Selasa, 20 Juni 2017

Chapter 3



 Chapter 3
Sudah Menjadi Takdir

Pagi itu,  hujan disertai badai turun dengan guntur  dan angin kencang. Aku sedang bersiap untuk berangkat ke sekolah.  Seperti biasanya, aku hendak keluar kamar dan menunggu Ami di luar. Namun ketika aku mencapai gagang pintu kamar, aku roboh. Entah bagaimana, tubuhku rasanya sangat lemas. Ami yang melihatku sontak menangkap dan membopongku ke tempat tidur. Ia menyuruhku agar tidak kemana-mana, tetap istirahat, dan tidak melakukan apa pun selain tidur.
                “Kakak tidur saja. Aku akan bilang pada Bibi Asrama untuk menjaga kakak.”
                “Tapi hari ini ada sekolah kan?”
                “Tidak perlu. Pokoknya kakak ga boleh kemana-mana. Titik,”
                “Ami! Ami, tunggu!”
                Ia tidak mendengar perkataanku. Ia bahkan mengambil kedua kunci kami di meja. Kemudian, ia mengurungku dalam kamar sendirian dengan meninggalkan buah-buahan dan air mineral dalam botol di atas meja samping kiri tempat tidurku.
Hujan disertai badai dan guntur ini membuatku berpikir kesana kemari. Bahkan hal ini membuatku semakin sedih ketika aku mengingat kejadian adikku yang hilang malam itu. Meski pun Papa dan Ami menganggap kalau ia sudah tewas atau tak akan bisa ditemukan, aku hanya pasrah berharap ia akan kembali ke kehidupan kami. Sebenarnya aku ingin mencarinya sendiri, tetapi aku tidak memiliki petunjuk.  Papa juga melarang ideku ini tanpa memberi tahu apa sebabnya. Tapi yang jelas aku tahu kalau Papa sangat khawatir terhadap diriku dan Ami, terlebih sejak kematian Mama. Sehingga aku tidak dapat membantah larangannya.
Sudah tiga jam sejak keberangkatan Ami ke akademi, badai masih belum reda. Malahan badai hari ini semakin menjadi-jadi. Hal itu bisa dilihat dari pintu kaca berandaku, banyak dedaunan  dan ranting pohon beterbangan kesana-kemari. Bahkann pot-pot kecil yang digantung di sana sampai jatuh di lantai. Untuk amannya, aku mematikan lampu kamarku. Aku khawatir lisriknya akan bermasalah dan mengakibatkan kebakaran. Tapi sebelum itu, aku menutup gorden yang diikat di antara pintu kaca dan jendela. Setelah itu aku kembali berbaring di kasur dengan sprei bercorak cabang ranting berdaun kehijauan.
Suara berdesis angin kencang disambut gelegar guntur yang cahayanya mengkilat masuk hingga kekamar membuatku kaget dan sembunyi dibalik selimut. Aku meringkuk ketakutan, karena diluar ada suara ketukan berderit. Suaranya pelan dan berurutan, seperti ada benda runcing yang mengetuk-ngetuk pintu kaca.
Meskipun aku merasa sangat ketakutan, rasa lelah tiba-tiba ini membuat mataku terpejam. Kemudian, aku tertidur tanpa mempedulikan suara-suara yang ada.
Ruangan gelap tanpa batas, hawa dingin menusuk hingga melewati kulit. Sunyi, tidak ada suara. Aku berpikir kalau aku mungkin sedang bermimpi, namun suhunya yang terasa nyata ini membuatku ragu. Aku berjalan pelan tanpa arah hingga menemukan sosok bayangan anak kecil berambut panjang. Kedua tangannya  menggenggam satu sama lain di belakang tubuhnya. Namun, baru selnagkah aku mendekat, ia menoleh dan menghilang seperti asap yang tertiup angin. Tiba-tiba rasanya ada sesuatu sedingin es di belakang tekukku. Aku berbalik, namun tidak menemukan apa-apa selain kegelapan.
Saat aku berbalik hendak melanjutkan perjalanan, aku dihadang seseorang yang tinggi. Orang itu pun membungkukkan tubuhnya, hingga aku bisa melihat wajah mengancamnya secara samar. Rambutnya bergelombang panjang bergoyang-goyang membuatku kurang fokus untuk melihat wajahnya. Namun aku sangat terkejut lagi saat ia tiba-tiba memajukan wajahnya dan berkata kepadaku dengan nada tinggi,  “Panggil aku!”
                Aku terbangun, menoleh ke kanan dan kiri, mencari apakah ada orang disekitar. Kemudian aku mulai lega saat melihat tidak ada siapa pun. Untungla semua tadi iu hanya mimpi. Meski begitu, aku masih penasaran dengan dua sosok yang aku lihat tadi. Tetapi, pikiranku pecah saat mendengar suara ketukan berderit dari luar yang semakin keras. Suaranya disertai suara lirih yang tidak jelas berulang-ulang. Aku pun memberanikan diri untuk mengecek. Membuka pelan bagian bawah gorden dengan tangan gemetar.
Miaw!!!!
Aku terkejut hingga jatuh terduduk di lantai. Namun, aku kembali bangkit saat melihat kalau yang tersembunyi di balik pintu adalah seekor anak kucing berwarna hitam pekat dengan mata kuning keemasan yang menyala akibat pantulan cahaya. Ia duduk  denan dua kaki belakangnya terlipat dan kedua kaki depannya yang menggaruk-garuk kaca. Ia mengeong-ngeong meminta masuk.  Bulunya menelungkup karena basah, binar matanya yang memelas membuatku  tidak bisa membiarkannya diluar dengan badai besar yang mengerikan itu.
                Setelah aku mengeringkan badannya, aku memberikan semangkuk  susu hangat kepada kucing itu. Kucing itu terlihat sangat menikmati minumannya.  Aku mengelus-elus bulu halusnya yang pendek. Dan aku pun menyadari kalau tidak da kalung. Sehingga aku pun berpikir kalau anak kucing ini sendirian.
Umumnya, hewan peliharaan aka diberi kalung untuk menandai kalau hewan itu ada pemiliknya.  Sehingga orang yang menemukan hewan itu tidak akan sembarangan membawanya pergi.
Selesai minum, kucing itu kemudian melangkah pelan menuju kakiku. Ia mengeluskan bulu lembutnya. Ekornya naik ke atas agak membengkok. Kelakuanya yang manis itu membuatku ingin memeliharanya.
“Nanti akan kutanyakan pada Ibu asrama,” ucapku senang.
__________________________________________.....________________________________________
Ami
                Murid-murid stratus saling mengobrol dalam kelas yang sudah diperbaiki. Mereka terlihat biasa saja dan nyaman dengan pembicaraan mereka yang tercampur aduk dengan suara lain, mengabaikan badai yang semakin memburuk. Kak Rian mendatangi mejaku yang berjarak 1 bangku di samping kanannya. Ia berdiri kaku dengan pakaian serba hitam, menggaruk pelan lengan kirinya seakan ragu dengan apa yang dilakukan.
“Dimana Kirina?”
                “Kakakku……”
Aku terdiam sejenak, kemudian kembali menjawab, “Ia sedang tidak enak badan.”
“Begitu ya…. Kuharap ia lekas sembuh. Ngomong-ngomong, aku dapat kiriman salep bunga zavela dari ibuku. Jumlahnya terlalu banyak. Mungkin kalian akan membutuhkannya, jadi kuberi satu. Lalu, tolong berikan ini pada Kirina,” ucapnya sambil memberikan sebuah salep dan kantong kecil yang isinya terlihat banyak.
                “Terimakasih”
                Rian kembali ke tempat duduknya. Ia membolak-balik buku tulisnya yang dipenuhi tulisan dan pola-pola tidak jelas. Di samingnya, Dellion Kriss, ia sedikin menunduk di hadapan meja. Sesekali ia melihat ke arahku. Tapi, aku mengabaikannya dan kembali pada kesibukanku mengeringkan rambut serta seragam coklat mudaku yang agak basah.
                Tidak sampai semenit, bel tanda mulai pembelajaran berbunyi. Suaranya sangat nyaring, bahkan sampai mengalahkan suara badai berangin yang disertai guntur. Dari balik pintu kelas, muncul gerakan kain merah marun dari kiri pintu kelas. Aku mulai mengetahui sosoknya ketika ia sudah sepenuhnya masuk dengan badannya yang kurus nan tinggi, rambut kemerahan diikat sanggul di belakang, dan wajah yang sedikit berkeriput. Ia berjalan santai menuju meja guru. Gaun merah panjangnnya itu berkibar ke depan  dan belakang, terkadang juga bergerak tidak karuan saat angin menghembusnya.
                Meskipun aku tidak pernah melihatnya, aku merasa tidak asing dengan aura wanita tua itu. Ia memperkenalkan dirinya, wajahnya tersenyum ramah. Aku mencoba menghilangkan perasaanku itu dan memperhatikan penjelasan sejarahnya.
                Ia menjelaskan sejarah awal kerajaan. Aku mendengarkannya dengan seksama, menulis apa yang dianggap penting bagiku. Namun, gerakan tanganku berhenti saat wanita yang bernama Singi Saha itu mengatakan sesuatu mengenai “Malam Sunyi”. Mataku terbelalak kaget, bingung karena ia mengaku ad di tenpat itu saat kejadian.
                Aku perlahan mendongak menatap wanita itu. Ia tersenyum! Siapa sebenarnya wanita itu?! Samar-samar aku mulai ingat, tapi itu tidak mungkin. Karena, wanita yang aku pikirkan ini sudah diyatakan hilang, dan jika ia meman berada di tempat itu, seharusnya ia sudah mati!
                Tunggu, tunggu, aku harus menenangkan diriku. Mungkin aku hanya panik. Maksudku, dari wajahnya Saha itu berbeda dengan orang dulu kutemui. Ya,  pasti Singi Saha hanya kebetulan mirip saja.
                Ketika aku sadar dari lamunanku, wanita tua itu berjalan pergi. Aku menggebrak meja dan berlari mengikuti Dellion Kriss yang menoleh kekanan-kiri di depan pintu. Tapi, tidak ada siapa pun. Angin berhembus kencang dari arah kanan pun membuat suasana menjadi mencekam.
                “Aku harus ke ruang guru. Mungkin akan ada petunjuk,” batinku.
                Namun, apa yang kuharapkan itu hasilnya nihil. Dua guru yan g ada di sana tidak pernah mengetahui mengenai Singi Saha. Bahkan aku juga ragu kalau ada nama keluarga Saha dikerajaan ini. Apa wanita tua tadi itu hanya orang kurang waras yang mengaku pernah ada di tempat itu? Tapi, terlalu banyak yang mengganjal. Lebih baik aku abaikan saja, lama-lama kepalaku bisa sakit.
                Aku terdiam cukup lama, namun aku segera beranjak dari ruang guru karena teringat kakakku yang berada di asrama. Baru melaju beberapa langkah, aku baru sadar kalau saat ini hanya ada aku dan Dellion sendiri. Mengingat kejadian yang lalu, aku berbalik dan menghadap kepadanya.
                “Namamu Dellion Kriss kan? Ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu,” kataku dengan tegas.
“Mungkin ini tiba-tiba, tapi bisakah kau berhenti menatap kakaku? Matamu itu sangat menganggu,” lanjutku dengan wajah yang serius dan menekan suasana menjadi lebih tegang.
                Wajah dellionyang sebelumnya serius berpikir, berubah. Matanya yang terbuka lebar itu perlahan menutup. Kemudian ia langsung pergi ke dalam guyuran hujan setelah mengatakan sesuatu kepadaku.
                Aku mulai merasa tidak enak terhadapnya. Tapi mau bagaimana lagi, aku tidak bisa membiarkannya terus-terusan melakukan hal itu terhadap kakakku. Semuanya juga akan lebih kacau kalau dirinya semakin mengetahui lebih dalam mengenai kami.
***
                Setibanya aku di asrama, aku langsung berjalan cepat menuju kamar. Kilat-kilatan petir menghiasi ruangan dengan bayangan-bayangan gelap perabotan di lorong. Bibi asrama sebelumnya juga tidak terlihat di lobi. Apakah dia sedang pergi ke suatu tempat?
                Langkahku mulai kuperlambat saat mencapai tangga. Sambil mengingat-ingat tentang Singi Saha dan Dellion, aku terhenti saat sudah mencapai pintu kamarku.
                “Semoga, dia menghentikan kelakuannya itu…” ucapku lirih.
Tiba-tiba dari bealakang muncul suara yang tidak asing bagiku,"Tidak bareng kirina lagi ya?"
Aku kaget sampai bingung mau bicara apa dengan situasi yang mendadak itu, "A..Itu…kakak sedang sakit"
“Rina sakit?! Sejak kapan? Bukankah kemarin dia sehat-sehat saja?” ucap seorang yang tak lain adalah Kak Shura.
“Ya begitulah, Kak.”
“kalau begitu, boleh aku menjenguknya?”
“Tentu saja. Jangan sungkan. ” ucapku kepada Kak Shura.
Aku segera membuka kunci kamar. Pintu terbuka pelan, dan di saat yang sama kilatan petir menyambar dari jarak dekat memunculkan sosok bayangan wanita berambut panjang tepat dihadapanku. Akusaja  hampir berteriak dengan lengkingan tinggi, namun tidak jadi karena sosok yang kulihat itu adalah kakakku yang sedang mengangkat seekor kucing.
Kak Shura yang ada di belakangku tertawa kecil, mukaku memerah karena malu. Aku menahan Maluku dengan memukul-mukul pelan kakakku. Kakakku pun jadi ikut tertawa.
Ia meminta maaf padaku, tapi aku berpaling dan menyedekapkan kedua tangan. Berpura-pura marah supaya mendapatkan perhatian kakakku. Kakakku terus merayuku, ia bahkan sampai menawarkan jatah pudingnya kepadaku. Aku pun akhirnya menyerah dan memaafkan kakaku, karena tergoda dengan tawaran makanan favoritku.
“Oh iya. Kenapa kakak tidak berada di tempat tidur? Kakak kan sakit,”kataku tiba-tiba.
“Aku sudah baikan. Jadi jangan pikirkan,”
“Lebih baik, coba lihat ini Ami. Aku menemukannya di beranda. Ayo kita pelihara!”  lanjutnya sambil menyodorkaan anak kucing hitam kepadaku.
Aku mengambilnya dengan mengangkat leher belakang kucingg itu. Ia menatap mataku lekat-lekat. Ada satu hal yang aku tidak sukai dari kucing ini. Matanya kuning keemasan, persis seperti milik Dellion Kriss.
"Memangnya Pemilik asrama bakal bolehin?"
"Boleh, yang penting kalian harus bertanggung jawab jika hewan itu melakukan masalah,” ucaap wanita paruh baya yang ku kenal baik.
"Bi Elina?!"
"Elina?" ucap kakaku bingung.
"Oh wakt itu bibi belum mengenalkan diri ya. Namaku Elina Aileen. Panggil Bibi Elina saja,"
"kudengar kamu sakit. bagaimana kondisimu sekarang?"
"sudah baiikan"
"Baguslah. Kalau begitu bibi permisi dulu. Ngomong-ngomong, bibi bawa susu buatmu, Dik Rina. diminum ya~. mumpung masih panas" ucapnya dengansenyum ebelum meninggalkan kami
Melihat Bibi Elina pergi melewati pintu membuatku sadar kalau aku sudah melupakan Kak Shura yang hendak menjenguk. Kemudian aku menjelaskan situasinya ke kakaku mengenai Kak Shura. Dan ia pun segera menyapa Kak Shura dengan senyuman ramah.
Kak SHura masuk kamar dan mengatakan perihal datangnya kemari, "Rina, aku datang untuk menjengukmu. aku baru saja dengar dari Ami tadi,"
"Tidak apa kok. lagi pula ini tidak parah"
"Tapi kudengar kamu sampai jatuh"
"Ah, yah..."
                Aku meninggalkan kakakku mengobrol dengan Kak Shura. Rasanya aku ingin membuang kucing ini, tapi aku ragu karena kakakku sudah memutuskan untuk memeliharanya. Bimbang dan dilemma in pun membuatku tidak sengaja menjatuhkan kuing itu. AKu melangkah mundur, tapi tanganku ta sengaja menyenggol segelas susu yang ditinggalkan Bibi ELina di meja. Gela situ menumpahkan isinya tepat ke kucing yang sedang mencoba berdiri itu. Bulunya yang tadi terliha cukup tebal mengkerut lemas. Kemudian gelas yang tadi menggelinding pun akhirnya jatuh ke lantai dan pecah.
                Kakakku dan Kak Shura berbalik melihat ke arahku dan mengatakan seruan dengan bersaamaan, “Awas!”
                Aku hanya berdiri diam melihat mereka berdua. Tanpa sadar kucing yang tadinya berdiri di atas lantai, melompat naik dan mencakar lenganku dan melorot kebawah. Hal ini menimbulkn luk goresan yang cukup panjang.
Kucing itu masi mencoba mencakarku, tapi Kak Shura mengangkat dan menjauhkan anak kucing  itu yang kaki depannya maih berusaha mencakarku. Kakakku segera mengambil kotak obat. Mengobati luka dan meniupinya supaya cepat kering.  
“Apa ada yang salah, Ami? Biasanya kau ebih hati-hati.”
“Sebenarnya…….”
“Kirina, sebaiknya kita mndikan kucing ini dulu. Dia terus-terusan mengamuk.”
“Kita lanjutkan nanti, Ami”
Kakakku bergegas menghampiri kucing itu. Bersama Kak Shura, ia memandikan kucing itu di kamar mandi dengan shower. Kucing itu melirik tajam kepadaku, mengeluarkan cakar seakan hndak menerkamku. Tapi ia tak bisa apa-apa, akibat tubuhnya dpegangi Kak Shura.
Ak duduk di kursi, mengabaikan ancaman kucing itu, dan berpikir mengenai kejadian tadi  pagi. TAku ingin menceritakannya pada kakak. Tapi, karena situasinya menjadi seperti ini, aku menjadi ragu.
________________________________________.......______________________________________
Kirina
                “Apa ada yang salah Ami?”, ujarku pada adikku.
Sejak dia masuk kamar, wajahnya terlihat muram. Sebenarnya apa yang mengganggu pikirnanya?Dari kamar mandi aku sekilas melihat Ami, wajahnya terlihat muram seperrti ada masalah.
Saat ia akan menjawabnya, ia terlihat ragu. tapi, karena aku dipanggil Kak Shura, aku pun eninggalkan Ami dan memintanya untuk melanjutkan permbicaraan ini nanti.
Setelah aku memandikna kucing itu. Aku hendak menamainya, tapi aku bingung. Jadi, aku pun meminta pendapat Ami dan Kak Shura untuk ini.
“Untuk pemberian nama, kita bisa menggunakan karakteristik yang dimiliki kucing itu,” saran Kak Shura.
“Trouble saja. Karena dia itu si pembuat masalah,” saut Ami dengan wajah malas dan kepala yang di tumpu tangan kanan.
Kucing kecil itu pun mengeram dan melompat ke wajah Ami. Aku segera menangkapnya dan menasehati Ami, “Jangan begitu.”
“bagaimana kalau Blackie,” ujar Kak Shura.
Kucing itu pun masih tidak suka dan menargetkan kemarahannya kepada Ami. AKu yang memegangnya pun hampir terlepas.
“Namai saja dia Keparat”
“Ami?!”
Wraooooooo!!!!
Kucing itu pun mencakar-cakar Ami dengan membabi buta dan menggigiti seragamnya. Kak Shura langsung menjulurkan tangannya. Dari jeri telunuknya muncul api jingga kemerahan yang membentuk tali. Api itu menjulur, menjauhkan kucing itu dari Ami.
“Elemen kakak api ya?”
Kak Shura tersenyum, “Itu sudah menjadi ciri khas keluarga kami. Ayo kita lanjutkan pemberian namanya. Kau belum memberi saran kan?”
“Sebenarnya aku ingin menamainya dengan Kisa. Tapi, itu terlihat terlalu simple. Jadi aku meragukannya,”
“Gunakan saja nama itu. Sepertinya KIsa menyukainya. Lihat dia menggesekkan tubuhnya kepadamu, Kirina.”
Aku mengangkat kucing itu dan memeluknya, “Kalau begitu, sudah diputuskan.”
"Ngomong2 kalian waktu itu tidak terlambat pindah ke asrama kan?"
"Memangnya kenapa"
"Kalian akan tahu sendiri besok"
"oh iya, aku punya bekas mainan kucingku dulu. apa kau mau?"
"Bolehkah?"
"Tentu. Aku akan meminta pamanku untuk mengirikannya. Kalau barangnya sudah sampai, akan ku beritahu. Aku pergi dulu ya, besok aku ada tes. Daa.."
“Iya. Terimakasih sudah menjenguk, Kak Shura."
"Shura saja"
                Setelah Kak Shura menutup pintu, suasana menjadi sepi kembali. Ami hanya duduk diam, badai pun masiih beum berhenti. Suara gemericik hujan dan guntur tedengar sangat jelas. Aku menurunkan Kisa, kemudian mendekati Ami.
                “Mau kita lanjutkan yang tadi?”
                Ami hanya diam. Beberapa saat kemudian ia menggeleng dan pergi menuju kamar mandi. Dilihat dari sikapnya, sepertinya Ami tidak ingin membahasnya lagi.
                Mengingat perkataan Kak Shura yang aka nada tes, aku pun menuju meja belajarku. Membuka buku catatan dan membacanya. Sesekali aku mempraktekan apa yang ada di buku itu. Seteah satu jam memmbaca , aku berjalan menuju kasur mematikan lampu. Ami sudah berbaring pada kasurnya, sedangkan Kisa tidur melingkar di tepi bantalku. Aku tersenyum. Namun, aku terigat dengan wajah Ami tadi, wajah yang sedih dan muram. Aku mendekati Ami dan mengelus rambutnya. Kemudian aku berkata pada Ami yang mungkin sudah tertidur, “Jika kau ada masalah, janganlah sungkan bicara padaku. Kita ini saudara.”
Saat aku kembali ke tempat tidur, aku melihat liontin bungaku. Meski pun saat ini gelap, aku masih bisa melihatnya dengan jelas bahwa warna kalun itu jingga. AKu langsung mengambilnya, mengira kalau ada yag menukar kalungku. Tapi, setelah dilihat dengan seksama, kalung itu asli. Dari perkataan Mama dulu,  tidak ada liontin lagi yang seperti ini. Karena batu yang dibuat sebagai bahan, hanya ada satu di dunia ini.
"Ada yang melepasnya"
Aku menoleh ke belakang. Ami mulai bangun dan duduk. Aku pun bertanya pada Ami dengan agak panik," Ami, kau masih bangun? Apa yang kamu maksud dengan melepasnya?”
Ami hanya berpaling dan kembali tidur, seakan ia mengelak dari pertanyaanku itu. Aku menggoyang-goyangkan tubuh Ami. Menanyakan apa maksudnya. Tapi ia tidak merespon.
Keesokan harinya, badai masih belum reda. Bibi Elina mengumumkan sekolah diliburkan sehari karena badai yang semakin besar. Aku yang tadinya sudaha bersiap ke sekolah pun mengganti seragam dengan baju harian. Dan berjalan menuju dapur, membuat dua gelas coklat panas.
“Pagi, Kak”, ucap Ami di belakangku sambil mengucek matanya.
“Ami?! Kau sudah baikan?” tanyaku.
“Ya. Kemarin aku hanya sedang ada pikiran. Maaf membuatmu khawatir, Kak.”
“Tak apa. Ini minumlah” ucapku sambil memberikan Ami segelas coklat panas buatanku.
Aku duduk di meja makan dan menyeruput minumanku, “Kata Bi Elina, hari ini kita libur.”
“Ya, aku tadi mendengarnya,” kata Ami.
Kemudian, kami terdiam. Tidak ada satu pun kata terucap dari mulut kami selain menyeruput minuman hingga habis. Aku bangkit dari dudukku menuju wastafel, mencuci gelasku, dan meletakannya di rak. Ami datang dan melakukan hal yang sama denganku.
Kami kembali ke tempat tidur dan duduk di tepiannya, saling berhadapan satu sama lain. Aku meletakan Kisa di pangkuanku dan mengelusnya. Ami masih diam dan terlihat canggung. Aku mencoba mengawali pembicaraan, “Ami, kemarin di kelas, kau diajarin apa? Aku takut ketinggalan materi.”
“Tidak ada yang istimewa. Kakak sudah pernah mempelajarinya di akademi dasar.”
“Memang apa pelajarannya?”
“Pelajaran sejarah kerajaan. Di ulangan nanti juga tidak akan keluar. Ngomong-ngomong, kak. Kemarin Guru aneh itu tidak ada.”
“Pak Claud?”
“Iya. Dan kemarin.... emmm, yah. Kelasya cukup ramai, meski badai.”
“begitukah?”
“Iya.”
Pembicaraan kami terus berlangsung. Sebisa mungkin aku tidak mengungkit apa yang terjadi tadi malam dan mengenai hal yang mengganggu pikiran Ami. Karena ia pasti tidak akan menjawab.
Ketika kami sedang hangat-hangatnya melakukan percakapan. Gemuruh petir menghilang. Aku pikir badai sudah berhenti, jadi aku membuka gorden di kaca beranda. Ketika tinggal selangkah  menuju kasur, kilatan petir besar muncul. Jika dilihat, sepertinya jaraknya pun juga dekat.
JEGLARRRRR!!!!!!!!!
Lampu tiba-tiba padam dan Ami yang ketakutan mendengar guntur pun memelukku erat. Jemarinya mencengkram punggungku dengan kuat. Tubuhny gemetar, suara yang ia keluarkan pun juga pelan dan tidak jelas. Aku mengeluarkan elemenku. Api biru sebesar bola kasti muncul ditelapak tanganku.
Diikuti suara desisan, Kisa yang ada di pundakku pun mengeram dengan keras. Ia melompat ke kepala Ami. Kaki depannya mengacka-acak kepala tempat ia berpijak sampai berantakan. Ami yang tadinya ketakutan pun dengan penuh energy mencoba melepaskan kucing itu dari kepalanya. Ami berteriak kesal. Kisa tidak mau melapas cakarannya. Perkelahian mereka cukup menghiburku.
“Kakak, jangan tertawa saja. Tolong aku!” keluh Ami.
“Aku akan menolongmu ari jauh dengan dukungan. Semangat. AKu mendukung kalian, yang menang akan dapat snack ekstra ”
“kakak!”
_______________________________________....____________________________________________
Ami
                Aku berjalan kesana-kemari,tanganku mencengkram erat Kisa. Seberapa pun usahaku menariknya, kucing ini tidak mau melepaskan kaki-kakinya. Kakak yang kumintai tolong saja hanya tertawa tanpa henti.
                Namun, tidak berselang lama, Kisa mulai berhenti. Kepalanya melihat ke arah pintu kaca diluar. Aku mengikuti arah pandangnya. Dan aku melihatnya, sosok hitam dengan cahaya mata hijau di halaman bawah. Sosok itu melihat kea rah kami tanpa berkedip sedikitpun. Aku langsung bergegas mendekati pintu dan menutup gorden.
                “Ada apa Ami?” ucapnya sambil mendekatiku dengan cahaya api biru di tangan.
                Aku membalikkan tubuh kakaku dan mendorongnya kea rah pintu lorong, “Kak ayo kita mampir ke tempatnya Bi Elina.”
                “Kenapa tiba-tiba?”
                “Ayo, ayo!” ucapku dengan nada tidak sabar dan terus mendorong kakak.
                Ketika kakak keluar, aku menoleh kebelakang. Di gorden, tergambar jelas sosok itu. Berditi tegap di teras luar dengan cahaya matanya hjau menyala. Setelah Kisa keluar, aku segera mengunci kamar. Berlari di lorong menuju ke tempat Bi Elina.
***
                Kami terus berlari, sosok itu terus mengikuti dari balik kaca jendela. Kami menuruni tangga. Aku mendorong kakak dibelakang, mencegahnya melihat sosok itu. Namun, saat kami sudah sampai di lantai dasar, kami terhenti akibat benturan dengan seseorang.  Aku mengintit dari damping tubuh kakakku.
                Seseorang berdiri di sana. Ia membungkuk dan wajahnya tepat berada di hadapanku, “BO!!!”
                Aku sangat terkejut sampai jatuh terduduk. Kemudian suasana berubah menjadi tawa dan penuh nasehat. Aku tidak menyangka, kalau orang yang kami tabrak itu adalah Bi Elina. Ia tertawa dengan puasnya, sedangkan kakakku terus-terusan menasehatiku soal bahayanya berlarian di kegelapan. Tapi aku hanya diam, berharap sosok yang tadi mengikuti kami itu pergi. ”
                Dengan cahaya temaram kebiruan, Bi Elina berhenti tertawa dan bertanya padaku, “Apakah itu dia?”
                Aku mengangguk, kakakku hanya diam dengan wajah penuh tanya. Bibi kemudian membawa kami menuju ruangannya. Wajahnya terlihat sangat serius. Sesampainya di lobi, ia menutup seluruh pintu dan jendela kaca dengan gorden.  Kemudian, ia menggiring kami ke kamarnya.
                Wajah kakakku menjadi sangat cemas. Hal itu terukir jelas di matanya dan ucapannya,“Ami sebenarnya ada apa?”
                “Rina, kamu mau  dibuatkan apa? Coklat panas? Teh? Susu? Kopi?” saut Bi Elina
                “Maaf Bi, tapi aku harus mennyakan sesuatu kepada Ami.”
                “bagaimana dengan kue coklat? Bibi baru saja selesai memanggangnya.”
                “Kue coklat?! Ya, ya! Aku mau”
                Bibi ELina  pun langsung mengambil kue coklat yang ada di oven, tapi sebelumnya ia menyalakan lilin di meja, “Sebenarnya, tadi aku mau naik ke kamar kalian untuk menawari kue ini. Tapi, untungnya aku menemukan kalian di dekat tanga tadi. Ini untuk kalian.”
                Kami duduk di meja makan dan menikmati kue itu. Selain itu, kami juga berbincang-bincang mengenai sekolah. Alurnya bergerak dengan santai, sehingga keteganggan yang ada pada kami pun hilang. Dan kakak sudah tidak menanyakan lagi mengenai apa yang sebenarnya terjadi.
                “Ah, Ami? Dimana Kisa? Bukankah tadi kita bersamanya?”
                “entahlah, mungkin dia sedang berkeliaran entah dimana. Semoga saja dia tidak membuat masalah. Karena yag bertangung jawab adalah kakak,” ujarku dengan tawa kecil
                Wajah kakak mulai pucat saat melihat kea rah Bi Elina, “semoga dia jadi anak kucing yang baik.”
________________________________________.....__________________________________________
                Keesokan harinya, badai sudah berhenti. Sekolah pun diadakan seperti biasanya. Pukul setengah tujuh, aku dan Ami sampai di kelas. Aku sangat terkejut ketika meihat tembok kelasnya sudah di perbaiki.
                Aku berjalan menuju bangkuku,  meletakan tas dimeja. Mengecek barang yang mungkin ketinggalan. Setelah yakin, aku meletakannya di kursi. Ami yang terletak di bangku sebelah kanan juga melakuakn hal yang sama denganku. Kemudian memainkan jarinnya di meja.
“Kirina! Kau sudah sembuh?” ucap seseorang yang ku kenal.
Aku berbalik, dan ternyata benar. Orang tersebut adalah Rian. Aku pun menjawab pertanyaannya dengan ramah, “Aku sudah sembuh. Terimakasih sudah menghawatirkanku, Rian.”
“Yah, ini bukan masalah besar. Ngomong-ngomong, apa kau sudah dengar mengenai as-,” ucapan Rian terpotong.
“Hei, hei. Apa kalian sudah mendengar kabar mengenai Asrama Varun?” ucap seorang perempuan manis berambut biru yang diikat dua.
“Memangnya ada apa?”
“Kabarnya, Asrama Putra Varun membeku!” ucap perempuan berambut biru itu dengan nada yang dditekankan.
Perempuan lainnya pun meragukan perkataannya. Kemudian, anak itu berkata lagi, “Kalau tidak percaya, kalian bisa lihat. Pihak skeolah sedang mencairkannya. Tanya saja yang laki-laki.”
                Mereka pun langsung menanyakan hal ini kepada para lelaki di kelas. Para lelaki itu mengiyakan peristiwa itu. Bahkan, ada yang bilang sempat terjadi hujan jarum es di sana.
“Lalu apa penghuninya selamat?”
Rian pun menjawab pertanyaan mereka, “Kami semua baik-baik saja. Karena ada es tebal yang menyelimuti asrama.”
Para wanita kebingungan. Di sini, Rian memang kurang bergaul. Tapi tak kusangka kalau hampir satu kelas tidak mengetahuinya.
Kemudian, seorang wanita berkulit gelap bertanya kepada Rian,“Siapa yang membuat e situ? Apa itu Penjaga asrama?”
“Aku tidak tahu. Meskipun Tuan Varun memiliki elemen air, bukan berarti dia bisa membuat es. Ku dengar hanya orang bergelar Nimbus yang bisa.”
“Benar juga. Setahuku, yang bisa membuat es itu seorang pimpinan keluarga Hazard, Tuan Mikael dan pahlawan yang bernama Delmora.”
“Bukankah, Tuan Mikael selalu disibukkan dengan pekerjaan di perusahaaan?”
“Delmora juga dikabarkan hilang di Hutan Flos. Kupikir, untuk mereka berdua yang tidak ada urusannya ke sekolah ini itu tidak mungkin akan membuat pelindung itu.”
“Apa itu artinya, diantara pria disini. Ada yang memiliki kekuatan sebesar seorang Nimbus?!”
“Kurasa itu tidak mungkin. Lagi pula, apa untungnya untuk orang itu bersekolah disini.”
“Tapi, aku pernah mendengar kabar kalau ada yang pernah melihat Delmora belum lama ini. Katanya ia muncul di Hutan di dekat Asrama Varun. Bersama arlesnya. ”
“Oh arles yang namanya () itu kan? Ku dengar arle itu Nimph yang sangat cantik.”
“Aku pernah melihatnya dari lukisan yang dipajang di museum dekat istana. Dan Nimph itu sangat cantik. Kuharap aku dapat bertemu dengannya.”
Makin lama pembicaraan semakin melenceng dan semakin ngawur. Karena aku malas mendengar gossip yang tidak jelas, aku pun berbincang kembali dengan Rian.
“Bagaimana liburanmu kemarin, Rian? Apa menyenangkan?”
“DUgaanmu salah. Kemarin itu adalah hari yang sangat melelahkan. Kami diminta Tuan Varun untuk membersihkan lorong yang dipenuhi es runcing. Lalu, ada satu orang yang tidak ikut. Saat aku hendak mengetuk pintunya untuk mengingatkan, Tuan Varun menghentikanku. Lalu, terjadi mati lampu. Kami jadinya harus mati-matian membersihkan es dalam kegelapan yang dingin. Untungnya, saat selesai, Tuan Varun menyiapkan makanan lezat dan minuman panas untuk kami.”
“wah, kau sudah berjuang,” ucapku sambil mengusap kepala Rian.
“Lalu, bagaimana liburanmu kemarin?”
“Kemarin ya? Hmm, waktu pagi Ami membuat kehebohan buatku dan Bibi Elina, Nona penjaga asrama. Tapi, kemudian aku makan kue coklat kesukaanku di tempatnya Bi Elina. Rasanya enak sekali. Kuharap ia akan memberiku kue itu lagi,” ucapku yang hampir ngiler.
“Wah, pasti enak. Lain kali bagi ke aku dong,” sahutnya jahil.
“Ga, kue coklat hanya untukku!” kataku dengan nada yang meyakinkan
Kami terdiam cukup lama, sampai akhirnya kami pun tertawa.
Blarr!!!
Pintu kelas tiba-tiba di hancurkan higga roboh. Dari luar, seorang pria berdiri dengan rambut panjang yang tergerai. Sekelas pun terdiam saat melihat pria tersebut adalah guru kami, Pak Claud.
“Bapak sudah memanggil kalian berkali-kali. Tapi kalian malah rame sendiri. Keluar sekarang!”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar