Chapter 3
Sudah Menjadi Takdir
Pagi itu, hujan disertai badai turun dengan guntur dan angin kencang. Aku sedang bersiap untuk
berangkat ke sekolah. Seperti biasanya,
aku hendak keluar kamar dan menunggu Ami di luar. Namun ketika aku mencapai
gagang pintu kamar, aku roboh. Entah bagaimana, tubuhku rasanya sangat lemas.
Ami yang melihatku sontak menangkap dan membopongku ke tempat tidur. Ia
menyuruhku agar tidak kemana-mana, tetap istirahat, dan tidak melakukan apa pun
selain tidur.
“Kakak
tidur saja. Aku akan bilang pada Bibi Asrama untuk menjaga kakak.”
“Tapi
hari ini ada sekolah kan?”
“Tidak
perlu. Pokoknya kakak ga boleh kemana-mana. Titik,”
“Ami!
Ami, tunggu!”
Ia
tidak mendengar perkataanku. Ia bahkan mengambil kedua kunci kami di meja.
Kemudian, ia mengurungku dalam kamar sendirian dengan meninggalkan buah-buahan
dan air mineral dalam botol di atas meja samping kiri tempat tidurku.
Hujan disertai
badai dan guntur ini membuatku berpikir kesana kemari. Bahkan hal ini membuatku
semakin sedih ketika aku mengingat kejadian adikku yang hilang malam itu. Meski
pun Papa dan Ami
menganggap kalau ia sudah tewas atau tak akan bisa ditemukan, aku hanya pasrah
berharap ia akan kembali ke kehidupan kami. Sebenarnya aku ingin mencarinya
sendiri, tetapi aku tidak memiliki petunjuk.
Papa juga
melarang ideku ini tanpa memberi tahu apa sebabnya. Tapi yang jelas aku tahu
kalau Papa sangat khawatir terhadap diriku dan Ami, terlebih sejak kematian Mama. Sehingga aku tidak
dapat membantah larangannya.
Sudah tiga jam
sejak keberangkatan Ami ke akademi, badai masih belum reda. Malahan badai hari
ini semakin menjadi-jadi. Hal itu bisa dilihat dari pintu kaca berandaku,
banyak dedaunan dan ranting pohon
beterbangan kesana-kemari. Bahkann pot-pot kecil yang digantung di sana sampai
jatuh di lantai. Untuk amannya, aku mematikan lampu kamarku. Aku khawatir
lisriknya akan bermasalah dan mengakibatkan kebakaran. Tapi sebelum itu, aku
menutup gorden yang diikat di antara pintu kaca dan jendela. Setelah itu aku
kembali berbaring di kasur dengan sprei bercorak cabang ranting berdaun
kehijauan.
Suara berdesis
angin kencang disambut gelegar guntur yang cahayanya mengkilat masuk hingga
kekamar membuatku kaget dan sembunyi dibalik selimut. Aku meringkuk ketakutan,
karena diluar ada suara ketukan berderit. Suaranya pelan dan berurutan, seperti
ada benda runcing yang mengetuk-ngetuk pintu kaca.
Meskipun aku
merasa sangat ketakutan, rasa lelah tiba-tiba ini membuat mataku terpejam.
Kemudian, aku tertidur tanpa mempedulikan suara-suara yang ada.
Ruangan gelap tanpa
batas, hawa dingin menusuk hingga melewati kulit. Sunyi, tidak ada suara. Aku
berpikir kalau aku mungkin sedang bermimpi, namun suhunya yang terasa nyata ini
membuatku ragu. Aku berjalan pelan tanpa arah hingga menemukan sosok bayangan
anak kecil berambut panjang. Kedua tangannya
menggenggam satu sama lain di belakang tubuhnya. Namun, baru selnagkah
aku mendekat, ia menoleh dan menghilang seperti asap yang tertiup angin.
Tiba-tiba rasanya ada sesuatu sedingin es di belakang tekukku. Aku berbalik,
namun tidak menemukan apa-apa selain kegelapan.
Saat aku
berbalik hendak melanjutkan perjalanan, aku dihadang seseorang yang tinggi. Orang
itu pun membungkukkan tubuhnya, hingga aku bisa melihat wajah mengancamnya
secara samar. Rambutnya bergelombang panjang bergoyang-goyang membuatku kurang
fokus untuk melihat wajahnya. Namun aku sangat terkejut lagi saat ia tiba-tiba
memajukan wajahnya dan berkata kepadaku dengan nada tinggi, “Panggil aku!”
Aku
terbangun, menoleh ke kanan dan kiri, mencari apakah ada orang disekitar.
Kemudian aku mulai lega saat melihat tidak ada siapa pun. Untungla semua tadi
iu hanya mimpi. Meski begitu, aku masih penasaran dengan dua sosok yang aku
lihat tadi. Tetapi, pikiranku pecah saat mendengar suara ketukan berderit dari
luar yang semakin keras. Suaranya disertai suara lirih yang tidak jelas
berulang-ulang. Aku pun memberanikan diri untuk mengecek. Membuka pelan bagian
bawah gorden dengan tangan gemetar.
Miaw!!!!
Aku terkejut
hingga jatuh terduduk di lantai. Namun, aku kembali bangkit saat melihat kalau
yang tersembunyi di balik pintu adalah seekor anak kucing berwarna hitam pekat
dengan mata kuning keemasan yang menyala akibat pantulan cahaya. Ia duduk denan dua kaki belakangnya terlipat dan kedua
kaki depannya yang menggaruk-garuk kaca. Ia mengeong-ngeong meminta masuk. Bulunya menelungkup karena basah, binar
matanya yang memelas membuatku tidak
bisa membiarkannya diluar dengan badai besar yang mengerikan itu.
Setelah
aku mengeringkan badannya, aku memberikan semangkuk susu hangat kepada kucing itu. Kucing itu
terlihat sangat menikmati minumannya.
Aku mengelus-elus bulu halusnya yang pendek. Dan aku pun menyadari kalau
tidak da kalung. Sehingga aku pun berpikir kalau anak kucing ini sendirian.
Umumnya, hewan
peliharaan aka diberi kalung untuk menandai kalau hewan itu ada
pemiliknya. Sehingga orang yang
menemukan hewan itu tidak akan sembarangan membawanya pergi.
Selesai minum,
kucing itu kemudian melangkah pelan menuju kakiku. Ia mengeluskan bulu lembutnya.
Ekornya naik ke atas agak membengkok. Kelakuanya yang manis itu membuatku ingin
memeliharanya.
“Nanti akan
kutanyakan pada Ibu asrama,” ucapku senang.
__________________________________________.....________________________________________
Ami
Murid-murid
stratus saling mengobrol dalam kelas yang sudah diperbaiki. Mereka terlihat
biasa saja dan nyaman dengan pembicaraan mereka yang tercampur aduk dengan
suara lain, mengabaikan badai yang semakin memburuk. Kak Rian mendatangi mejaku
yang berjarak 1 bangku di samping kanannya. Ia berdiri kaku dengan pakaian
serba hitam, menggaruk pelan lengan kirinya seakan ragu dengan apa yang
dilakukan.
“Dimana
Kirina?”
“Kakakku……”
Aku terdiam
sejenak, kemudian kembali menjawab, “Ia sedang tidak enak badan.”
“Begitu ya….
Kuharap ia lekas sembuh. Ngomong-ngomong, aku dapat kiriman salep bunga zavela
dari ibuku. Jumlahnya terlalu banyak. Mungkin kalian akan membutuhkannya, jadi
kuberi satu. Lalu, tolong berikan ini pada Kirina,” ucapnya sambil memberikan
sebuah salep dan kantong kecil yang isinya terlihat banyak.
“Terimakasih”
Rian
kembali ke tempat duduknya. Ia membolak-balik buku tulisnya yang dipenuhi
tulisan dan pola-pola tidak jelas. Di samingnya, Dellion Kriss, ia sedikin
menunduk di hadapan meja. Sesekali ia melihat ke arahku. Tapi, aku
mengabaikannya dan kembali pada kesibukanku mengeringkan rambut serta seragam
coklat mudaku yang agak basah.
Tidak
sampai semenit, bel tanda mulai pembelajaran berbunyi. Suaranya sangat nyaring,
bahkan sampai mengalahkan suara badai berangin yang disertai guntur. Dari balik
pintu kelas, muncul gerakan kain merah marun dari kiri pintu kelas. Aku mulai
mengetahui sosoknya ketika ia sudah sepenuhnya masuk dengan badannya yang kurus
nan tinggi, rambut kemerahan diikat sanggul di belakang, dan wajah yang sedikit
berkeriput. Ia berjalan santai menuju meja guru. Gaun merah panjangnnya itu
berkibar ke depan dan belakang,
terkadang juga bergerak tidak karuan saat angin menghembusnya.
Meskipun
aku tidak pernah melihatnya, aku merasa tidak asing dengan aura wanita tua itu.
Ia memperkenalkan dirinya, wajahnya tersenyum ramah. Aku mencoba menghilangkan
perasaanku itu dan memperhatikan penjelasan sejarahnya.
Ia
menjelaskan sejarah awal kerajaan. Aku mendengarkannya dengan seksama, menulis
apa yang dianggap penting bagiku. Namun, gerakan tanganku berhenti saat wanita
yang bernama Singi Saha itu mengatakan sesuatu mengenai “Malam Sunyi”. Mataku
terbelalak kaget, bingung karena ia mengaku ad di tenpat itu saat kejadian.
Aku
perlahan mendongak menatap wanita itu. Ia tersenyum! Siapa sebenarnya wanita
itu?! Samar-samar aku mulai ingat, tapi itu tidak mungkin. Karena, wanita yang
aku pikirkan ini sudah diyatakan hilang, dan jika ia meman berada di tempat
itu, seharusnya ia sudah mati!
Tunggu,
tunggu, aku harus menenangkan diriku. Mungkin aku hanya panik. Maksudku, dari
wajahnya Saha itu berbeda dengan orang dulu kutemui. Ya, pasti Singi Saha hanya kebetulan mirip saja.
Ketika aku sadar dari lamunanku,
wanita tua itu berjalan pergi. Aku menggebrak meja dan berlari mengikuti
Dellion Kriss yang menoleh kekanan-kiri di depan pintu. Tapi, tidak ada siapa
pun. Angin berhembus kencang dari arah kanan pun membuat suasana menjadi
mencekam.
“Aku harus ke ruang guru.
Mungkin akan ada petunjuk,” batinku.
Namun, apa yang kuharapkan itu
hasilnya nihil. Dua guru yan g ada di sana tidak pernah mengetahui mengenai
Singi Saha. Bahkan aku juga ragu kalau ada nama keluarga Saha dikerajaan ini.
Apa wanita tua tadi itu hanya orang kurang waras yang mengaku pernah ada di
tempat itu? Tapi, terlalu banyak yang mengganjal. Lebih baik aku abaikan saja,
lama-lama kepalaku bisa sakit.
Aku terdiam cukup lama, namun
aku segera beranjak dari ruang guru karena teringat kakakku yang berada di
asrama. Baru melaju beberapa langkah, aku baru sadar kalau saat ini hanya ada
aku dan Dellion sendiri. Mengingat kejadian yang lalu, aku berbalik dan
menghadap kepadanya.
“Namamu Dellion Kriss kan? Ada
sesuatu yang ingin kutanyakan padamu,” kataku dengan tegas.
“Mungkin ini tiba-tiba, tapi bisakah kau berhenti menatap kakaku?
Matamu itu sangat menganggu,” lanjutku dengan wajah yang serius dan menekan
suasana menjadi lebih tegang.
Wajah dellionyang sebelumnya
serius berpikir, berubah. Matanya yang terbuka lebar itu perlahan menutup. Kemudian
ia langsung pergi ke dalam guyuran hujan setelah mengatakan sesuatu kepadaku.
Aku mulai merasa tidak enak
terhadapnya. Tapi mau bagaimana lagi, aku tidak bisa membiarkannya
terus-terusan melakukan hal itu terhadap kakakku. Semuanya juga akan lebih
kacau kalau dirinya semakin mengetahui lebih dalam mengenai kami.
***
Setibanya aku di asrama, aku
langsung berjalan cepat menuju kamar. Kilat-kilatan petir menghiasi ruangan
dengan bayangan-bayangan gelap perabotan di lorong. Bibi asrama sebelumnya juga
tidak terlihat di lobi. Apakah dia sedang pergi ke suatu tempat?
Langkahku mulai kuperlambat saat
mencapai tangga. Sambil mengingat-ingat tentang Singi Saha dan Dellion, aku terhenti
saat sudah mencapai pintu kamarku.
“Semoga, dia menghentikan kelakuannya
itu…” ucapku lirih.
Tiba-tiba dari bealakang muncul suara yang tidak asing
bagiku,"Tidak bareng kirina lagi ya?"
Aku kaget sampai bingung mau bicara apa dengan situasi yang mendadak
itu, "A..Itu…kakak sedang sakit"
“Rina sakit?!
Sejak kapan? Bukankah kemarin dia sehat-sehat saja?” ucap seorang yang tak lain
adalah Kak Shura.
“Ya begitulah,
Kak.”
“kalau begitu,
boleh aku menjenguknya?”
“Tentu saja.
Jangan sungkan. ” ucapku kepada Kak Shura.
Aku segera
membuka kunci kamar. Pintu terbuka pelan, dan di saat yang sama kilatan petir
menyambar dari jarak dekat memunculkan sosok bayangan wanita berambut panjang
tepat dihadapanku. Akusaja hampir
berteriak dengan lengkingan tinggi, namun tidak jadi karena sosok yang kulihat
itu adalah kakakku yang sedang mengangkat seekor kucing.
Kak Shura yang
ada di belakangku tertawa kecil, mukaku memerah karena malu. Aku menahan Maluku
dengan memukul-mukul pelan kakakku. Kakakku pun jadi ikut tertawa.
Ia meminta
maaf padaku, tapi aku berpaling dan menyedekapkan kedua tangan. Berpura-pura
marah supaya mendapatkan perhatian kakakku. Kakakku terus merayuku, ia bahkan
sampai menawarkan jatah pudingnya kepadaku. Aku pun akhirnya menyerah dan
memaafkan kakaku, karena tergoda dengan tawaran makanan favoritku.
“Oh iya.
Kenapa kakak tidak berada di tempat tidur? Kakak kan sakit,”kataku tiba-tiba.
“Aku sudah
baikan. Jadi jangan pikirkan,”
“Lebih baik,
coba lihat ini Ami. Aku menemukannya di beranda. Ayo kita pelihara!” lanjutnya sambil menyodorkaan anak kucing
hitam kepadaku.
Aku
mengambilnya dengan mengangkat leher belakang kucingg itu. Ia menatap mataku
lekat-lekat. Ada satu hal yang aku tidak sukai dari kucing ini. Matanya kuning
keemasan, persis seperti milik Dellion Kriss.
"Memangnya
Pemilik asrama bakal bolehin?"
"Boleh, yang
penting kalian harus bertanggung jawab jika hewan itu melakukan masalah,” ucaap
wanita paruh baya yang ku kenal baik.
"Bi
Elina?!"
"Elina?"
ucap kakaku bingung.
"Oh wakt
itu bibi belum mengenalkan diri ya. Namaku Elina Aileen. Panggil Bibi Elina
saja,"
"kudengar
kamu sakit. bagaimana kondisimu sekarang?"
"sudah
baiikan"
"Baguslah.
Kalau begitu bibi permisi dulu. Ngomong-ngomong, bibi bawa susu buatmu, Dik
Rina. diminum ya~. mumpung masih panas" ucapnya dengansenyum ebelum
meninggalkan kami
Melihat Bibi
Elina pergi melewati pintu membuatku sadar kalau aku sudah melupakan Kak Shura
yang hendak menjenguk. Kemudian aku menjelaskan situasinya ke kakaku mengenai
Kak Shura. Dan ia pun segera menyapa Kak Shura dengan senyuman ramah.
Kak SHura
masuk kamar dan mengatakan perihal datangnya kemari, "Rina, aku datang
untuk menjengukmu. aku baru saja dengar dari Ami tadi,"
"Tidak
apa kok. lagi pula ini tidak parah"
"Tapi
kudengar kamu sampai jatuh"
"Ah,
yah..."
Aku
meninggalkan kakakku mengobrol dengan Kak Shura. Rasanya aku ingin membuang
kucing ini, tapi aku ragu karena kakakku sudah memutuskan untuk memeliharanya.
Bimbang dan dilemma in pun membuatku tidak sengaja menjatuhkan kuing itu. AKu
melangkah mundur, tapi tanganku ta sengaja menyenggol segelas susu yang
ditinggalkan Bibi ELina di meja. Gela situ menumpahkan isinya tepat ke kucing
yang sedang mencoba berdiri itu. Bulunya yang tadi terliha cukup tebal
mengkerut lemas. Kemudian gelas yang tadi menggelinding pun akhirnya jatuh ke
lantai dan pecah.
Kakakku
dan Kak Shura berbalik melihat ke arahku dan mengatakan seruan dengan
bersaamaan, “Awas!”
Aku
hanya berdiri diam melihat mereka berdua. Tanpa sadar kucing yang tadinya
berdiri di atas lantai, melompat naik dan mencakar lenganku dan melorot
kebawah. Hal ini menimbulkn luk goresan yang cukup panjang.
Kucing itu
masi mencoba mencakarku, tapi Kak Shura mengangkat dan menjauhkan anak kucing itu yang kaki depannya maih berusaha
mencakarku. Kakakku segera mengambil kotak obat. Mengobati luka dan meniupinya
supaya cepat kering.
“Apa ada yang
salah, Ami? Biasanya kau ebih hati-hati.”
“Sebenarnya…….”
“Kirina,
sebaiknya kita mndikan kucing ini dulu. Dia terus-terusan mengamuk.”
“Kita
lanjutkan nanti, Ami”
Kakakku
bergegas menghampiri kucing itu. Bersama Kak Shura, ia memandikan kucing itu di
kamar mandi dengan shower. Kucing itu melirik tajam kepadaku, mengeluarkan
cakar seakan hndak menerkamku. Tapi ia tak bisa apa-apa, akibat tubuhnya
dpegangi Kak Shura.
Ak duduk di
kursi, mengabaikan ancaman kucing itu, dan berpikir mengenai kejadian tadi pagi. TAku ingin menceritakannya pada kakak.
Tapi, karena situasinya menjadi seperti ini, aku menjadi ragu.
________________________________________.......______________________________________
Kirina
“Apa
ada yang salah Ami?”, ujarku pada adikku.
Sejak dia
masuk kamar, wajahnya terlihat muram. Sebenarnya apa yang mengganggu
pikirnanya?Dari kamar mandi aku sekilas melihat Ami, wajahnya terlihat muram
seperrti ada masalah.
Saat ia akan
menjawabnya, ia terlihat ragu. tapi, karena aku dipanggil Kak Shura, aku pun
eninggalkan Ami dan memintanya untuk melanjutkan permbicaraan ini nanti.
Setelah aku
memandikna kucing itu. Aku hendak menamainya, tapi aku bingung. Jadi, aku pun
meminta pendapat Ami dan Kak Shura untuk ini.
“Untuk pemberian
nama, kita bisa menggunakan karakteristik yang dimiliki kucing itu,” saran Kak
Shura.
“Trouble saja.
Karena dia itu si pembuat masalah,” saut Ami dengan wajah malas dan kepala yang
di tumpu tangan kanan.
Kucing kecil
itu pun mengeram dan melompat ke wajah Ami. Aku segera menangkapnya dan
menasehati Ami, “Jangan begitu.”
“bagaimana
kalau Blackie,” ujar Kak Shura.
Kucing itu pun
masih tidak suka dan menargetkan kemarahannya kepada Ami. AKu yang memegangnya
pun hampir terlepas.
“Namai saja
dia Keparat”
“Ami?!”
Wraooooooo!!!!
Kucing itu pun
mencakar-cakar Ami dengan membabi buta dan menggigiti seragamnya. Kak Shura
langsung menjulurkan tangannya. Dari jeri telunuknya muncul api jingga
kemerahan yang membentuk tali. Api itu menjulur, menjauhkan kucing itu dari
Ami.
“Elemen kakak
api ya?”
Kak Shura
tersenyum, “Itu sudah menjadi ciri khas keluarga kami. Ayo kita lanjutkan
pemberian namanya. Kau belum memberi saran kan?”
“Sebenarnya
aku ingin menamainya dengan Kisa. Tapi, itu terlihat terlalu simple. Jadi aku
meragukannya,”
“Gunakan saja
nama itu. Sepertinya KIsa menyukainya. Lihat dia menggesekkan tubuhnya
kepadamu, Kirina.”
Aku mengangkat
kucing itu dan memeluknya, “Kalau begitu, sudah diputuskan.”
"Ngomong2
kalian waktu itu tidak terlambat pindah ke asrama kan?"
"Memangnya
kenapa"
"Kalian
akan tahu sendiri besok"
"oh iya,
aku punya bekas mainan kucingku dulu. apa kau mau?"
"Bolehkah?"
"Tentu.
Aku akan meminta pamanku untuk mengirikannya. Kalau barangnya sudah sampai,
akan ku beritahu. Aku pergi dulu ya, besok aku ada tes. Daa.."
“Iya.
Terimakasih sudah menjenguk, Kak Shura."
"Shura
saja"
Setelah
Kak Shura menutup pintu, suasana menjadi sepi kembali. Ami hanya duduk diam,
badai pun masiih beum berhenti. Suara gemericik hujan dan guntur tedengar
sangat jelas. Aku menurunkan Kisa, kemudian mendekati Ami.
“Mau
kita lanjutkan yang tadi?”
Ami
hanya diam. Beberapa saat kemudian ia menggeleng dan pergi menuju kamar mandi.
Dilihat dari sikapnya, sepertinya Ami tidak ingin membahasnya lagi.
Mengingat
perkataan Kak Shura yang aka nada tes, aku pun menuju meja belajarku. Membuka
buku catatan dan membacanya. Sesekali aku mempraktekan apa yang ada di buku
itu. Seteah satu jam memmbaca , aku berjalan menuju kasur mematikan lampu. Ami
sudah berbaring pada kasurnya, sedangkan Kisa tidur melingkar di tepi bantalku.
Aku tersenyum. Namun, aku terigat dengan wajah Ami tadi, wajah yang sedih dan
muram. Aku mendekati Ami dan mengelus rambutnya. Kemudian aku berkata pada Ami
yang mungkin sudah tertidur, “Jika kau ada masalah, janganlah sungkan bicara
padaku. Kita ini saudara.”
Saat aku
kembali ke tempat tidur, aku melihat liontin bungaku. Meski pun saat ini gelap,
aku masih bisa melihatnya dengan jelas bahwa warna kalun itu jingga. AKu
langsung mengambilnya, mengira kalau ada yag menukar kalungku. Tapi, setelah
dilihat dengan seksama, kalung itu asli. Dari perkataan Mama dulu, tidak ada liontin lagi yang seperti ini.
Karena batu yang dibuat sebagai bahan, hanya ada satu di dunia ini.
"Ada yang
melepasnya"
Aku menoleh ke
belakang. Ami mulai bangun dan duduk. Aku pun bertanya pada Ami dengan agak
panik," Ami, kau masih bangun? Apa yang kamu maksud dengan melepasnya?”
Ami hanya
berpaling dan kembali tidur, seakan ia mengelak dari pertanyaanku itu. Aku
menggoyang-goyangkan tubuh Ami. Menanyakan apa maksudnya. Tapi ia tidak
merespon.
Keesokan
harinya, badai masih belum reda. Bibi Elina mengumumkan sekolah diliburkan
sehari karena badai yang semakin besar. Aku yang tadinya sudaha bersiap ke
sekolah pun mengganti seragam dengan baju harian. Dan berjalan menuju dapur,
membuat dua gelas coklat panas.
“Pagi, Kak”,
ucap Ami di belakangku sambil mengucek matanya.
“Ami?! Kau
sudah baikan?” tanyaku.
“Ya. Kemarin
aku hanya sedang ada pikiran. Maaf membuatmu khawatir, Kak.”
“Tak apa. Ini
minumlah” ucapku sambil memberikan Ami segelas coklat panas buatanku.
Aku duduk di
meja makan dan menyeruput minumanku, “Kata Bi Elina, hari ini kita libur.”
“Ya, aku tadi
mendengarnya,” kata Ami.
Kemudian, kami
terdiam. Tidak ada satu pun kata terucap dari mulut kami selain menyeruput
minuman hingga habis. Aku bangkit dari dudukku menuju wastafel, mencuci
gelasku, dan meletakannya di rak. Ami datang dan melakukan hal yang sama
denganku.
Kami kembali
ke tempat tidur dan duduk di tepiannya, saling berhadapan satu sama lain. Aku
meletakan Kisa di pangkuanku dan mengelusnya. Ami masih diam dan terlihat
canggung. Aku mencoba mengawali pembicaraan, “Ami, kemarin di kelas, kau
diajarin apa? Aku takut ketinggalan materi.”
“Tidak ada
yang istimewa. Kakak sudah pernah mempelajarinya di akademi dasar.”
“Memang apa
pelajarannya?”
“Pelajaran
sejarah kerajaan. Di ulangan nanti juga tidak akan keluar. Ngomong-ngomong,
kak. Kemarin Guru aneh itu tidak ada.”
“Pak Claud?”
“Iya. Dan
kemarin.... emmm, yah. Kelasya cukup ramai, meski badai.”
“begitukah?”
“Iya.”
Pembicaraan
kami terus berlangsung. Sebisa mungkin aku tidak mengungkit apa yang terjadi
tadi malam dan mengenai hal yang mengganggu pikiran Ami. Karena ia pasti tidak
akan menjawab.
Ketika kami
sedang hangat-hangatnya melakukan percakapan. Gemuruh petir menghilang. Aku
pikir badai sudah berhenti, jadi aku membuka gorden di kaca beranda. Ketika
tinggal selangkah menuju kasur, kilatan
petir besar muncul. Jika dilihat, sepertinya jaraknya pun juga dekat.
JEGLARRRRR!!!!!!!!!
Lampu
tiba-tiba padam dan Ami yang ketakutan mendengar guntur pun memelukku erat.
Jemarinya mencengkram punggungku dengan kuat. Tubuhny gemetar, suara yang ia
keluarkan pun juga pelan dan tidak jelas. Aku mengeluarkan elemenku. Api biru
sebesar bola kasti muncul ditelapak tanganku.
Diikuti suara
desisan, Kisa yang ada di pundakku pun mengeram dengan keras. Ia melompat ke
kepala Ami. Kaki depannya mengacka-acak kepala tempat ia berpijak sampai
berantakan. Ami yang tadinya ketakutan pun dengan penuh energy mencoba
melepaskan kucing itu dari kepalanya. Ami berteriak kesal. Kisa tidak mau
melapas cakarannya. Perkelahian mereka cukup menghiburku.
“Kakak, jangan
tertawa saja. Tolong aku!” keluh Ami.
“Aku akan
menolongmu ari jauh dengan dukungan. Semangat. AKu mendukung kalian, yang
menang akan dapat snack ekstra ”
“kakak!”
_______________________________________....____________________________________________
Ami
Aku
berjalan kesana-kemari,tanganku mencengkram erat Kisa. Seberapa pun usahaku
menariknya, kucing ini tidak mau melepaskan kaki-kakinya. Kakak yang kumintai
tolong saja hanya tertawa tanpa henti.
Namun,
tidak berselang lama, Kisa mulai berhenti. Kepalanya melihat ke arah pintu kaca
diluar. Aku mengikuti arah pandangnya. Dan aku melihatnya, sosok hitam dengan
cahaya mata hijau di halaman bawah. Sosok itu melihat kea rah kami tanpa
berkedip sedikitpun. Aku langsung bergegas mendekati pintu dan menutup gorden.
“Ada
apa Ami?” ucapnya sambil mendekatiku dengan cahaya api biru di tangan.
Aku
membalikkan tubuh kakaku dan mendorongnya kea rah pintu lorong, “Kak ayo kita
mampir ke tempatnya Bi Elina.”
“Kenapa
tiba-tiba?”
“Ayo,
ayo!” ucapku dengan nada tidak sabar dan terus mendorong kakak.
Ketika
kakak keluar, aku menoleh kebelakang. Di gorden, tergambar jelas sosok itu.
Berditi tegap di teras luar dengan cahaya matanya hjau menyala. Setelah Kisa
keluar, aku segera mengunci kamar. Berlari di lorong menuju ke tempat Bi Elina.
***
Kami
terus berlari, sosok itu terus mengikuti dari balik kaca jendela. Kami menuruni
tangga. Aku mendorong kakak dibelakang, mencegahnya melihat sosok itu. Namun,
saat kami sudah sampai di lantai dasar, kami terhenti akibat benturan dengan
seseorang. Aku mengintit dari damping
tubuh kakakku.
Seseorang
berdiri di sana. Ia membungkuk dan wajahnya tepat berada di hadapanku, “BO!!!”
Aku
sangat terkejut sampai jatuh terduduk. Kemudian suasana berubah menjadi tawa
dan penuh nasehat. Aku tidak menyangka, kalau orang yang kami tabrak itu adalah
Bi Elina. Ia tertawa dengan puasnya, sedangkan kakakku terus-terusan
menasehatiku soal bahayanya berlarian di kegelapan. Tapi aku hanya diam,
berharap sosok yang tadi mengikuti kami itu pergi. ”
Dengan
cahaya temaram kebiruan, Bi Elina berhenti tertawa dan bertanya padaku, “Apakah
itu dia?”
Aku
mengangguk, kakakku hanya diam dengan wajah penuh tanya. Bibi kemudian membawa
kami menuju ruangannya. Wajahnya terlihat sangat serius. Sesampainya di lobi,
ia menutup seluruh pintu dan jendela kaca dengan gorden. Kemudian, ia menggiring kami ke kamarnya.
Wajah
kakakku menjadi sangat cemas. Hal itu terukir jelas di matanya dan
ucapannya,“Ami sebenarnya ada apa?”
“Rina,
kamu mau dibuatkan apa? Coklat panas?
Teh? Susu? Kopi?” saut Bi Elina
“Maaf
Bi, tapi aku harus mennyakan sesuatu kepada Ami.”
“bagaimana
dengan kue coklat? Bibi baru saja selesai memanggangnya.”
“Kue
coklat?! Ya, ya! Aku mau”
Bibi
ELina pun langsung mengambil kue coklat
yang ada di oven, tapi sebelumnya ia menyalakan lilin di meja, “Sebenarnya,
tadi aku mau naik ke kamar kalian untuk menawari kue ini. Tapi, untungnya aku
menemukan kalian di dekat tanga tadi. Ini untuk kalian.”
Kami
duduk di meja makan dan menikmati kue itu. Selain itu, kami juga
berbincang-bincang mengenai sekolah. Alurnya bergerak dengan santai, sehingga
keteganggan yang ada pada kami pun hilang. Dan kakak sudah tidak menanyakan
lagi mengenai apa yang sebenarnya terjadi.
“Ah,
Ami? Dimana Kisa? Bukankah tadi kita bersamanya?”
“entahlah,
mungkin dia sedang berkeliaran entah dimana. Semoga saja dia tidak membuat
masalah. Karena yag bertangung jawab adalah kakak,” ujarku dengan tawa kecil
Wajah
kakak mulai pucat saat melihat kea rah Bi Elina, “semoga dia jadi anak kucing
yang baik.”
________________________________________.....__________________________________________
Keesokan
harinya, badai sudah berhenti. Sekolah pun diadakan seperti biasanya. Pukul
setengah tujuh, aku dan Ami sampai di kelas. Aku sangat terkejut ketika meihat
tembok kelasnya sudah di perbaiki.
Aku
berjalan menuju bangkuku, meletakan tas
dimeja. Mengecek barang yang mungkin ketinggalan. Setelah yakin, aku
meletakannya di kursi. Ami yang terletak di bangku sebelah kanan juga melakuakn
hal yang sama denganku. Kemudian memainkan jarinnya di meja.
“Kirina! Kau
sudah sembuh?” ucap seseorang yang ku kenal.
Aku berbalik,
dan ternyata benar. Orang tersebut adalah Rian. Aku pun menjawab pertanyaannya
dengan ramah, “Aku sudah sembuh. Terimakasih sudah menghawatirkanku, Rian.”
“Yah, ini
bukan masalah besar. Ngomong-ngomong, apa kau sudah dengar mengenai as-,” ucapan
Rian terpotong.
“Hei, hei. Apa
kalian sudah mendengar kabar mengenai Asrama Varun?” ucap seorang perempuan
manis berambut biru yang diikat dua.
“Memangnya ada
apa?”
“Kabarnya,
Asrama Putra Varun membeku!” ucap perempuan berambut biru itu dengan nada yang
dditekankan.
Perempuan
lainnya pun meragukan perkataannya. Kemudian, anak itu berkata lagi, “Kalau
tidak percaya, kalian bisa lihat. Pihak skeolah sedang mencairkannya. Tanya
saja yang laki-laki.”
Mereka
pun langsung menanyakan hal ini kepada para lelaki di kelas. Para lelaki itu
mengiyakan peristiwa itu. Bahkan, ada yang bilang sempat terjadi hujan jarum es
di sana.
“Lalu apa
penghuninya selamat?”
Rian pun
menjawab pertanyaan mereka, “Kami semua baik-baik saja. Karena ada es tebal
yang menyelimuti asrama.”
Para wanita
kebingungan. Di sini, Rian memang kurang bergaul. Tapi tak kusangka kalau
hampir satu kelas tidak mengetahuinya.
Kemudian,
seorang wanita berkulit gelap bertanya kepada Rian,“Siapa yang membuat e situ?
Apa itu Penjaga asrama?”
“Aku tidak
tahu. Meskipun Tuan Varun memiliki elemen air, bukan berarti dia bisa membuat
es. Ku dengar hanya orang bergelar Nimbus yang bisa.”
“Benar juga.
Setahuku, yang bisa membuat es itu seorang pimpinan keluarga Hazard, Tuan
Mikael dan pahlawan yang bernama Delmora.”
“Bukankah,
Tuan Mikael selalu disibukkan dengan pekerjaan di perusahaaan?”
“Delmora juga
dikabarkan hilang di Hutan Flos. Kupikir, untuk mereka berdua yang tidak ada
urusannya ke sekolah ini itu tidak mungkin akan membuat pelindung itu.”
“Apa itu artinya,
diantara pria disini. Ada yang memiliki kekuatan sebesar seorang Nimbus?!”
“Kurasa itu
tidak mungkin. Lagi pula, apa untungnya untuk orang itu bersekolah disini.”
“Tapi, aku
pernah mendengar kabar kalau ada yang pernah melihat Delmora belum lama ini.
Katanya ia muncul di Hutan di dekat Asrama Varun. Bersama arlesnya. ”
“Oh arles yang
namanya () itu kan? Ku dengar arle itu Nimph yang sangat cantik.”
“Aku pernah
melihatnya dari lukisan yang dipajang di museum dekat istana. Dan Nimph itu
sangat cantik. Kuharap aku dapat bertemu dengannya.”
Makin lama
pembicaraan semakin melenceng dan semakin ngawur. Karena aku malas mendengar
gossip yang tidak jelas, aku pun berbincang kembali dengan Rian.
“Bagaimana
liburanmu kemarin, Rian? Apa menyenangkan?”
“DUgaanmu
salah. Kemarin itu adalah hari yang sangat melelahkan. Kami diminta Tuan Varun
untuk membersihkan lorong yang dipenuhi es runcing. Lalu, ada satu orang yang
tidak ikut. Saat aku hendak mengetuk pintunya untuk mengingatkan, Tuan Varun
menghentikanku. Lalu, terjadi mati lampu. Kami jadinya harus mati-matian
membersihkan es dalam kegelapan yang dingin. Untungnya, saat selesai, Tuan
Varun menyiapkan makanan lezat dan minuman panas untuk kami.”
“wah, kau
sudah berjuang,” ucapku sambil mengusap kepala Rian.
“Lalu,
bagaimana liburanmu kemarin?”
“Kemarin ya?
Hmm, waktu pagi Ami membuat kehebohan buatku dan Bibi Elina, Nona penjaga
asrama. Tapi, kemudian aku makan kue coklat kesukaanku di tempatnya Bi Elina.
Rasanya enak sekali. Kuharap ia akan memberiku kue itu lagi,” ucapku yang
hampir ngiler.
“Wah, pasti enak.
Lain kali bagi ke aku dong,” sahutnya jahil.
“Ga, kue
coklat hanya untukku!” kataku dengan nada yang meyakinkan
Kami terdiam
cukup lama, sampai akhirnya kami pun tertawa.
Blarr!!!
Pintu kelas
tiba-tiba di hancurkan higga roboh. Dari luar, seorang pria berdiri dengan
rambut panjang yang tergerai. Sekelas pun terdiam saat melihat pria tersebut
adalah guru kami, Pak Claud.
“Bapak sudah
memanggil kalian berkali-kali. Tapi kalian malah rame sendiri. Keluar
sekarang!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar