam. Tidak ada satu pun kata terucap dari mulut kami selain menyeruput minuman hingga habis. Aku bangkit dari dudukku menuju wastafel, mencuci gelasku, dan meletakannya di rak. Ami datang dan melakukan hal yang sama denganku.
Kami kembali ke tempat tidur dan duduk di tepiannya, saling berhadapan satu sama lain. Aku meletakan Kisa di pangkuanku dan mengelusnya. Ami masih diam dan terlihat canggung. Aku mencoba mengawali pembicaraan, “Ami, kemarin di kelas, kau diajarin apa? Aku takut ketinggalan materi.”
“Tidak ada yang istimewa. Kakak sudah pernah mempelajarinya di akademi dasar.”
“Memang apa pelajarannya?”
“Pelajaran sejarah kerajaan. Di ulangan nanti juga tidak akan keluar. Ngomong-ngomong, kak. Kemarin Guru aneh itu tidak ada.”
“Pak Claud?”
“Iya. Dan kemarin.... emmm, yah. Kelasya cukup ramai, meski badai.”
“begitukah?”
“Iya.”
Pembicaraan kami terus berlangsung. Sebisa mungkin aku tidak mengungkit apa yang terjadi tadi malam dan mengenai hal yang mengganggu pikiran Ami. Karena ia pasti tidak akan menjawab.
Ketika kami sedang hangat-hangatnya melakukan percakapan. Gemuruh petir menghilang. Aku pikir badai sudah berhenti, jadi aku membuka gorden di kaca beranda. Ketika tinggal selangkah  menuju kasur, kilatan petir besar muncul. Jika dilihat, sepertinya jaraknya pun juga dekat.
JEGLARRRRR!!!!!!!!!
Lampu tiba-tiba padam dan Ami yang ketakutan mendengar guntur pun memelukku erat. Jemarinya mencengkram punggungku dengan kuat. Tubuhny gemetar, suara yang ia keluarkan pun juga pelan dan tidak jelas. Aku mengeluarkan elemenku. Api biru sebesar bola kasti muncul ditelapak tanganku.
Diikuti suara desisan, Kisa yang ada di pundakku pun mengeram dengan keras. Ia melompat ke kepala Ami. Kaki depannya mengacka-acak kepala tempat ia berpijak sampai berantakan. Ami yang tadinya ketakutan pun dengan penuh energy mencoba melepaskan kucing itu dari kepalanya. Ami berteriak kesal. Kisa tidak mau melapas cakarannya. Perkelahian mereka cukup menghiburku.
“Kakak, jangan tertawa saja. Tolong aku!” keluh Ami.
“Aku akan menolongmu ari jauh dengan dukungan. Semangat. AKu mendukung kalian, yang menang akan dapat snack ekstra ”
“kakak!”
_______________________________________....____________________________________________
Ami
                Aku berjalan kesana-kemari,tanganku mencengkram erat Kisa. Seberapa pun usahaku menariknya, kucing ini tidak mau melepaskan kaki-kakinya. Kakak yang kumintai tolong saja hanya tertawa tanpa henti.
                Namun, tidak berselang lama, Kisa mulai berhenti. Kepalanya melihat ke arah pintu kaca diluar. Aku mengikuti arah pandangnya. Dan aku melihatnya, sosok hitam dengan cahaya mata hijau di halaman bawah. Sosok itu melihat kea rah kami tanpa berkedip sedikitpun. Aku langsung bergegas mendekati pintu dan menutup gorden.
                “Ada apa Ami?” ucapnya sambil mendekatiku dengan cahaya api biru di tangan.
                Aku membalikkan tubuh kakaku dan mendorongnya kea rah pintu lorong, “Kak ayo kita mampir ke tempatnya Bi Elina.”
                “Kenapa tiba-tiba?”
                “Ayo, ayo!” ucapku dengan nada tidak sabar dan terus mendorong kakak.
                Ketika kakak keluar, aku menoleh kebelakang. Di gorden, tergambar jelas sosok itu. Berditi tegap di teras luar dengan cahaya matanya hjau menyala. Setelah Kisa keluar, aku segera mengunci kamar. Berlari di lorong menuju ke tempat Bi Elina.
***
                Kami terus berlari, sosok itu terus mengikuti dari balik kaca jendela. Kami menuruni tangga. Aku mendorong kakak dibelakang, mencegahnya melihat sosok itu. Namun, saat kami sudah sampai di lantai dasar, kami terhenti akibat benturan dengan seseorang.  Aku mengintit dari damping tubuh kakakku.
                Seseorang berdiri di sana. Ia membungkuk dan wajahnya tepat berada di hadapanku, “BO!!!”
                Aku sangat terkejut sampai jatuh terduduk. Kemudian suasana berubah menjadi tawa dan penuh nasehat. Aku tidak menyangka, kalau orang yang kami tabrak itu adalah Bi Elina. Ia tertawa dengan puasnya, sedangkan kakakku terus-terusan menasehatiku soal bahayanya berlarian di kegelapan. Tapi aku hanya diam, berharap sosok yang tadi mengikuti kami itu pergi. ”
                Dengan cahaya temaram kebiruan, Bi Elina berhenti tertawa dan bertanya padaku, “Apakah itu dia?”
                Aku mengangguk, kakakku hanya diam dengan wajah penuh tanya. Bibi kemudian membawa kami menuju ruangannya. Wajahnya terlihat sangat serius. Sesampainya di lobi, ia menutup seluruh pintu dan jendela kaca dengan gorden.  Kemudian, ia menggiring kami ke kamarnya.
                Wajah kakakku menjadi sangat cemas. Hal itu terukir jelas di matanya dan ucapannya,“Ami sebenarnya ada apa?”
                “Rina, kamu mau  dibuatkan apa? Coklat panas? Teh? Susu? Kopi?” saut Bi Elina
                “Maaf Bi, tapi aku harus mennyakan sesuatu kepada Ami.”
                “bagaimana dengan kue coklat? Bibi baru saja selesai memanggangnya.”
                “Kue coklat?! Ya, ya! Aku mau”
                Bibi ELina  pun langsung mengambil kue coklat yang ada di oven, tapi sebelumnya ia menyalakan lilin di meja, “Sebenarnya, tadi aku mau naik ke kamar kalian untuk menawari kue ini. Tapi, untungnya aku menemukan kalian di dekat tanga tadi. Ini untuk kalian.”
                Kami duduk di meja makan dan menikmati kue itu. Selain itu, kami juga berbincang-bincang mengenai sekolah. Alurnya bergerak dengan santai, sehingga keteganggan yang ada pada kami pun hilang. Dan kakak sudah tidak menanyakan lagi mengenai apa yang sebenarnya terjadi.
                “Ah, Ami? Dimana Kisa? Bukankah tadi kita bersamanya?”
                “entahlah, mungkin dia sedang berkeliaran entah dimana. Semoga saja dia tidak membuat masalah. Karena yag bertangung jawab adalah kakak,” ujarku dengan tawa kecil
                Wajah kakak mulai pucat saat melihat kea rah Bi Elina, “semoga dia jadi anak kucing yang baik.”
________________________________________.....__________________________________________
                Keesokan harinya, badai sudah berhenti. Sekolah pun diadakan seperti biasanya. Pukul setengah tujuh, aku dan Ami sampai di kelas. Aku sangat terkejut ketika meihat tembok kelasnya sudah di perbaiki.
                Aku berjalan menuju bangkuku,  meletakan tas dimeja. Mengecek barang yang mungkin ketinggalan. Setelah yakin, aku meletakannya di kursi. Ami yang terletak di bangku sebelah kanan juga melakuakn hal yang sama denganku. Kemudian memainkan jarinnya di meja.
“Kirina! Kau sudah sembuh?” ucap seseorang yang ku kenal.
Aku berbalik, dan ternyata benar. Orang tersebut adalah Rian. Aku pun menjawab pertanyaannya dengan ramah, “Aku sudah sembuh. Terimakasih sudah menghawatirkanku, Rian.”
“Yah, ini bukan masalah besar. Ngomong-ngomong, apa kau sudah dengar mengenai as-,” ucapan Rian terpotong.
“Hei, hei. Apa kalian sudah mendengar kabar mengenai Asrama Varun?” ucap seorang perempuan manis berambut biru yang diikat dua.
“Memangnya ada apa?”
“Kabarnya, Asrama Putra Varun membeku!” ucap perempuan berambut biru itu dengan nada yang dditekankan.
Perempuan lainnya pun meragukan perkataannya. Kemudian, anak itu berkata lagi, “Kalau tidak percaya, kalian bisa lihat. Pihak skeolah sedang mencairkannya. Tanya saja yang laki-laki.”
                Mereka pun langsung menanyakan hal ini kepada para lelaki di kelas. Para lelaki itu mengiyakan peristiwa itu. Bahkan, ada yang bilang sempat terjadi hujan jarum es di sana.
“Lalu apa penghuninya selamat?”
Rian pun menjawab pertanyaan mereka, “Kami semua baik-baik saja. Karena ada es tebal yang menyelimuti asrama.”
Para wanita kebingungan. Di sini, Rian memang kurang bergaul. Tapi tak kusangka kalau hampir satu kelas tidak mengetahuinya.
Kemudian, seorang wanita berkulit gelap bertanya kepada Rian,“Siapa yang membuat e situ? Apa itu Penjaga asrama?”
“Aku tidak tahu. Meskipun Tuan Varun memiliki elemen air, bukan berarti dia bisa membuat es. Ku dengar hanya orang bergelar Nimbus yang bisa.”
“Benar juga. Setahuku, yang bisa membuat es itu seorang pimpinan keluarga Hazard, Tuan Mikael dan pahlawan yang bernama Delmora.”
“Bukankah, Tuan Mikael selalu disibukkan dengan pekerjaan di perusahaaan?”
“Delmora juga dikabarkan hilang di Hutan Flos. Kupikir, untuk mereka berdua yang tidak ada urusannya ke sekolah ini itu tidak mungkin akan membuat pelindung itu.”
“Apa itu artinya, diantara pria disini. Ada yang memiliki kekuatan sebesar seorang Nimbus?!”
“Kurasa itu tidak mungkin. Lagi pula, apa untungnya untuk orang itu bersekolah disini.”
“Tapi, aku pernah mendengar kabar kalau ada yang pernah melihat Delmora belum lama ini. Katanya ia muncul di Hutan di dekat Asrama Varun. Bersama arlesnya. ”
“Oh arles yang namanya () itu kan? Ku dengar arle itu Nimph yang sangat cantik.”
“Aku pernah melihatnya dari lukisan yang dipajang di museum dekat istana. Dan Nimph itu sangat cantik. Kuharap aku dapat bertemu dengannya.”
Makin lama pembicaraan semakin melenceng dan semakin ngawur. Karena aku malas mendengar gossip yang tidak jelas, aku pun berbincang kembali dengan Rian.
“Bagaimana liburanmu kemarin, Rian? Apa menyenangkan?”
“DUgaanmu salah. Kemarin itu adalah hari yang sangat melelahkan. Kami diminta Tuan Varun untuk membersihkan lorong yang dipenuhi es runcing. Lalu, ada satu orang yang tidak ikut. Saat aku hendak mengetuk pintunya untuk mengingatkan, Tuan Varun menghentikanku. Lalu, terjadi mati lampu. Kami jadinya harus mati-matian membersihkan es dalam kegelapan yang dingin. Untungnya, saat selesai, Tuan Varun menyiapkan makanan lezat dan minuman panas untuk kami.”
“wah, kau sudah berjuang,” ucapku sambil mengusap kepala Rian.
“Lalu, bagaimana liburanmu kemarin?”
“Kemarin ya? Hmm, waktu pagi Ami membuat kehebohan buatku dan Bibi Elina, Nona penjaga asrama. Tapi, kemudian aku makan kue coklat kesukaanku di tempatnya Bi Elina. Rasanya enak sekali. Kuharap ia akan memberiku kue itu lagi,” ucapku yang hampir ngiler.
“Wah, pasti enak. Lain kali bagi ke aku dong,” sahutnya jahil.
“Ga, kue coklat hanya untukku!” kataku dengan nada yang meyakinkan
Kami terdiam cukup lama, sampai akhirnya kami pun tertawa.
Blarr!!!
Pintu kelas tiba-tiba di hancurkan higga roboh. Dari luar, seorang pria berdiri dengan rambut panjang yang tergerai. Sekelas pun terdiam saat melihat pria tersebut adalah guru kami, Pak Claud.
“Bapak sudah memanggil kalian berkali-kali. Tapi kalian malah rame sendiri. Keluar sekarang!”